Gugat Trahing Kusuma, buku 1-5

182 4 1
                                    

"Kakang, apakah kau tidak merasakan keganjilan pada perjalanan kita, sejak melintasi tepian Rawa Pening tadi?"

Demikian perempuan itu berucap, sementara lelaki itu hanya terlihat menganggukkan kepalanya, seakan menajamkan panggraitanya sesaat, sebelum berucap.

"Panggraitamu sungguh tajam Widuri, sebenarnyalah aku merasakan pula," jawab lelaki itu.

Sebenarnyalah kedua orang itu adalah sepasang suami istri muda, yang tidak lain adalah anak dan menantu Ki Gede Banyubiru yang bergelar Ki Ageng Gajah Sora.
Keduanya adalah Arya Salaka bersama Widuri.

"Apakah kakang juga merasakan sesuatu yang bergerak-gerak lembut di balik gerumbul-gerumbul di tepian jalan di depan sana itu?"  Kembali terdengar suara Widuri.

"Nampaknya lebih dari dua orang," jawab Arya Salaka. Lalu ucapnya kemudian, "Widuri, tetap saja berjalan sewajarnya, kita tunggu apa yang mereka inginkan, jika memang akan menghadang kita "

"Baiklah." Desis Widuri

Sebenarnyalah ketika kuda-kuda mereka sampai di gerumbul-gerumbul tepian jalan itu, tiba-tiba seorang di antara mereka muncul memotong arah kuda-kuda suami istri muda itu berjalan. Dan terlihatlah jelas, seseorang yang hampir berusia setengah abad, bentuk tubuhnya tinggi besar, dengan kumis lebat dan cambang panjang sampai ke samping dagunya. Namun orang itu hanya berdiri diam menghalangi jalan kedua pasangan muda itu.

"Kisanak, mohon minggirlah, kami akan lewat."   Terdengar suara Arya Salaka kemudian.

Namun  orang itu justru balik bertanya.  "Apakah aku sedang berhadapan dengan putera kepala tanah perdikan Banyubiru yang bergelar Ki Ageng Gajah Sora? Murid dari perguruan pengging?"

Arya Salaka menjaditermangu-mangu memandang orang yang menghadangnya tersebut, dalam benaknya jelas dia tidak pernah mengenal orang tersebut, namun dengan tiba-tiba orang tersebut seakan-akan mengenalnya dengan jelas.

"Kenapa kau diam!  Aku bertanya kepadamu, apakah kau putera kepala tanah perdikan Banyubiru? Dari perguruan Pengging?" Bentak orang itu.

Sesaat wajah Arya Salaka menjadi merah, gejolak darahnya yang masih bisa di bilang muda itu seakan-akan mulai mendidih, namun di tekankanlah perasaannya itu. Lalu dengan menarik nafasnya dalam-dalam, Arya Salaka berkata,

"Siapakah kisanak ini? Tidakkah ki sanak bisa berbicara dengan lebih baik, ada urusan apa ki sanak mencari aku?" Jawab Arya Salaka.

"O, jadi benar aku sedang berhadapan dengan Arya Salaka." Kemudian orang itu tertawa sangat panjang. Suara tertawa itu seakan terasa menggema hingga daun-daun kering pepohonan di sekitar itu menjadi berguguran,

"Luar biasa, orang ini telah memamerkan ilmunya yang menurutku cukup tinggi." desis Arya Salaka dalam hatinya.

"Ki sanak, sebenarnyalah aku putra tunggal kepala tanah perdikan Banyubiru ini."   Terdengar suara Arya Salaka menjawab pertanyaan orang itu, dengan di landasi ilmunya pula, sehingga mampu menindih suara tertawa orang tersebut. Maka  suara tertawa itupun lenyap.

"Setan alas!" Jangan kau sombong menindih ilmu Gelap Ngampar ku.

Arya salaka  hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, menyaksikan prilaku orang yang nganeh-anehi tersebut.

"Ki sanak, bukankah tadi kau bertanya siapa aku, dan aku menjawab? Lalu di mana letak kesombonganku yang kau maksud itu?"

"Tidak usah banyak bicara, jika memang kau adalah putra kepala tanah perdikan banyubiru, hé Arya Salaka, hari ini kau harus mati!"
Seketika orang itu bersuit panjang, maka bermuculanlah beberapa orang dari balik gerumbul-gerhmbul pepohonan itu.

Gugat Trahing KusumaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang