18. Kau Menyelamatkanku

919 177 13
                                    

Cukup lama Sesil berdiri tercenung di teras, hingga merasa kedinginan karena baru menyadari pakaian tidurnya yang tipis. Ia pun masuk ke dalam dan berbaring di sofa panjang, sembari menatap jam di dinding yang sudah menunjukkan jam dua pagi.

Rasa kantuk yang mulai datang membuatnya berbaring  hingga terlelap.

“Nyonya?”

Sesil terbangun, mengerjap-ngerjapkan matanya pelan dan melihat salah satu pelayan yang berdiri di sampingnya. Saat itulah ia menyadari ia tidak tidur di tempat tidur. Pandangannya mengarah keluar, melihat hari yang sudah mulai terang.

Sesil bangun terduduk dan menelaah ingatan yang membuatnya tertidur di tempat ini. Saga bermimpi buruk dan pergi begitu saja. “Suamiku sudah pulang?”

“Belum, Nyonya.”

“Jam berapa sekarang?”

“Enam.”

“Kei?”

“Belum bangun.”

Sesil pun beranjak dan berjalan ke arah tangga. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti ketika pandangannya melirik ke lorong di samping tangga. Tampak mempertimbangkan sejenak dan mengurungkan niat untuk langsung naik ke lantai dua. Berjalan melintasi lorong dan berhenti di depan pintu kamar Dirga dirawat.

Tangannya sudah terangkat menggenggam gagang pintu ketika memutuskan untuk mengetuk dua kali dan menunggu dengan napas tertahan. 

“Masuk.” Suara lemah dari dalam mengejutkan sekaligus melegakan Sesil. Suara yang begitu familiar di telinga sekaligus ingatannya. Seperti yang dikatakan oleh Saga, Dirga sudah bangun.

Sesil pun mendorong pintu dengan perlahan. Melangkah masuk dan pandangannya langsung mengarah ke tempat tidur.

Dirga tak terkejut menemukan Sesillah yang muncul. Dokter, Alec, ataupun Saga tak pernah mengetuk pintu. Dan pelayan tidak datang sepagi ini untuk membawakannya makanan.

Sejenak ia sempat terkejut ketika mendengar suara langkah yang lembut mendekat dari balik pintu. Sebelum kemudian berhenti di depan pintu dan suara ketukan menyusul. Ia berharap itu Sesil, meski tahu Saga pasti telah melarang wanita itu datang ke sini.

“Hai.” Sesil memberikan seulas senyum sambil melangkah mendekat. Mengamati penampilan Dirga yang setengah berbaring di kepala ranjang. Masih ada terlalu banyak perban di tubuh Dirga, tetapi melihat kedua mata pria itu terbuka, kelegaan tak berhenti memenuhi dadanya. “Kau sudah bangun?”

Dirga pun membalas senyum Sesil dengan tak kalah lebarnya meski bibirnya pasti masih terlihat kering dan pucat. “Ya, siang aku terlalu banyak tidur dan tidur lebih awal,” jawabnya kemudian.

“Bagaimana kabarmu?”

“Sedikit lebih baik. Meski butuh waktu lebih lama untuk kakiku bisa digunakan dengan normal.”

Kedua mata Sesil yang diselimuti kesedihan beralih pada kedua kaki Dirga yang digips dan sebagiannya tertutup selimut. “Maaf.”

“Kenapa kau meminta maaf?” Kening Dirga berkerut. “Akulah yang seharusnya minta maaf padamu untuk semua kerepotan ini, Seil. Dan terima kasih sudah menyelamatkan nyawaku, Sesil. Kau bahkan menuruti keinginanku dan melindungiku. Tidak membawaku ke rumah sakit.”

“Aku hanya bisa melakukan itu untuk menolongmu.”

“Kau melakukan semuanya. Aku tak tahu kalau kau tidak datang lebih cepat, mungkin …”

“Jangan katakan hal yang buruk, Dirga,” potong Sesil sebelum Dirga menyelesaikan kalimatnya.

Dirga tersenyum, akan kepedulian Sesil yang masih tersisa untuknya.

Saga Sesil 2 ( After the Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang