Gugat Trahing Kusuma, buku 1-7

164 3 1
                                    

Namun Ki Singa Rodra tidak mempedulikan ucapan Widuri, kini justru terdengar kembali mulutnya menggeram, menyusul suara tertawanya yang semula terdengar pelan, kemudian berangsur-angsur terdengar keras, bagaikan menggelegar seperti halilintar, yang seakan mampu mengungkapkan getaran udara, hingga membuat apa yang ada disekitar tempat itu manjadi berterbangan.

"Luar biasa kekuatan Aji Gelap Ngampar orang tua ini, rasa-rasanya dadaku semakin sesak terhimpit batu tebing," desis Arya Salaka dalam hati.

Arya Salaka memalingkan wajahnya memandang ke arah Widuri yang tubuhnya mulai goyah menahan getaran ilmu Ki Singa Rodra yang luar biasa itu. Akan tetapi putra Banyubiru tidak mampu berbuat banyak, meskipun dilanda kecemasan yang luar biasa

Namun dalam keadaan yang demikian sulit itu tiba-tiba muncul sebuah keanehan yang tidak terduga-duga. Dari arah belakang, dimana Arya Salaka dan Widuri berada, perlahan-lahan terasa berhembus angin yang meniup landai , seakan memberikan hawa kesejukan pada diri kedua suami istri muda itu, hingga lambat laun merasakan himpitan getar suara dari ilmu yang di lontarkan Ki Singa Rodra itu semakin lama semakin ringan. Seakan melapisi ketahanan tubuh Arya Salaka dan Widuri, dari pengaruh hentakan ilmu Gelap Ngampar yang luar biasa itu.

Sayup-sayup kini terdengar di kejauhan seperti suara orang yang sedang mengalunkan sebuah tembang, yang terdengar sangat merdu, dengan alunan suara yang mendayu-dayu, mengungkapkan kedamaian bagi setiap orang yang mendengarnya. Semakin lama alunan suara tembang itu semakin jelas seakan-akan berputar-putar di arena pertarungan tersebut, dan seperti menindih kekuatan Aji Gelap Ngampar yang tersalur lewat suara Ki Singa Rodra. Sehingga orang tua itu terpaksa melepaskan pengungkapan ilmunya.

Sementara itu, meski Ki Singa Rodra telah melepaskan pengungkapan ilmunya, suara tembang itu masih saja mengalun dengan jelas, meski belum terlihat, siapa sesungguhnya orang yang menembang itu,

Lir sarkara, wasianing jalmi,
Ambudiya budining sasatnya,
Memayu yu bawanane,
Ing reh hardaning kawruh,
Wruhing karsa kang ambeg asih,
Sih pigunane karya,
mBrasta ambeg dudu,
Mengenep nenging cipta,
Wruh unggyaning tindak kang ala lan becik,
Memuji tyas raharja

Sebuah alunan tembang dhandhanggula yang menyiratkan wejangan tentang prilaku yang baik kepada setiap manusia, supaya tidak selalu dicekam hawa nafsu,
Juga mendorongkan sifat untuk selalu menjaga ketentraman dunia beserta isinya.

Tiba-tiba Ki Singa Rodra menjadi termangu mangu, melihat kenyataan yang dihadapinya tersebut. Nalarnyapun bekerja keras seperti mengingat-ingat sesuatu.

"He, setan tua..! Kenapa kau ganggu pekerjaanku, keluarlah, jangan bersembunyi seperti tikus kesakitan!"
Dengan muka yang memerah menahan amarah, Ki Singa Rodra mengumpat-umpat kepada siapa yang tersembunyi dibalik suara tembang itu. Namun cukup lama tak ada jawaban,

"Tidak mungkin, tidak mungkin dia," desisnya, "yang aku dengar, setan tua dari Klurak itu sudah mati dimakan usia. Lalu siapa?" berkata Ki Singa Rodra dalam hatinya

Tak seberapa lama kemudian, desir langkah halus mendekati orang-orang yang ada di arena itu, dibarengi ucapan yang entah ditujukkan untuk siapa.

"Sungguh satu tindakan kurang terpuji, berusaha membunuh lawan yang tidak ada daya," kata orang itu.

Demikian setelah langkahnya terhenti, kini nampaklah jelas, sosok seorang lelaki agak tinggi kekurus-kurusan, yang mana kerut-kerut di wajahnya menujukkan, betapa usianya sudah mencapai ambang senja, walau sorot matanya masih menampakkan sebuah semangat yang teramat dalam.

"Paman..., apakah paman Dipa Sanjaya?" Desis widuri yang kini termangu-mangu memandang orang tua itu

"kau masih ingat aku ngger?"
demikian orang tua itu berpaling ke arah Widuri, lalu mengalihkan pandangan matanya menuju ke arah di mana Ki Singa Rodra, lalu berkata.

"Kisanak yang perkasa, tidakkah kita yang tua-tua ini harus memberikan contoh yang baik, untuk mengingkuti norma-norma yang berlaku, daripada sebuah prilaku yang kurang terpuji?" kata orang tua itu.

"Persetan dengan sesorahmu setan tua! Katakan siapa dirimu yang telah berani mengganggu kesenanganku!" kata Ki Singa Rodra sambil menggertakkan giginya.

"Kau sudah menyebutku setan tua, kenapa masih bertanya siapa aku?"

"Jangan kau bergurau, aku bertanya siapa namamu, atau siapa sebutanmu? Iblis!"

"Ha ha ha ha.., kau ini aneh, atau barang kali sudah pikun kisanak, kau telah menyebutku setan tua, lalu iblis, tapi masih saja bertanya siapa aku."

"Diam..!! suara tawamu membuat kepalaku menjadi pening!"

Widuri yang melihat prilaku orang yang baru datang itu menjadi geli, karnaWiduri tau benar watak dari orang yang disebutnya paman itu.

"Baiklah kisanak, aku akan mengatakan siapakah aku, walau aku juga bingung, siapakah sebenarnya aku ini?" Berkata orang tua yang baru datang itu.

"Kau mempermainkan aku, iblis!" sergah Ki Singa Rodra

"Jangan begitu, tidak baik orang-orang yang sudah bau tanah seperti kita ini berbicara kasar." Masih saja orang yang dipanggil paman oleh Widuri itu mengembangkan senyumnya, lalu meneruskan ucapannya.

"Karna sebenarnyalah aku memang bingung jika di tanya siapa aku ini, kadang orang menyebutku Ajar Tundhung Lara, kadang orang juga memanggilku Ki Bagas Waras, Ki Mayang Jati, bahkan tadi kau menyebutku setan tua, maka bagiku apalah arti sebuah nama itu?"

"Ki Mayang Jati?" ulang Ki Singa Rodra.

"Kau mengenal salah satu nama itu kisanak?"

"Lalu apa hubunganmu dengan iblis tua dari klurak itu?"

"Siapa yang kau maksud, kisanak?"

Jangan berlagak bodoh, kau tentu tau Pandanalas, iblis tua dari Klurak itu!"

Sesaat Ki Mayang Jati mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian berkata,. "Kadang dunia ini memang aneh, aku memang mengenal mendiang Ki Ageng Pandanalas yang kau sebutkan itu, namun bukanlah seperti iblis yang kau katakan itu, justru apa yang aku tau, dia adalah orang yang gemar menumpas iblis."

"Kau menyindirku, setan!"

"Bukan menyindir, tapi bukan salahku jika ada yang tersindir."

"Kau terlalu sombong, setelah mewarisi ilmunya yang kau gunakan untuk menakut-nakuti aku itu, tapi jangan harap aku akan gentar!"

"Mewarisi ilmu? Hemm..,aku memang mengenal mendiang Ki Ageng Pandanalas, tapi aku hanya mengagumi karya-karya tembangnya yang sarat dengan petunjuk luhur, tidak lebih dari itu." jawab Ki Mayang Jati.

Namun nampaknya ada satu perubahan pada diri Ki Singa Rodra ketika mendengar nama Ki Mayang Jati tersebut. Entah apa yang terpikir dalam benaknya, hingga membuat hatinya menjadi menir, lalu dengan suara bergetar diapun berkata, "Baiklah, kali ini aku tidak punya waktu menghadapimu! Suatu saat aku akan membuat perhitungan dengan apa yang telah terjadi di sini, aku mohon diri." kata Ki Singa Rodra sesaat sebelum beringsut dari tempatnya.

"Silahkan ki sanak, maaf aku tidak menghantar, dan jangan lupa kau bawa jasad muridmu itu, kami tidak punya waktu menguburkannya di sini." tukas Ki Mayang Jati.

Hanya tatapan mata Ki Singa Rodra yang nampak menyala-nyala menahan kemarahan memuncak, namun segan untuk berbuat lebih jauh lagi.

Bersambung.

Gugat Trahing KusumaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang