011. Pengakuan Shireen

1K 183 15
                                    

ALUR CERITANYA EMANG LAMBAT, JADI SORRY KALAU SEHARI AJA BISA SAMPE BERCHAPTER CHAPTER

SO ...

HAPPY READING!

· ✯ ⋅

Halilintar masih belum kunjung pulang ketika mentari mulai menurunkan intensitas teriknya, menyisakan kehangatan lembut yang membelai setiap sudut bumi. Dia masih betah melihat—lihat dunia yang jarang sekali bisa ia nikmati sendirian dalam ketenangan seperti ini.

Ia merenung sejenak, membiarkan hembusan angin untuk terus menyapu wajahnya. Matanya menatap jauh ke depan sana, begitupun dengan pikiran yang ikut melayang jauh.

Perlahan sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk sebuah senyuman. Untuknya yang masih terjebak dalam bayangan di kehidupan sebelumnya, bisa bernapas dengan lega tanpa sesak rasanya masih seperti mimpi.

Terkadang ada perasaan senang ketika tahu ia tidak perlu lagi bergantung pada obat—obatan untuk bertahan hidup, ia tidak perlu lagi memikirkan masalah keuangan yang selalu mengganggunya setiap kali akan tidur.

Kini Halilintar benar—benar bisa menikmati hidup di dunia tanpa harus terlalu terbebani oleh segala hal yang bersangkutan dengan uang. Namun, tak bisa di pungkiri bahwa ia merindukan Gempa dan Taufan. Meskipun masih bisa menemui mereka setiap hari, tetapi sikap mereka tak lagi sama padanya.

Sejujurnya Halilintar memang kesepian, terlebih lagi ketika melihat semua temannya di kehidupan sebelumnya kini sudah berkeluarga. Andaikan dulu Halilintar lebih menjaga kesehatannya dan bisa hidup lebih lama, pasti ia pun sudah memiliki sebuah keluarga.

Memikirkan dirinya memiliki bayi perempuan yang imut membuat suasana hatinya kembali membaik. Halilintar memang lebih suka anak perempuan, lebih mudah di atur pikirnya.

Jika memikirkan tentang anak perempuan, Halilintar jadi teringat kembali pada Shireen saat kecil dulu. Anak  itu memang terlihat menggemaskan, Halilintar yang dulu memang tidak suka anak kecil saja bisa kepelet oleh Shireen.

Halilintar menghela napas panjang, netra kembarnya menatap langit yang semakin gelap. Ia terlalu larut dalam pikirannya sehingga tak menyadari jika malam semakin dekat.

"Apa harus pulang?" tanyanya, membiarkan keheningan yang menjawab.

Malas rasanya untuk kembali ke rumah, takut jika Aurora masih di sana. Kan repot jadinya kalau nenek satu itu bertanya—tanya mengenai perban yang menghiasi tubuhnya.

Hatinya berkata pulang namun tidak dengan otaknya, membuat Halilintar bingung, ia harus bangkit dari kursi atau tidak?

"Pulang dong,".

Suara feminim yang terdengar dari sampingnya mengejutkan Halilintar. Pasalnya di taman sudah tak ada siapapun lagi kecuali Halilintar seorang, tahu—tahu ada yang bicara padanya saja.

"Jam segini masih di luar?" tanya Halilintar begitu tahu jika perempuan yang kini duduk disampingnya adalah Shireen, orang yang tadi sempat Halilintar pikirkan.

Shireen mengangguk pelan, ia tidak benar—benar menjawab lantaran belum menemukan kata yang cocok untung di ucapkan.

"Kamu inget gak, waktu itu aku pernah cerita sama kamu kalau taman ini adalah tempat dimana aku pertama kali ketemu dia." Shireen menatap Halilintar dengan binar dimatanya, namun disana terpancar akan kerinduan pada seseorang yang telah lama pergi.

"Iya," Halilintar bergumam dengan pelan nyaris tak terdengar, mungkin jika Shireen tidak memiliki pendengaran yang bagus maka dia tak akan bisa mendengar suara Halilintar.

[✔] 2. HE IS SIMILARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang