Gugat Trahing Kusuma, buku 1-3

200 4 1
                                    

BAB 3

Kemudian Mpu Windujati bersama Ki Gagak Sipat mendekati Raden Pamungkas yang terlihat berdiri termangu-mangu, memandang bebatuan yang masih terlihat utuh itu.

"Nampaknya kau sudah berhasil ngger."  Berkata Mpu Windujati.

Raden Pamungkaspun berpaling dan menjawab, "pangestu eyang, mudah-mudahan aku dapat menjaga tanggung jawab, dari apa yang telah di anugrahkan yang Maha Agung ini." Katanya.

Sesaat Mpu Windujati mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian berjalan mendekati bebatuan besar, yang menjadi sasaran ilmu yang di lontarkan Raden Pamungkas tadi. Perlahan ujung jari Mpu Windujati menyentuh sisi bebatuan itu, dan apa yang terjadi demikian mengagumkan. Batu itu luruh menjadi serpihan lembut seperti bubuk, lalu teronggok ke tanah. Mpu Windujati kembali mengangguk-anggukkan kepalanya, menggambarkan tanda kepuasan hatinya.

"Luar biasa!" Desis orang tua itu dalam hatinya.

Mpu Windujatipun kemudian melihat ke atas, di mana cahaya hari sudah semakin bergeser ke barat, sebelum dirinya berucap, "baiklah, hari sudah semakin condong, mungkin beberapa saat akan turun senja. Marilah, kita kembali ke pondok, sebelum hari menjadi gelap"

Kemudian Mpu Windujati  melangkah pergi, menjauhi ara-ara amba tersebut,  di ikuti Raden Pamungkas, juga Ki Gagak Sipat. Namun Raden Pamungkas seketika tertegun melihat sesuatu yang aneh, hingga tak terasa justru langkahnya terhenti, kemudian bertanya lirih kepada Ki Gagak Sipat, "paman, apakah paman melihat sesuatu yang aneh?" Bertanya pemuda itu

"Maksud angger?" Ki Gagak Sipat malah balik bertanya. kemudian Raden pamungkas mengutarakan ke anehan yang dilihatnya.

"Paman, apakah aku tidak salah lihat? Atau mungkin mataku yang menjadi kabur, meskipun aku belumlah tua. Tidakkah paman melihat keanehan itu?"   Sambil menggeleng-gelengkan kepala Raden Pamungkas kemudian melanjutkan pertanyaannya, "paman, aku tidak melihat eyang berlari, beliau berjalan wajar seperti kita, tapi setiap kali melangkah kenapa tiba-tiba eyang berada jauh puluhan tombak di depan kita?"

Sebenarnyalah memang Mpu Windujati terlihat sudah berada jauh di depan mendahului jalan Raden Pamungkas, juga Ki Gagak Sipat. Lalu dengan tersenyum Ki Gagak Sipat menjawab,  "ah, angger jangan heran, bukankah eyang angger itu bukan orang tua kebanyakan? Dalam tubuhnya bersemayam berbagai langka, yang barangkali saat ini jarang ada orang yang mengenalinya"

"Paman, sebagai orang yang gemar mengikuti arah angin, aku banyak menjumpai ilmu-ilmu sejenis itu, baik ilmu meringankan tubuh, atau ilmu lari cepat, namun bukankah eyang tidak berlari, atau melompat?"

"Angger, sebenarnyalah apa yang kau lihat itu adalah pengungkapan Aji Kidang Melar"

"Aji Kidang melar?" Desis Raden Pamungkas.

"Ya, sejenis ilmu memindahkan tubuh yang sangat langka, maka jangan heran jika kakek angger itu, dalam waktu singkat mampu pulang balik dari pesanggrahan di lereng gunung Semeru, ke padepokan di pedukuhan Jatiraga dengan berjalan kaki."   Kata Ki Gagak Sipat.

"Padepokan eyang windujati di pedukuhan terpencil di Jatiraga?"

"Benar ngger"

"Di sanalah aku menghadap eyang pertama kalinya, tapi bukankah itu letaknya masih wilayah kadipaten Lasem?" Desis anak muda itu heran.

          Dalam pada itu, menjelang malam, ketiga orang itu sudah berada di pondok kediaman Mpu Windujati. Dan sesaat setelah membersihkan diri, ketiganya melanjutkan perbincangan mereka di pringgitan rumah itu. Ketiganya duduk berhadap-hadapan di atas tikar pandan, lalu terdengar suara Mpu Windujati kemudian.

"Pamungkas, aku ingin bertanya kepadamu, dari mana kau sadap barbagai unsur ilmu perguruan itu?" Ucap orang tua itu.

Raden Pamungkas hanya tertunduk mendengarkan pertanyaan kakeknya itu. Ada sesuatu yang bergejolak dalam hatinya, namun dia yakin kakeknya bukanlah seorang yang kolot, membatasi perkembangan ilmu dengan hanya berdasarkan satu unsur saja. Seperti halnya Raden Pamungkas telah menyadap ilmu dari perbagai unsur pula, dan mampu luluh dalam dirinya, hingga watak ilmu-ilmu itu tidak saling berbenturan satu dengan yang lainnya.

Sesaat kemudian terlihat justru Mpu Windujati kembali berkata,
"Pamungkas, apakah kau juga meniru prilaku gurumu yang punya seribu nama itu?" Ucap Mpu Wundujati, lalu sambungnya, "terakhir aku mendengar adi Dipa Sajaya  bergelar Ki Ajar Tundhung Lara, ya, aku paham, karna dia juga seorang ahli pengobatan yang luar biasa, sangat tekun mendalami kitab tentang pengobatan, hingga pada suatu saat, entah dari mana gurumu itu mendapatkan sebuah batu cincin, yang mampu menawarkan segala jenis racun yang paling tajam sekalipun"

Sejenak Mpu Windujati terdiam, sambil menatap jari tengah di tangan kanan Raden Pamungkas seraya berkata, "Dan rupa-rupanya cincin itu telah di wariskan kepadamu ngger?"

Sambil memandang cincin batu akik di jarinya, Raden Pamungkas berkata,
"Demikianlah eyang, memang guru memberikan cincin ini padaku sebelum guru pergi ke pertapaannya untuk menyepi"

"Apakah kau juga mempelajari ilmu pengobatan itu ngger?"  Sahut Mpu Widujati

"Sebenarnyalah eyang." Jawab Raden Pamungkas singkat.

"Dengan demikian bekalmu semakin lengkap ngger, pesanku, pergunakanlah segala apa yang di anugerahkan Yang Maha Agung padamu itu sebaik-baiknya, untuk memayu hayuning bebrayan"

"Peangestu eyang, aku akan selalu mengingat segala petunjuk yang eyang berikan padaku."   Terdengar suara Raden Pamungkas lirih.

     Sejenak suara binatang malam semakin mengisi keheningan di sekitar pondok itu, seakan mengiringi  percakapan ketiga orang itu pula, ketika beberapa saat perbincangan itu terhenti. Dan kini  suara Mpu Windujati kembali terdengar.

"Pamungkas, sudah sekian lama aku berada di pondok ini, untuk mendekatkan diri pada Yang Maha Agung, melepaskan segala urusan yang menjemukan dari kehidupan ramai, namun aku seakan merasakan tubuh tuaku ini sudah saatnya kembali ke asalnya"

"Jangan berkata demikian eyang," sela Raden Pamungkas.

"Dengarkan dulu ngger, memang kita tidak akan mendahului kehendak Sang Pencipta, namun isyarat itu selalu saja datang pada saat saat tertentu, untuk itu mungkin besok, atau lusa, aku akan meninggalkan pesanggrahan ini. Jika Sang Pencipta menghendaki aku, biarlah aku menghadadap, namun aku ingin kembali ke padepokan ku di Jatiraga."

Setelah menarik nafas panjang Mpu Windujati melanjutkan ucapannya kembali.   "Besok setelah matahari sepenggalah, kamu turunlah bersama pamanmu Gagak Sipat, tentu kau akan melanjutkan perjalananmu, dan kepadamu Adi Gagak Sipat, berangkatlah dahulu ke Jatiraga nanti aku akan menyusulmu."

"Aku rasa bukan Mpu yang menyusulku, melainkan aku yang akan menyusul Mpu ke Jatiraga. Walau aku berangkat terlebih dulu, aku yakin ketika sampai di sana Mpu pasti sudah beberapa hari berada di sana."    Sahut Ki Gagak Sipat seraya tersenyum.

Mpu Windujatipun hanya menjawab dengan tersenyum pula, lalu kembali berkata,   "terakhir yang ingin aku katakan kepada kalian berdua. Nampaknya mendung di langit Demak semakin tebal setelah wafatnya kanjeng Sultan Trenggana. Maka kepadamu cucuku, berhati-hatilah, janganlah terjerumus pada keberpihakan yang tak berarti, kecuali kau harus waspadai, justru jika ada pihak-pihak yang berusaha mencari kesempatan karna ambisi pribadi. Sungguh yang seperti itulah yang berbahaya, mereka tidak akan memperhitungkan segala sesuatu demi ambisinya tersebut, sekalipun terjadi perang, yang bisa menyengsarakan rakyat banyak"

Dengan tekun Raden Pamungkas mendengarkan apa yang dikatakan kakeknya tersebut, sebelum selanjutnya terdengar lagi suara orang tua itu.

"Nampaknya malam sudah semakin larut, beristirahatlah, besok tentu kau akan memulai perjalanmu, dan sekali lagi ngger, selalu ingatlah semua yang telah aku katakan kepadamu, semoga Yang Maha Agung selalu melindungimu."

"Terimakasih eyang, aku akan selalu berusaha, dan selalu ingat pesan-pesan eyang, semoga aku dapat menjalankan sebaik baiknya." Jawab Raden Pamungkas.

Bersambung

Gugat Trahing KusumaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang