9

24 3 0
                                    

"BUNUH MUSUH, LINDUNGI DIRI KALIAN, LINDUNGI KERAJAAN RARENTE SAMPAI MATI" Kuteriakkan kata-kata itu dengan segenap jiwaku. Pasuka eliteku berteriak mengobarkan semangat, mengambil pedang dari sarungnya. Kuda-kuda perang kami berlari lebih kencang, aku membunuh musuh-musuh dengan belatiku di atas Philip.

Susah, aku tak terbiasa. Belatiku kecil, aku tak bisa mengunuskan belatiku.

Aku menghentikan Philip, dan turun dari sana.

"Kita akan berperang bersama nanti, sekarang cari tempat aman dan selamatkan orang-orang yang terluka. Biar aku yang berperang" Begitu aku mengelus kepalanya dengan lembut, Philip langsung pergi berlari entah kemana.

Aku mengambil kedua kunaiku yang telah bersih. Mereka telah menunggu dirinya untuk dibasuhi darah musuh. Aku membunuh dengan gembira, menusuk, menggorok, menebas apapun yang bisa melumpuhkan mereka.

Aku tak hanya menggunakan kedua tanganku untuk membunuh, aku juga menggunakan kaki-kakiku dan ilmu beladiri yang telah aku kuasai. Mereka terpental, mengeluh sakit, aku bisa mendengar bunyi tulang yang patah.

Dan hal yang paling kusuka adalah, bunyi saat aku mematahkan leher lawanku yang membuat mereka langsung mati.

"Raja Monio yang agung akan membunuhmu di sini" Prajurit itu membual dan mencengkram pergelangan kakiku sebelum kutancapkan belatiku ke jantungnya. Ohooo, bagus juga semangat juangnya yang tetap membela negaranya sampai akhir hayat.

"Kalahkan kami dan dia akan membunuhku" Lalu kutancapkam belati pada jantungnya. Ia kemudian tak bernafas dan mati. Tak jarang prajurit Monio yang memohon ampun sebelum kubunuh dan tak sedikit juga yang mengumpatiku saat mereka sudah tahu nasibnya ada di tanganku dan saat tahu bahwa, aku yang akan bertugas sebagai pencabut nyawa mereka.

Aku terus maju ke tengah-tengah perperangan, mencari pemimpin prajurit bayaran dan juga mencari kepala sang raja Monio yang ikut turun andil dalam peperangan kali ini.

Satu panah melesat ke arahku dan berhasil kutangkis dengan kunaiku, kunaiku langsung pecah. Sialan, aku tadi sudah kehilangan 5 kunaiku karena melemparnya untuk membunuh prajurit jarak jauh dan sekarang aku harus kehilangan satu lagi untuk menangkis anak panah dan pecah begitu saja.

Aku menjadi marah, aku tak bisa menggunakan pedang untuk mengganti kunaiku. Aku mengutuk diriku sendiri yang tak pernah menggunakan waktuku dengan baik untuk belajar berpedang.

Jika kunaiku habis, aku hanya dapat menggunakan belati. Di area ini, hanya pedang, anak panah dan tombak yang berserakan dan dengan sangat menyesal aku tak bisa menggunakannya.

Di saat keadaan genting ini, aku tak boleh memikirkan yang belum tentu terjadi. Aku harus terus maju, membunuh lebih banyak prajurit Monio dan membantu Rarente untuk menang.

Dari sini, aku dapat melihat putra mahkota yang sedang membunuh musuhnya menggunakan pedang. Benar-benar menakjubkan, tak salah jika ia dijuluki sebagai malaikat maut peperangan. Gerakan tubuhnya yang luar biasa lincah, tangannya yang luar biasa lihai setiap menebas musuhnya menjadi dua menggunakan pedang.

Aku terkesima. Ia bergerak dengan lincah membuat orang yang melihatnya pun berfikir bahwa berpedang adalah hal yang mudah dan ringan. Padahal sangat-sangat berkebalikan.

Mata birunya bersinar terang, wajahnya ganas. Sangat berbeda saat ia berbicara denganku di kandang kuda. Ia seperti orang lain, saat ini ia seperti malaikat maut yang tak punya perasaan.

Mataku menangkap beberapa prajurit pemanah musuh yang diam-diam bersembunyi di atas tebing. Mereka bersiap-siap untuk menembakkan panah ke arah putra mahkota yang sibuk dengan pertempuran di bawah. Aku mengambil perisai yang sedikit penyok di tanah dan berlari melesat mendekati putra mahkota.

When The Moon Goes DownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang