Lewat tengah malam, salju turun tak begitu lebat, namun suhu udara terus menurun belakangan ini, membuat bathtub air hangat kamar utama mansion besar itu jadi makin sering digunakan berdua.
Naruto belum tertidur, dia berbaring miring di atas ranjang, mengamati wanita cantik yang terlelap nyaman di sisinya.
Entah karena kelelahan atau apa, namun wanita itu sudah tertidur sejak pukul sembilan malam.
Seharian ini wanita itu sibuk membuat pangsit di dapur, tamu yang mereka jamu sejak akhir musim gugur itulah yang memintanya. Semakin dituruti keinginannya, semakin banyak dia meminta. Membuat istrinya banyak berkutat di dapur belakangan ini.
Naruto menyentuh wajah cantik wanita itu, membelainya dengan amat lembut dan ringan. Belakangan ini perasaan resah itu terus memenuhi benak dan hatinya. Keberadaan wanita itu di sisinya, seolah memberi warna baru dalam hidupnya yang selama ini hanya hitam dan abu.
Kelopak mata seputih salju itu masih terpejam, dengan wajah damai yang membuat Naruto betah berlama-lama menatapnya.
Dia menyingkap pakaian tidur yang dikenakan wanita itu dan menyentuh kalung dengan cincin pernikahan sebagai liontinnya.
Naruto meraihnya, mungkin dia nanti akan mengambil cincin ini kembali untuk digunakan, namun tidak sekarang.
Dia kemudian menutup kembali pakaian tidur wanita itu yang tadi sempat dia singkap.
Tepat setelah Naruto menyembunyikan kembali kalung itu dibalik pakaian istrinya, tiba-tiba wanita itu merubah posisi tidurnya,
Seperti hari biasa yang entah Hinata sadari atau tidak, namun wanita itu sering meletakan kening di dadanya sambil menenggelamkan diri di balik selimut yang mereka gunakan berdua.
Naruto tidak ingat kapan terakhir kali dia merasakan kehangatan seperti ini di malam musim dingin.
Mungkin dulu semasa kecilnya di Jerman.
Sedangkan saat ini, yang ada hanya perjalanan panjang yang tak ada ujungnya. Namun wanita ini menawarkan persinggahan terakhir untuknya.
Naruto belum memutuskan apa benar-benar akan bersinggah di sini selamanya atau akhirnya pergi meninggalkan wanita itu. Akan dia tunggu sampai keyakinan itu memenuhi benaknya.
Sebaiknya Hinata segera mengandung putranya agar ada lebih banyak alasan untuk tetap tingal.
...
"Kurasa kau harus ke Tokyo dan memeriksanya." Kakashi baru saja mendapat pesan bahwa ada sedikit masalah di kelab milik mereka di Tokyo.
"Bukankah kita sudah membereskan masalah pajaknya?" Naruto mengerutkan kening. Tiba-tiba saja petugas pajak mengusik bisnis mereka di Tokyo.
"Ya, kurasa mereka begini karena kita adalah pendatang." Kakashi masih percaya bahwa diskriminasi itu nyata pada kelompok minoritas. Pebisnis pendatang seperti mereka pasti akan mendapatkan hambatan seperti ini. Hanya tinggal seberapa sanggup mereka mengatasinya.
"Aku akan ikut denganmu ke Tokyo dan memeriksanya langsung. Lagipula kau harus bersiap untuk pelayaran." Naruto berucap pasti, dia harus segera pergi ke Tokyo dan mengurus segalanya.
"Baiklah, kau bisa meneruskan urusan di sana setelah nanti aku berangkat berlayar." Kakashi mengangguk sepakat. "Lusa kita berangkat, segera beritahu istrimu."
Naruto hanya bergumam. Dia tak biasa berpamitan dan selalu pergi sesuka hati tanpa memberitahu wanita itu.
Namun sekarang sepertinya harus memberitahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
As You Remember
أدب الهواةSemua orang mengatakan pada Hinata, untuk menipu pria itu di momen dia melupakan segalanya. Buatlah skenario seakan-akan sejak dulu hingga hari ini semua baik-baik saja, toh pria itu tidak akan tahu.