006. Mimpi

1.5K 224 20
                                    

HAPPY READING!

· ✯ ⋅

Katanya Aurora hanya kelelahan makanya sampai drop, padahal kemarin wanita itu masih baik—baik saja. Meski Halilintar juga tidak peduli, selama Aurora masih berbicara artinya dia baik—baik saja.

Tadi Halilintar tidak terlalu lama di rumah sakit karena setelah memastikan Yaya selamat sampai tujuan ia langsung bergegas pulang untuk tidur.

Dan sekarang disinilah Halilintar berada, di kamar yang ukurannya tidak terlalu luas namun tidak kecil juga.

Ia merebahkan tubuhnya di atas kasur di temani kedua kucingnya yang sudah terlelap lebih dulu.

"Harusnya reinkarnasi jadi pangeran," gumam Halilintar sambil memegang sebuah foto ditangannya. Itu adalah fotonya di kehidupan sebelumnya, Halilintar mendapatkannya dari Taufan beberapa bulan lalu.

Halilintar memejamkan matanya dengan tangan yang menutupi mata, "bukan malah jadi anaknya Gempa.".

"Lintar,"

Halilintar menoleh saat mendengar sebuah suara, suaranya terasa tidak asing di telinganya.

"Setan?" tanyanya Halilintar dengan tenang, terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja dipanggil oleh sesuatu yang tak bisa dia lihat.

"Disini,".

Halilintar terlonjak kaget saat orang yang memanggilnya tadi kini berada disampingnya, tepat ditempat tidur yang kosong disebelah Halilintar.

"Lho?" Halilintar tidak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya saat melihat siapa yang ada bersamanya saat ini.

"Papa?" bukan Gempa yang Halilintar maksud tetapi Amato.

Amato mengangguk, "iya, ini Papa.".

Matanya berkaca—kaca, bibirnya terangkat keatas mengulas sebuah senyuman, "Papa aku kangen," Halilintar memeluk Amato erat untuk melepaskan rasa rindu.

"Papa juga kangen sama kamu," Amato membalas pelukan Halilintar, pria itu bahkan sampai mengecup pucuk kepalanya.

Lega rasanya karena selama ini Halilintar hanya bermimpi buruk tentang Amato, karena nyatanya Amato masih disini namun pria itu hanya pergi untuk waktu lama.

Halilintar jadi tidak sabar melihat ekspresi Gempa dan Taufan ketika tahu Amato sudah pulang.

"Papa jangan pergi lagi, jangan tinggalin aku sama adik-—adik lagi." pintanya.

Amato tersenyum dengan tangan yang terus mengusap rambut Halilintar lembut penuh kasih sayang, "emangnya kenapa kalau Papa pergi?".

"Papa masih tanya kenapa?" Halilintar melepaskan pelukannya dan lanjut menatap Amato dengan mata merahnya.

"Oh iya, aku baru inget kalau Papa gak tau apa—apa tentang aku. Papa bahkan gak tau sama yang udah Kakek lakuin sama kita bertiga." wajahnya tampak kecewa dengan sorot mata yang semakin sendu tak bercahaya.

"Lintar liat Papa," Amato memegang pundak Halilintar yang berupaya agar Halilintar mau menatap matanya, "kamu harus tau alasan kamu diberi kehidupan untuk kedua kalinya.".

Kehidupan yang kedua kalinya? Amato sedang bicara omong kosong apa saat ini, memangnya Halilintar pernah meninggal lalu hidup lagi.

"Kehidupan kedua?" Halilintar bertanya lantaran tidak mengerti.

Amato mengangguk.

"Jangan sampai kamu merasakan penyesalan yang Aurora rasakan,".

Amato menghilang, tidak! Dia tidak hilang tetapi pergi dari sana.

Halilintar ingin menyusul namun tubuhnya tidak bisa bergerak, bahkan bersuara pun dia tidak bisa.

Papa jangan pergi lagi, aku butuh Papa!

Halilintar menangis. Percuma saja, Amato tidak akan kembali.

"... Tar,".

"... Halilintar!".

Kelopak mata yang sebelumnya terpejam rapat kini perlahan terbuka, dan hal pertama yang Halilintar lihat adalah kepala Sori.

Sejak kapan ada Sori di kamarnya, dan seingat Halilintar dia sudah mengunci pintu sebelum tidur tadi.

"Bangun juga akhirnya," Sori menghela napas lega dan untuk pertama kali setelah beberapa menit akhirnya Sori bisa mendudukkan bokongnya di kasur empuk milik Halilintar.

"Ayo sekolah," ternyata ada Glacier juga. Entah sejak kapan namun sepertinya Glacier baru saja selesai menyiapkan seragam sekolah untuk Halilintar.

"Emang udah pagi?" tanya Halilintar karena rasanya dia baru tertidur beberapa menit, bahkan seingatnya beberapa menit lalu di sampingnya masih ada Capcai dan Ramyeon yang tertidur.

Sori menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya untuk melihat waktu, "udah hampir jam tujuh, jadi siap—siap sana nanti dihukum lagi lho kalau telat.".

Halilintar tidak menjawab Sori karena kamar mandi menjadi fokusnya, meski masih sedikit sempoyongan karena mengantuk.

Mimpi tadi terasa nyata, bahkan Halilintar masih mengingat ucapan terakhir Amato sebelum pria itu pergi meninggalkannya.

"Maksudnya apa?" ujarnya dengan nada rendah.

"Lin awas!" Glacier memperingati takut Halilintar salah langkah.

Dugh!

Halilintar menabrak tembok alih—alih melewati pintu yang ada disebelah tembok.

"Baru juga dibilangin," Glacier menghela napas kala melihat kelakuan temannya yang satu itu.


· ✯ ⋅

Glacier tidak pernah bilang jika dia tidak suka murid baru, namun jika murid baru itu adalah musuhnya sendiri maka lain lagi ceritanya. Bahkan rasanya Glacier sampai ingin membakar sekolah lantaran membiarkan orang itu masuk.

"Kenapa lo kesini?" hal pertama yang Glacier tanyakan ketika berpapasan dengan si murid pindahan.

"Sekolah lah, ngapain lagi?".

Jawabannya tidak salah namun bukan itu jawaban yang Glacier inginkan.

"Gue duluan, Glacier!" pemuda jangkung itu melambaikan tangannya lalu pergi dari hadapan Glacier tanpa menoleh lagi.

"Siapa?".

Glacier menoleh saat Sori menepuk bahunya, kalau orang lain mungkin sudah Glacier lempar ke selokan karena berani—beraninya menyentuhnya tanpa izin.

"Laut, ketua Galatea." Glacier menjawabnya meskipun enggan.

"Lah? Pindah sekolah dia?" Sori pernah mendengar kabarnya namun tidak tahu jika akan pindah ke sekolah ini, "enak dong, karena dengan gitu kita bisa bikin dia bonyok tanpa perlu ngurusin kroco Galatea dulu.".

"Biarin aja, gak boleh ada kekerasan di sekolah. Kalau mau berantem nanti aja pas pulang." selepasnya Glacier melangkah dari sana meninggalkan Sori yang akan terus membuntutinya kemanapun Glacier pergi, soalnya Sori tidak bisa menemukan Halilintar di sekolah makanya Glacier adalah satu—satunya jalan agar ia tidak sendirian.

Omong—omong soal Laut, dia masih memiliki ikatan darah dengan Halilintar.

─────── · ✯ ⋅ ──────

Bab 6 nya gimana? Sampai sini ada yang gak paham?

[✔] 2. HE IS SIMILARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang