Gugat Trahing Kusuma, buku 1-2

196 3 1
                                    

BAB 2

      Sementara Raden Pamungkas masih terdiam, kemudian sekilas di layangkanlah tatapan matanya kearah ki Gagak Sipat yang sedari awal mendengarkan percakapan antara kakek dan cucu tersebut.

"Jangan kau sungkan dengan pamanmu itu ngger, dia bukan orang lain dalam keluarga kita."  Demikian tukas Mpu Windujati seraya tersenyum, seakan tau apa yang dipikirkan Raden Pamungkas tersebut. Sementara Ki Gagak Sipatpun ikut tersenyum lalu mengangguk-anggukkan kepalanya,

"Mungkin angger pamungkas khawatir ilmu cambuknya aku tiru, ha ha ha ha."   Demikian Ki Gagak Sipat menjawab sambil bergurau.

"Ah, tentu tidak paman, paman sebagai pengikut setia eyang Widujati, tentu lebih memahami perihal ilmu cambuk itu daripada aku."   Jawab Raden Pamungkas yang kemudian juga tersenyum.

"Tidak angger, sebenarnyalah apa yang aku ketahui hanyalah sekedar lecutan permainan cambuk seorang penggembala belaka,"   Ki Gagak Sipat meneruskan gurauannya.

"Sudahlah, sebelum matahari semakin kebarat, tunjukkanlah apa yang telah kau pahami tentang ilmu cambuk itu ngger."  Sahut Mpu Windujati kemudian.

"Baiklah eyang, namun sebelumnya mohon petunjuk jika aku keliru dalam pemahaman ilmu yang aku telah pelajari itu." Jawab pemuda itu, lalu mencoba menuturkan pemahamannya tentang senjata cambuk sebagai ciri perguruan Windujati.  "Seperti yang aku pahami, pertama-tama adalah watak dari senjata cambuk itu sendiri, dalam pemahaman perguruan Windujati, dapat di jadikan wewaler atau aturan yang terpisah, melengkapi sembilan wewaler pada simbol cakra yang terkait ujung juntai cambuk itu sendiri. Bahwa cambuk adalah isyarat untuk menyadarkan sebuah kekeliruan, perbuatan dalam prilaku yang menyimpang, meskipun cambuk juga merupakan isyarat untuk memberi semangat pada sebuah harapan yang di inginkan. Secara kewadagan, cambuk tidak setajam pedang, atau tombak yang cenderung mengungkapkan watak membunuh, kecuali melumpuhkan lawan, supaya menyadari kekeliruannya, maka dari itu membunuh bukanlah tujuan utama dalam penguasaan ilmu cambuk, kecuali memang benar-benar terpaksa"

Terlihat Mpu Windujati mengangguk-anggukkuan kepalanya sambil  mendengarkan dengan serius apa yang di utarakan cucunya tersebut. Kemudian Raden Pamungkas melanjutkan bicaranya. "Sebenarnyalah apa yang aku ketahui, ilmu cambuk itu mempunyai beberapa tataran, sehingga menjadi empat tingkatan. Tingkat permulaan hanyalah bersifat kewadagan saja, tataran di atasnya adalah pengungkapan gerak, yang di landasi kekuatan tenaga cadangan, tataran ketiga sebenarnya merupakan tataran puncak dari ilmu cambuk itu sendiri, hingga tataran ke empat, merupakan tataran tertinggi yang dalam catatan rontal itu di sebut pecut suwung rineksa aji, artinya bahwa pada puncak tertinggi ilmu cambuk itu akan bisa di gunakan untuk secara bersama mengungkapkan ilmu yang di miliki oleh orang yang menggunakan cambuk tersebut, hingga lontaran ilmu yang tersalur pada lontaran cambuk itu dapat mengungkapkan kekuatan yang berlipat ganda." Ungkap Raden Pamungkas
Demikianlah secara singkat Raden Pamungkas memaparkan apa yang telah di sadapnya secara lesan, tentang watak dan kekuatan dari ilmu cambuk tersebut.

Tak lama kemudian, ketiga orang itu kembali menuju ara-ara amba, tempat di mana beberapa saat sebelumnya di jadikan uji tanding antara Raden Pamungkas melawan Ki Gagak Sipat. Lalu terdengar mpu windujati berkata, "Pamungkas, mulailah kau tunjukkan padaku, sampai dimana tataran ilmu cambuk yang telah kau kuasai, gunakalah batu-batu di sana itu sebagai lawan tanding, karna akan sangat berbahaya jika pamanmu yang menjadi teman latih tandingmu kali ini"

"Baiklah eyang, aku mohon petunjuk."  Jawab Raden Pamungkas yang kemudian berjalan menuju tempat yang dimaksudkan.

Terlihat Raden Pamungkas telah mengurai cambuknya, yang selalu melilit dibalik bajunya, cambuk bertangai pendek dengan juntai panjang yang sudah lama menjadi senjata andalannya, cambuk yang seakan-akan sudah akrab dengan dirinya, baik tentang watak atau kedahsyatannya.

Sesaat Raden Pamungkas tegak berdiri untuk memusatkan nalar dan budinya, kemudian melakukan gerakan-gerakan permulaan dari jurus-jurus senjata cambuk tersebut. Dengan di awali lecutan pertama terdengar menggelegar memekakkan telinga, Raden Pamungkas kemudian bergerak perlahan, dalam tumpuan kedua kaki yang terlihat kokoh.

Perlahan-lahan gerakannya menjadi cepat, meloncat maju, meloncat menyamping dengan di barengi sapuan gerakan kaki memutar kekanan, lalu meloncat keatas, disusul hentakan cambuk di udara.
Kembali terdengar ledakan yang sangat keras seakan suara itu memenuhi arena tersebut, lalu menggema di antara tebing-tebing jauh. Demikian sekian lama ledakan-ledakan suara cambuk itu terdengar berulang-ulang, kemudian di akhiri dengan gerak berputar lalu berdiri dengan tangan kiri menyilang di dada, sementara tangan kanan memegang tangkai cambuk yang ujungnya terjuntai di tanah.

Ujung cambuk di lecutkan kedepan kearah gundukan batu-batu besar itu, maka seleret cahaya putih perak meluncur secepat kilat, lalu menghantam bebatuan itu. Hentakan cambuk kali ini memang bersuara tidak terlalu keras, namun yang terjadi telah bebatuan hancur menjadi sepihan debu yang berhamburan di udara, Terlihat Raden Pamungkas berdiri tegak mematung. Cukup lama pemuda itu masih terlihat berdiri tegak memandang tumpukan bebatuan lain, yang  lebih besar dari bebatuan yang telah di hancurkannya. Sementara tangan kanannya masih memegang ujung tangkai cambuk itu, dan tangan kirinya memegang ujung juntainya.

Kini Raden Pamungkas berjalan mendekat, pada tumpukan bebatuan besar di tepian tebing itu, kemudian berdiri tegak beberapa tombak di depannya. Sejenak di tundukkanlah kepalanya, kemudian sambil memusatkan nalar dan budi, di silangkannya tangan kiri di depan dada, lalu cambuk di tangan kanannya di angkat tinggi-tinggi, perlahan satu kaki kanannya terangkat, sengan lutut sedikit di tekuk, sementara kaki kiri menopang tubuhnya. Terlihat cambuk di tangan kanan Raden Pamungkas bergetar, kemudian pangkal cambuk itu di tariknya kebelakang, di ikuti ujung juntainya tertarik kebelakang juga.

Maka dengan di dahului loncatan setengah memutar, di hentakkanlah ujung juntai cambuk ke arah bebatuan besar tersebut, menyusul cahaya seleret sinar hijau tajam terpancar dari ujung juntai cambuk itu, lalu secepat kilat menghantam bebatuan besar di kaki tebing tersebut.
Tak terdengar suara  ledakan terjadi pada benturan itu, hanya cahaya tebal berkilat-kilat sesaat mencuat pada bebatuan itu.

"Mpu! Apakah aku tak salah lihat?" Bertanya Ki Gagak Sipat kepada Mpu Windujati.

"Sasrabirawa?" Mpu Windujatipun terkesiap, lalu bertanya dalam hatinya, "apakah adi Dipa Sanjaya menguasai ilmu itu, sehingga anak itu mampu menyadapnya?"

Bersambung...

Gugat Trahing KusumaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang