4

57 2 0
                                    

Rencana awalku adalah membuatnya meremehkanku sepertinya berhasil. Berpura-pura kewalahan menghadapinya dengan terengah-engah berusaha mengatur nafas. Aku terbiasa mengatur nafasku, aku juga mempunyai julukan gila yaitu katak amfibi karena aku bisa menahan nafas sampai empat menit lamanya.

Mengatur nafas adalah hal yang terpenting jika ingin membunuh orang yang juga mempunyai keahlian membunuh. Si tua bangka ini salah satunya. Ia meremehkanku dilihat dari bibirnya yang tak henti-hentinya membuat senyum mengerikan dan menjijikkan disaat yang bersamaan. Keringat membanjiri pelipisnya.

Ia kembali menyerangku dari jauh, dengan jangkauan pedangnya yang panjang. Sedangkan, pisau sashimiku tak sampai seperempat panjang pedangnya. Jika dilihat-lihat di manapun juga, pasti aku akan kalah. Tapi, ini hanya permulaan bagiku.

Ia meremehkanku, otomatis kepercayaan dirinya akan meningkat dan akan ada banyak celah yang ia buat karena menganggap aku telah kualahan menghadapinya.

Sudah lima menit pertandingan kami berjalan, sebenarnya aku sudah bisa membunuhnya dari tadi. Tapi agak sangat disayangkan saja jika aku langsung membunuhnya karena tidak akan seru dan tidak akan menyenangkan juga buatku. Kulihat tua bangka itu juga agak sedikit kelelahan.

Ia terus menyerang, sementara aku terus sengaja menangkis dengan pisau sashimiku. Saat ini, saat yang tepat untukku membalik keadaan. Aku menendang pergelangan tangannya yang sedang memegang pedang dengan kakiku dengan kuat. Tua bangka itu tampak terkejut dan pegangan pedangnya agak sedikit tergelincir.

Aku tersenyum saat mata kami bertemu.

Saat ia fokus untuk membetulkan pegangan pada pedangnya, saat itu lah aku menendang dadanya dan ia terpental bersamaan dengan pedangnya yang juga terpental. Suasana hening. Lumayan juga kemampuannya, tapi sejujurnya kemampuanku jauh lebih tinggi di atasnya.

Aku kan pembunuh bayaran yang menguasai lima jenis bela diri yang berbeda yang jelas-jelas tidak ada di dunia ini. Dan juga menguasai berbagai alat untuk membunuh kecuali berpedang. Ia terlalu meremehkanku.

Aku mendekatinya, menarik rambutnya dengan kasar. "Ada kata-kata terakhir pak tua bangka?"

"Tolong, selamatkan aku"

"Bodoh" Aku mendekatkan pisau sashimiku ke lehernya. Ia menggeleng lemah.

"Aku minta maaf sungguh, aku benar-benar minta maaf" Air matanya menggenang di pelupuk matanya. Ia bergetar ketakutan, takut untuk dibunuh olehku.

Nah inilah yang aku rasakan saat itu, saat ia meremas bokongku di depan seluruh orang dan mengataiku segala macam kata-kata menyakitkan untukku. Aku mendekatkan mulutku ke telinganya, berbisik kata-kata yang persis ia ucapkan kepadaku saat itu.

"Jangan berteriak, jalang sepertimu sudah hidup dengan baik saja harusnya bersyukur. Aku bisa saja menjatuhkan keluargamu tapi melihat tubuhmu yang memikatku jadi aku urungkan niatku"

Matanya melotot mendengar kata-kata yang pernah ia lontarkan kepadaku. Benar-benar sinting.

Lalu, aku menggorok lehernya sampai putus dengan sekali tebasan. Darah memuncrat keluar membasahi seragam latihanku dan membasahi tanah lapangan yang berwarna coklat muda. Orang-orang tak ada yang berbicara, nafasnya pun tertahan.

Aku memegang kepalanya dan melemparkannya ke tengah lapangan. Matanya masih melotot ketakutan. Dan aku pergi meninggalkan lapangan itu dengan seringaian yang memuaskan. Benar-benar menaikkan gairahku untuk membunuh.

Menjadi pembunuh bayaran, selamanya akan begitu kan. Kemampuanku tak pernah tumpul walaupun sudah dua tahun tak pernah berlatih lagi. Tapi darahku saat menggorok lehernya mendidih seketika, rasa senang menjalari seluruh syaraf-syarafku.

When The Moon Goes DownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang