"Biar aku yang merawatnya." Naruto menahan kepala pelayan yang baru akan mengetuk pintu kamarnya, membawa peralatan dan obat untuk merawat luka Hinata.
"Baik Tuan." Kepala pelayan bergegas memberikan peralatan dan obat yang dia bawa.
Naruto kemudian membuka pintu geser kamarnya. Sudah dua hari sejak Hinata terbaring di atas ranjang selepas pengangkatan peluru di punggungnya. Wanita itu beristirahat penuh di kamar dan memulihkan diri.
Begitu pintu terbuka, Naruto mendapati kamarnya separuh remang, mungkin karena ini nyaris tengah malam.
Hinata masih berbaring telungkup di atas ranjang, Boruto ada di sampingnya sudah terlelap lebih dulu. Wanita itu masih sibuk menjaga bayinya meski sedang sakit.
"Tidurlah jika Boruto sudah tidur, kau harus beristirahat." Naruto menghampiri dan duduk di tepi ranjang.
Hinata sibuk mengusap pipi gembil bayinya. "Baru saja dia menangis."
Naruto mengusap kepala bayinya dengan lembut. "kenapa dia menangis?"
"Mungkin karena lapar." Hinata kesulitan menyusui bayinya karena harus berbaring telungkup selama masa pemulihan.
Naruto menyingkap selimut dan kain yang menutupi punggung telanjang Hinata. "Biar ku obati agar kau bisa kembali merawat Boruto dengan nyaman."
Hinata tersenyum tipis, dia masih mendekap putranya dengan satu lengan. "Terima kasih." Ucapnya dengan tulus.
Naruto membuka kotak obat kemudian mengambil kain dan kasa untuk membersihkan bekas luka sayatannya.
"Boruto sangat mirip denganmu." Hinata tak pernah lelah mengamati pancaran wajah lugu dan menggemaskan putranya.
"Tentu saja, dia putraku." Naruto menyingkap surai panjang Hinata ke bahu kanannya.
Kemudian hanya keheningan yang mengisi ruang di antara mereka. Naruto sibuk merawat luka di punggung istrinya.
Sedangkan Hinata tidak tahu harus mengatakan apa, dirinya belum terbiasa dengan pria itu yang seperti ini.
"Kau tertidur?" Naruto bertanya kepada istrinya.
Hinata menggeleng "aku tidak tahu apa yang harus kukatakan."
"Apa kau memiliki pertanyaan yang kau ingin ketahui dariku?" Naruto merasa dirinya dan Hinata masih belum cukup saling mengenal, meski mereka telah menikah selama satu tahun lebih, menghabiskan banyak malam bergumul di atas ranjang, berendam bersama, dan hal intim lainnya, namun mereka nyaris tidak pernah bicara dari hati ke hati.
"Banyak sekali dalam kepalaku." Ucap Hinata dengan jujur.
"Tanyakan kepadaku satu persatu." Naruto pikir istrinya belum lelah atau mengantuk jadi dirinya mempersilakan wanita itu bertanya.
"Kau mahir mengobati, kudengar dari kepalan pelayan, kau yang menangani pendarahanku kemarin?" Hinata memulai dengan pertanyaan mudah.
"Aku pernah mendapat pelatihan medis yang cukup intens." Naruto kemudian membubuhkan obat di sepanjang garis sayatan itu selepas membersihkannya.
"Pelatihan?" Hinata mengerutkan kening, bagaimana bisa pria itu mendapat pelatihan medis.
"Enam tahun aku bekerja di militer Jerman, sebelum Kakashi menjemputku untuk melanjutkan bisnis mendiang Ayah." Naruto tak pernah mengatakan ini kepada Hinata sebelumnya.
Hinata cukup terkejut mendengarnya. Pria itu di militer? Pantas saja.
"Kenapa terkejut?" Naruto menarik sudut bibirnya melihat keterkejutan wanita itu. "Tak cocok denganku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
As You Remember
FanfictionSemua orang mengatakan pada Hinata, untuk menipu pria itu di momen dia melupakan segalanya. Buatlah skenario seakan-akan sejak dulu hingga hari ini semua baik-baik saja, toh pria itu tidak akan tahu.