Kami keluar dari ruang pribadi Ratu secara bersamaan. Aku berniat untuk berlari meninggalkannya dan kabur entah kemana, tetapi seperti tahu niatku ia menggenggam tanganku.
Aku memandangnya dengan jijik dan aneh. Lalu segera menghentakkan tangannya.
"Hih" Dengusku tak sadar. Kulihat wajah Putra Mahkota berubah muram dan aku sadar apa yang aku lakukan tadi. Sumpah, aku tak sengaja bersikap kurang ajar, karena bagaimana ya aku tak terbiasa disentuh oleh seorang laki-laki.
"Apakah aku terlihat menjijikkan di matamu?"
"Maaf Yang Mulia, saya pantas mati sungguh" Bukannya bersujud memohon ampunan, tololnya aku malah kabur sambil memohon ampunan. Pikiran dan tubuhku tak selaras, sering sekali melakukan hal-hal yang bertolak belakang dan malah menjadi petaka untukku sendiri.
Tak heran jika sehabis ini dia mencariku dan memenggal kepalaku untuk dijadikan koleksi.
Kelakuanku salah, aku berada di Istana bukan di rumah atau bahkan asrama. Aku seperti manusia tak beradab, aku tinggal di sini atas izin Raja kan, membawa nama keluarga Alarie sang bangsawan yang terhormat, kenapa malah aku bersikap seperti orang rendahan yang tidak pernah belajar tata krama.
Di sini, aku bukan manusia rendahan yang memanfaatkan perasaan seseorang, aku bukan si pembunuh bayaran. Mentang-mentang Putra Mahkota menyayangiku, aku tak boleh memanfaatkannya dan menyakitinya bukan. Aku bukan ibu tiriku dan aku kemari karena Tuhan memberi kesempatan padaku untuk hidup lebih baik lagi.
Jadi, lebih baik aku kembali lagi ke tempat tadi, dan syukurlah Putra Mahkota masih ada di sana.
Aku menghampirinya, dan berlutut.
"Maafkan kekurang ajaran saya Yang Mulia, saya benar-benar tidak beradab. Saya pantas dihukum mati" Aku tak berani menatap matanya, atmosfer di sini tak begitu menyenangkan. Wajar sekali jika Putra Mahkota marah, sikapku tadi seperti merendahkannya.
"Hei, ayo berdiri. Aku bukan orang yang kejam seperti itu hingga langsung memenggal kepalamu karena kesalahan sepele"
Putra Mahkota mengangkat daguku dengan lembut, mata kami saling bertemu. Tatapan lembut yang terasa familiar, tatapan penuh cinta yang ia berikan kepadaku. Aku pernah merasakannya waktu kecil, nenekku selalu menatapku seperti ini. Tak pernah kubayangkan aku bisa mendapatkan tatapan penuh cinta ini lagi.
"Loh, kenapa menangis?" Putra Mahkota mengusap pipiku dengan ibu jarinya. Kalau ia tak bilang aku menangis aku tak akan sadar kalau aku sedang menangis.
"Ah a-anu saya hanya teringat nenek saya saja" Aku lalu menghapus air mataku dengan cepat, takut Putra Mahkota berfikir macam-macam dan takut sekali kalau ia mengira dirinya membuatku menangis.
"Ayo sarapan" Ia menarik tanganku, membawaku entah menuju kemana.
Betul, masih pagi dan aku butuh makan-makanan yang layak dan bergizi, karena saat aku menghabiskan hariku di perpustakaan aku hanya makan seadanya.
**********
Kupikir, saat ia mengajakku sarapan dan menyuruhku menunggu di depan kamarnya kami akan sarapan di dalam kamarnya. Tetapi ternyata tidak, ia ke kamar untuk mengganti pakaiannya. Ia mengenakan pakaian biasa bukan pakaian kerajaan yang agak menyesakkan itu.
Pakaian yang sering dipakai oleh orang-orang biasa di ibu kota. Ia terlihat sangat cocok dengan pakaian itu. Apakah jika tak ingin terlihat mencolok di luar ia sering memakai pakaian seperti ini?.
"Maaf mengecewakan, tetapi kita tidak akan makan di Istana" Ucapnya canggung.
Kau tau kan, ada jenis orang yang akan cocok memakai pakaian apapun, sejelek apapun pakaian akan terlihat bagus jika dipakai orang itu dan ada jenis orang yang tidak cocok memakai pakaian apapun, walaupun pakaiannya sangat bagus, jika jenis orang tersebut memakainya akan terlihat jelek padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
When The Moon Goes Down
FantasyNamanya sendiri tak ia ingat, ia hanya tahu bahwa ia adalah seorang mantan pembunuh bayaran yang lahir dari rahim seorang mantan pelacur yang sekarang menjadi seorang penjudi dan pemabuk. Berhenti dari pekerjaannya yang menjijikkan dan hina, bermaks...