005. Keinginan kecil Glacier

1.5K 222 24
                                    

HAPPY READING!

· ✯ ⋅

Dulu ada dua kakak beradik yang selalu menghabiskan waktu bersama setiap saat. Suka duka bersama, tangis dan tawa bersama. Bagaimana dia insan yang tidak dapat dipisahkan, kemanapun mereka pergi mereka selalu bersama.

Namun itu dulu karena setelah orang tuanya memutuskan untuk bercerai keduanya berpisah mengikuti ego masing-masing. Glacier yang ikut dengan ayahnya, sedangkan Frostfire bersama ibunya.

Tahun-tahun berlalu semenjak Frostfire memutuskan untuk tinggal bersama sang ibu di New York. Kehidupan antara Frostfire dan Glacier benar-benar bahagia dengan cara mereka sendiri meskipun sudah tidak bersama.

Tapi hal yang tidak pernah Glacier bayangkan sebelumnya terjadi, yaitu Frostfire kembali ke sisi Glacier untuk melakukan tugasnya sebagai kakak.

Hal itu terjadi dua tahun lalu saat awal semester dua, kala itu Glacier masih kelas satu SMA.

"Glacier!".

Glacier menatap sinis pintu yang sedang ia lewati, atau mungkin lebih tepatnya menatap sinis Frostfire yang ada di balik pintu kamar.

"Glacy!".

"Apa Kak? Lo teriak-teriak lagi gue setrika tuh mulut," Glacier membuka pintu kamar Frostfire untuk memastikan apa yang dilakukan saudaranya sampai-sampai harus meneriaki namanya berkali-kali.

Tetapi Glacier malah di buat tidak bisa berkata apa-apa saat melihat seberapa berantakannya kamar ini.

Pakaian yang tergeletak di mana-mana, bungkus camilan berserakan tak terkendali, lukisan-lukisan yang awalnya terpajang rapi kini tampak tak tersusun seperti biasa, apalagi mainan-mainan yang bentuknya lebih mungil dari bayi penyu juga ikutan berserakan di lantai.

"Ini kamar apa kandang ba-akh," Glacier meringis saat kakinya menginjak kepingan-kepingan kecil dari mainan berupa Lego Block.

"Siapa suruh toxic, kena getahnya kan jadinya?" Frostfire menyunggingkan senyum miring begitu melihat ekspresi kesal di wajah Glacier.

Glacier menghela napas panjang kala rasa lelah datang begitu netranya benar-benar memperhatikan seisi kamar yang tidak lebih baik dari tempat pembuangan sampah, atau mungkin Frostfire adalah sampah itu sendiri.

"Beresin lagi kamarnya sebelum Daddy pulang, gue mau keluar dulu." Glacier mundur perlahan lalu kembali menutup pintu kamar Frostfire.

"Keluar kemana?" Frostfire menyembul dari celah kecil dari pintu yang baru saja ia buka.

"Gak perlu tau, intinya gue pergi sama Halilintar." Glacier melangkah menjauhi kamar Frostfire, tidak peduli lagi dengan panggilan kembarannya meskipun Frostfire sudah berteriak-teriak seperti orang gila tersesat di kebun binatang.

Frostfire berdecak kesal, bukan karena apa melainkan ia hanya tidak suka jika Glacier lebih memprioritaskan orang lain dibanding dirinya yang merupakan saudara sedarah dengan Glacier sendiri.

"Halilintar lagi, Halilintar lagi, emang apa hebatnya dia?".

Frostfire membanting pintu, menguncinya dari dalam lalu mulai membereskan isi kamarnya dengan perlahan kendati dengan suasana hati yang kurang baik.


· ✯ ⋅

"Gue pengen masuk komik terus di sana jadi pangeran yang dikelilingi tujuh putri." Glacier lanjut mengunyah cireng yang tadi ia beli bersama Halilintar.

"Halu." Halilintar membuka bungkus permen milkita untuk ia makan isinya.

Halilintar tidak salah tapi entah kenapa Glacier malah kesal. Habisnya Halilintar tidak mendukungnya dalam melancarkan mimpi yang tak akan pernah menjadi nyata itu.

"Lin," Glacier memanggil saat ingat sesuatu, "soal lo yang mau keluar dari Eviloz gimana? Gak jadi kan?".

Glacier berharap Halilintar mengatakan jika Halilintar tidak jadi keluar dari Eviloz.

Halilintar melirik Glacier sekilas lalu kembali menatap langit berbintang di atas sana, "pengennya keluar, badan gue capek digebukin terus.".

Bisa—bisa gue meninggal lagi sebelum usia 17 tahun.

Jujur saja dulu saat pertama kali masuk Eviloz pun Halilintar hanya ingin bermain—main karena bosan diam di rumah tanpa melakukan apapun, tapi akhirnya dia malah dijadikan ketua Eviloz di generasi ini.

"Kalau lo keluar gue ikut,".

Halilintar menoleh, apa dia tidak salah dengar? Bukannya dengan mengatakan itu artinya Glacier siap keluar dari Eviloz kapanpun. Padahal dulu menjadi salah satu bagian dari Eviloz adalah impian Glacier.

"Tujuan hidup gue cuma lo, Lin. Bahkan kalau suatu hari nanti kita udah nikah, gue pengen kita tetanggaan dan nunjukin ke dunia kalau teman sejati itu nyata." ucap Glacier menyatakan harapannya.

"Lo gak ada jaim—jaimnya ya, gue suka." Halilintar tersenyum, bukan sebuah senyum tipis yang biasa ia tunjukkan melainkan senyuman lembut nyerempet manis.

Glacier menyipitkan matanya, dia tidak salah lihat kan? Glacier baru saja melihat Halilintar tersenyum, si cowok pelit senyuman itu baru saja tersenyum beberapa detik lalu.

Pertanda apa ini? Jangan bilang yang saat ini bersama Glacier bukan Halilintar tetapi jin yang menyamar.

"Kenapa? Gak boleh emang?" Glacier berdiri setelahnya lalu berjalan menuju tepian dari atap gedung dia lantai yang disebut sebagai markas Eviloz.

"Ka—".

"Itu angkat dulu teleponnya, berisik." Glacier menyela ucapan Halilintar lantaran suara dari ponsel Halilintar yang berdering sangat mengganggu.

Halilintar mengambil benda pipih persegi yang di sebut ponsel dari lantai mengingat benda itu tergeletak begitu saja tanpa dianggap kehadirannya sedari tadi.

Di layarnya terlihat terdapat panggilan dari orang yang ia panggil Mama. Ada urusan apalagi Yaya meneleponnya malam—malam begini selain disuruh pulang kan?

Yah, bisa jadi meski waktu baru menunjukkan pukul setengah sepuluh malam.

"Halo Ma,".

"Kamu bisa pulang gak? Anterin Mama ke rumah sakit—".

"Mama sakit?" Halilintar tidak berniat menyela, dia hanya panik takut terjadi sesuatu pada Yaya.

"Bukan tapi nenek kamu. Papa belum pulang jadi Mama minta kamu yang anterin. Sayang, bisa gak?".

Terdengar dari suaranya seperti Yaya betulan khawatir sekarang, wanita itu tidak sedang mengada—ngada.

"Bisa, ngejual pulau pun pasti aku lakuin kalau buat Mama." Halilintar segera berdiri dari sana tidak lupa mengambil plastik isi makanan berupa permen miliknya juga.

"Orang gila." celetuk Glacier.

"Glace, gue duluan ya." ucapan terakhir Halilintar yang Glacier dengar untuk hari ini karena besok mereka masih bisa bertemu jika Halilintar mau sekolah.

Glacier menatap punggung Halilintar yang semakin lama semakin menjauh dan perlahan meninggalkannya dalam kegelapan.

────── · ✯ ⋅ ──────

TO BE CONTINUE

[✔] 2. HE IS SIMILARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang