008. Balkon

1.1K 196 26
                                    

· ✯ ⋅

Ketika membuka pintu hal pertama yang Halilintar lihat adalah Gempa yang sedang menonton berita dari saluran televisi.

Halilintar melangkah sedikit terhuyung karena pusing, sepertinya karena terlalu banyak darah yang hilang dari tubuhnya. Beruntung dia masih bisa pulang meskipun harus mempertaruhkan kesadaran ketika di jalan tadi.

"Papa," dengan suara pelan ia memanggil karena sepertinya Gempa masih belum sadar dengan kehadirannya.

"Kamu udah pu ... lang?" suaranya sedikit memelan di akhirnya kalimat. Gempa tidak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya begitu melihat Halilintar yang berdiri di depan pintu dengan tubuh penuh luka.

Gempa yang sebelumnya duduk lesehan di karpet sekarang menghampiri Halilintar, dan tanpa Gempa mengatakannya pun Halilintar tahu jika Gempa mengkhawatirkannya.

Halilintar yakin Gempa pasti terkejut melihatnya pulang dengan luka hampir di seluruh tubuh, habisnya terdapat goresan panjang di lengan kirinya, dengan goresan kasar tercetak dan lecet-lecet memerah. Telapak tangannya mengalami robek kecil, namun rasanya tetap sakit.

Rupanya jaketnya itu tidak cukup kuat menahan gesekan aspal.

Darah juga masih belum berhenti mengalir dari kepalanya membuat beberapa helaian rambutnya basah terkena darah. Meski sudah Halilintar usap berkali-kali tetapi darah itu kembali datang untuk menyembunyikan luka memanjang di pelipisnya.

Jangan lupakan lututnya yang sobek lumayan besar, mengeluarkan darah yang membasahi celananya. Jangan salahkan Halilintar jika dia terluka, karena yang salah adalah jaket dan celananya yang tidak bisa melindunginya dari aspal.

"Tawuran lagi?" tanya Gempa karena tahu betul bagaimana kehidupan Halilintar yang tidak pernah jauh dari perkelahian.

"Tawuran? Mata Papa picek sebelah apa gimana? Gak liat orang abis kecelakaan?" tatapan Halilintar terlihat sinis, dia kesal karena Gempa menghalangi jalannya.

Gempa menghela napas panjang, "Papa gak peduli kamu mau ngelakuin apa aja diluar sana. Tapi pulang—pulang dalam keadaan gini, kamu abis ngapain?" suara Gempa bergetar, campuran antara marah dan khawatir.

Kan gue bilang kecelakaan!

Halilintar tak menggubris. Langkah beratnya, mengarah langsung ke dapur. Tempat yang Halilintar percaya jika Yaya ada disana, karena sama seperti anak pada umumnya Halilintar juga mencari ibunya saat pertama kali masuk ke rumah.

Napas Halilintar tertahan sejenak ketika melihat kucingnya, yang biasa menyambutnya dengan semangat karena menagih makanan, kini terbaring kaku di atas lantai dapur. Matanya yang biasanya penuh cahaya kini redup, tak bernyawa.

"Ramyeon ..." suara Halilintar gemetar, panggilan pelan yang terdengar begitu rapuh dari seorang yang biasanya hampir tidak pernah menunjukkan sisi lemahnya.

Halilintar tersungkur di samping tubuh kucingnya. Tangan kasarnya yang dipenuhi luka mencoba menyentuh bulu lembut itu, tapi tidak ada respon, tidak ada kehangatan. Hanya dingin. Hanya diam.

Halilintar menarik napas dalam, mencoba menahan tangis yang sudah mendesak di kerongkongannya.

Yaya berdiri di ambang pintu dapur, menatap putranya yang kini rapuh. Tidak seperti Halilintar yang Yaya kenal.

[✔] 2. HE IS SIMILARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang