After the Story
Saga & Sesil
###
Part 12
###
Sesil memberengut ketika Saga menyurun pelayan untuk memberikan piring berisi omelet pada Sesil sedangkan pria itu meminta piring lain untuk diri sendiri. Dengan tanpa selera, Sesil memaksa melahap makanannya. Tak ingin terlihat merajuk seperti anak kecil di hadapan Kei.
"Bukankah Mama harus menghabiskan makanannya?" tanya Kei melihat piring Sesil yang masih tersisa setengah ketika mengatakan sudah selesai.
Saga melirik piring Sesil lalu wajah wanita itu. "Habiskan, Sesil."
"Aku sudah kenyang," jawab Sesil datar. Bangkit berdiri.
"Kau belum meminum susumu."
"Perutku sudah penuh." Sesil melangkah pergi.
Saga menipiskan bibir, tapi ia tak mungkin berteriak di depan putranya.
"Apa Mama marah pada Papa?" tanya Kei polos dengan mata bulatnya saat tubuh Sesil sudah menghilang dari ruang makan.
"Papa akan bicara dengan mama, habiskan sarapanmu." Saga bangkit, membungkuk sejenak untuk mengecup ujung kepala putranya sebelum menyusul Sesil. "Paman Alec akan mengantarmu ke sekolah."
Kei mengangguk. Menatap punggung papanya yang menjauh.
Saga tak menemukan Sesil di kamar mereka, di ruang kerjanya, atau di mana pun di lantai dua. Ia pun kembali turun ke lantai dan berpapasan dengan Alec yang sepertinya dari lorong halaman belakang.
"Kau lihat Sesil?"
Alec mengangkat bahu sambil melirik ke arah belakangnya. "Bagaimana keadaannya?"
Ujung bibir Saga berkedut tak suka. Tak hanya Sesil, Alec pun ikut menanyakan pertanyaan yang sama sekali bukan urusannya.
"Kau bisa bicara dengan dokter Juan. Aku tak butuh informasi apa pun tentang keadaannya. Pastikan saja dia cepat keluar dari rumah ini sebelum rumah tanggaku hancur karena dirinya," jawab Saga dingin. Lalu berjalan melewati Alec.
Di halaman belakang, ia melihat Sesil yang duduk di bawah gazebo dengan ekspresi muram.
Sesil yang segera menyadari kedatangan Saga, hanya melirik dingin pria itu kemudian memalingkan muka.
"Jangan bersikap seperti anak kecil, Sesil," sergah Saga begitu berdiri di samping kursi yang diduduki oleh istrinya.
"Kenapa lagi?" kesal Sesil.
"Kau bilang ingin makan omelet, setelah omelet disiapkan untukmu kenapa kau tidak menghabiskannya?"
"Aku sudah kenyang," jawab Sesil ketus.
"Jangan jadikan kehamilanmu sebagai alasan."
"Aku benar-benar sudah kenyang." Suara Sesil naik satu oktaf. Sakit hati dengan tuduhan pria itu. Wajahnya mendongak membalas tatapan Saga.
Kedua mata Saga terpejam dengan kedua tangan terkepal keras. Sadar bahwa sikap keras akan membuat Sesil semakin menentangnya, ia hanya bisa menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya secara perlahan. Dan kepalan tangannya melonggar. "Apa kau marah karena aku tidak menyuapimu?" tanyanya dengan suara dipaksa selembut mungkin dan bibir yang nyaris tidak bergerak.
"Kau tahu aku menginginkannya tapi kau sengaja mempermainkan emosiku, kan?"
Mata Saga kembali terbenam. Jika tidak ingat ada darah dagingnya di dalam perut wanita itu, semburan kemarahan pasti sudah meluap dari kedua mulutnya. "Baiklah, kita kembali ke dalam. Aku akan menyuapimu."
Seketika kekesalan Sesil meluap dalam sedetik. Digantikan senyum cerah ketika wanita itu langsung beranjak. "Kenapa tidak dari tadi kau melakukannya?"
Saga menahan geramannya. Membiarkan Sesil merangkul lengannya dan keduanya kembali masuk ke rumah. Lagi-lagi selalu merasa tak berdaya oleh Sesil.
Saat sampai di dalam rumah, langkah Saga dan Sesil sempat terhenti melihat dokter Juan dan Alec yang tengah berbicara di depan kamar tamu tempat Dirga dirawat. Dari raut keduanya, sudah jelas tak ada perkembangan yang bagus dengan Dirga. Atau malah keadaan pria itu semakin memburuk.
Wajah Sesil terlihat memucat, kakinya sudah bergerak melangkah ingin ikut bergabung dalam pembicaraan tersebut, tapi tangannya ditahan oleh Saga.
Sesil menatap Saga dengan penuh permohonan.
Wajah Saga mengeras. "Jangan memohon padaku untuk pria lain," desisnya tajam.
Sesil seketika menundukkan wajah dan membungkam permohonannya. Alec memandang mereka berdua bergantian, begitu pun dokter Juan. Dokter Juan berpamit pulang, mengikut Alec yang berkata akan mengantar Kei ke sekolah sekalian pulang juga. Yang dijawab Saga dengan anggukan singkat.
Sesil membiarkan Saga membawanya kembali duduk di meja makan. Menarik piring milik Sesil ke hadapannya. Ia mengambil sesuap dan mendekatkan sendok ke mulut Sesil.
"Buka mulutmu," pintah Saga.
Sesil membukanya, mengunyah dan menelan makanan itu dengan pikiran yang masih melayang memikirkan nasib Dirga. Ia membuka mulut di suapan kedua, ketiga, dan keempat dengan tak berselera. Rasa makanan itu dalam sekejap berubah menjadi seperti lumpur di mulutnya. Bagaimana bisa ia menikmati semua makanan lezat ini dengan keadaan Dirga yang masih berada di ambang kematian.
Membuatnya berpikir, apakah ia terlambat menyelamatkan pria itu? Jika saja ia bisa datang lebih awal, mungkinkan pria itu akan selamat?
Saga membanting sendok di tangannya ke meja, membuat Sesil tersentak keras dari lamunannya.
"Kau memikirkannya?" geram Saga. Benar-benar sudah kehilangan kesabaran menghadapi sikap Sesil yang semakin tidak tahu diri dan menganggapnya seolah tak ada.
Sesil menatap wajah Saga sambil mengigit bibir bagian dalamnya. Lalu menggeleng pelan dan tangannya bergerak ingin menyentuh tangan Saga. Tetapi pria itu menepisnya dan menyilangkan kedua tangan di depan dada sambil bersandar di punggung kursi.
Ekspresi Saga benar-benar membuatnya mulai panik. Dan hal itu memancing guncangan di perut, yang membuatnya mual. Sesil menutup mulut, lalu melompat berdiri dan berlari ke kamar mandi terdekat yang ada di dekat ruang makan.
Sialan! Saga memejamkan mata. Sungguh merasa sangat marah karena tak bisa abai mendengar suara muntahan yang keras dari arah pintu kamar mandi yang sepertinya terjemblak terbuka. Ia pun beranjak dari duduknya dan menyusul istrinya. Berjongkok di belakang Sesil sambil mengurut punggung wanita itu dengan lembut.
Hatinya benar-benar tak tega melihat penderitaan Sesil. Entah karena kandungannya atau karena tekanan pikiran terhadap keadaan Dirga, Saga benar-benar tak bisa mengabaikan ketidak berdayaan Sesil saat berjongkok di lubang toilet.
Setelah seluruh isi perut Sesil terkura habis, Saga mengambil tisu dan mengusap sisa muntahan di sekitar bibir Sesil dan membantu istrinya duduk di atas penutup toilet. Wajah wanita itu sangat pucat dan keringat memenuhi seluruh wajah.
"A-aku hanya mengkhawatirkannya, Saga," kata Sesil setelah napasnya sudah kembali dengan normal.
"Dan apa yang akan membuatmu berhenti mengkhawatirkannya? Apa kekhawatiranmu akan berhenti jika aku mempercepat kematiannya?" sengit Saga.
"Jangan katakan kata-kata mengerikan itu, Saga," lirih Sesil. Memegang kedua tangan Saga dalam genggamannya di pangkuannya. "Kumohon bersabarlah sedikit lagi. Setelah dia sembuh, aku berjanji tidak akan menduakan perhatianku lagi. Sepenuhnya aku hanya akan memikirkanmu, Kei, dan calon anak kita."
Saga bergeming. Tidak mengiyakan. Memangnya seberapa banyak lagi kesabaran yang diinginkan oleh Sesil darinya, huh? Sialan ...
Baiklah, Sesil hanya memberinya pilihan untuk segera membuat Dirga sadar dan bangun dari komanya. Setelah itu, pria itu bisa menyingkir dari kehidupannya dan Sesil.
***
Tuesday, 1 June 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Saga Sesil 2 ( After the Story)
RomanceAku mencintai Saga, tapi tak bisa menolak kehadiran Dirga. -Sesil-