BAB 3

2.5K 9 0
                                    

Sejak kejadian di kontrakan Mbak Wati, aku menjadi gelisah untuk segera ke Gunung Kemukus melakukan ritual s*x dengannya, ritual yang belum sempat aku lakukan di kontrakan padahal kesempatan itu sudah tersaji di di depan mata, hanya karena kebodohanku, kesempatan itu raib begitu saja, bahkan aku belum sempat membicarakan kapan kami akan berangkat ke Gunung Kemukus. Bodoh, aku benar benar bodoh. Di saat banyak pria menggunakan berbagai macam cara untuk dapat menikmati tubuh indahnya, aku malah melepas kesempatan itu begitu saja. Bahkan aku tidak berani bertatapan mata dengan Mbak Wati saat kami bertemu, lidahku kelu dan mulutku terbungkam, hanya sekedar sekedar membalas senyumnya. Dan kesempatan itu kembali berlalu sia sia, aku hanya bisa memaki kebodohanku yang belum berakhir. Harusnya aku bertanya, kapan akan berangkat ke Gunung Kemukus.

Sudah tiga hari sejak kejadian di kontrakan Mbak Wati, semangatku berjualan agak mengendur, masih terbayang kesempatan yang terbuang sia sia. Aku mendorong gerobak mie ayam menyusuri gang yang kiri kanannya tembok perumahan, dari kejauhan aku melihat Mbak berjalan ke arahku. Sepertinya dia sudah mau pulang, jamunya pasti sudah habis.

Hatiku berdesir melihatnya, lututku gemetar dan degup jantungku semakin kencang. Aku harus berani bertanya, kapan dia akan mengajakku ke Gunung Kemukus, harus berani. Perlahan aku menarik nafas mengumpulkan semangat. Langkahku terhenti hanya untuk mengumpulkan keberanian yang berada jauh di dasar hatiku.

"Kamu kenapa, Jang? Sakit gigi?" tanya Mbak Wati melihatku berdiri diam sambil mengatur nafas. Huf, dia sudah berada di sampingku padahal keberanian yang sedang kukumpulkan masih belum terkumpul.

"Tidak, kenapa napa Mbak." jawabku singkat. Aku mulai berani menatap wajahnya yang cantik menggemaskan. Hatiku berkecamuk untuk menanyakan kapan dia akan mengajakku ke Gunung Kemukus, tapi keberanianku hilang begitu saja begitu melihat senyumnya yang menawan.

"Kita jadi, ke Gunung Kemukus?" tanya Mbak Wati

"Yaaa...!" jawabku bersorak kegirangan. Inilah yang ingin aku dengar dari bibir mungilnya, kepastian berangkat ke Gunung Kemukus. Inilah yang membuatku sulit tidur sejak kejadian di kontrakan Mbak Wati. Akhirnya kesabaranku menampakkan hasilnya.

"Kok kamu malah bersorak begitu, Jang? Jadi nggak?" tanya Mbak Wati tersenyum geli melihat tingkahku yang seperti anak kecil.

"Ja jadi, Mbak. Aku lagi ngumpulin uang buat ongkos." jawabku antusias. Aku ingin secepatnya pergi ke Gunung Kemukus dengan Mbak Wati, agar aku bisa menikmati tubuhnya tanpa takut digerebek masyarakat dan diarak keliling kampung dan Mas Gatot sepertinya sangat mendukung kepergian kami ke Gunung Kemukus. Aku tidak perduli dengan Ritual Pesugihan, belum tentu juga aku benar benar kaya karena ritual di Gunung Kemukus, aku hanya ingin menikmati tubuh indah Mbak Wati agar aku sempurna sebagai pria dewasa.

"Masalah ongkos jangan kamu pikirkan, aku sudah mempersiapkan semua biaya kita selama ritual. Aku yang mengajakmu, verarti aku juga yang harus menanggung semua biaya." jawab Mbak Wati tersenyum nakal. t*k*t yang besar tercetak jelas di balik kebayanya yang terlilit kain untuk menggendong keranjang jamu, pemandangan yang membuatku menelan ludah.

"Tapi, Mbak..! Menurut Abah/kakekku, ketika kita mempunyai sebuah hajat, maka kita harus berani mengorbankan waktu tenaga dan uang agar hajat kita terlaksana. ( Meuntas kudu make cukang.) entah apa maksud dari kalimat itu, aku tidak begitu paham. " kataku keberatan, aku lelaki tidak mungkin membebankan semuanya ke Mbak Wati.

"Gak ada tapi tapian, hari Senin kita berangkat, pulang hari Jumat Pon. Memangnya kamu nggak mau ng*t*t?" kata Mbak Wati meninggalkanku yang melepas kepergiannya dengan mata melotot melihat p*nt*tny* yang besar, bergerak gemulai. Kata temanku, cewek yang mempunyai p*nt*t seperti Mbak Wati sangat enak di*nt*t lewat belakang.

Aku mendorong gerobak Mie Ayam setelah sosok Mbak Wati hilang di tikungan. Pikiranku terus tertuju padanya, aku ingin secepatnya pergi ke Gunung Kemukus. Hari Senin, berarti tinggal tiga hari lagi, aku harus bersabar walau waktu yang tiga hari akan terasa lama, lebih lama dari pada biasanya.

"Jang, Mie Ayam..!" suara merdu yang kuhafal memanggil membuyarkan lamunanku tentang Mbak Wati, hampir saja aku melewati rumah langganan setiaku yang setiap hari membeli mie ayam, aku menoleh ke arahnya. Lilis wanita yang menjadi buah bibir di kampung ini karena kecantikan dan keanggunannya, sayang dia sudah punya suami. Pak Budi orang terkaya di kampung ini. Pria paling beruntung yang aku kenal, dia memiliki semuanya, harta dan istri yang cantik jelita.

"Iya, Teh..!" jawabku berhenti tepat di depan pintu pagar rumahnya, tanpa dipanggil pun aku biasanya berhenti dan menunggunya keluar membeli mie ayam dan tadi hampir saja aku melewatinya. Aku tersenyum memandang Lilis yang berjalan dengan gemulai menghampiriku.

"Kirain gak jualan, Jang..!" kata Lilis membuka pintu pagar rumahnya yang besar dan pekarangannya yang luas bisa menampung beberapa buah mobil sekaligus

"Jualan donk, kalau nggak jualan nggak bisa makan..!" kataku tersenyum membalas senyumnya yang sangat menawan. Jilbab yang dikenakan menambah kecantikan wajahnya.

"Bisa saja kamu, Jang." kata Lilis tertawa kecil. Tanpa diminta aku segera membuat satu mangkok Mie Ayam untuknya. Sesekali aku melirik ke arahnya yang berdiri di sampingku. Andai aku punya istri secantik dia atau dia belum punya suami aku akan memeletnya dengan ilmu pelet warisan Abah. Bahkan kalaupun ilmu pelet warisan dari Abah tidak mempan, aku akan mencari dukun pelet paling hebat yang berada di Pelabuhan Ratu, Sukabumi yang paling terkenal.

"Teh Lilis baru pulang kampung, ya?" tanyaku karena beberapa hari dia tidak pernah menyetop Mie Ayam ku dan tidak terlihat sama sekali. Aku kehilangan pelanggan yang paling aku tunggu.

"Iya Jang, nengok Abah dan Ambu di kampung. Maklum sudah lama tidak mudik. Ini Jang, ada sedikit oleh oleh, ada beras hasil panen dan dodol garut.." jawab Lilis, suaranya yang halus begitu merdu. Sungguh beruntung Pak Budi mempunyai isteri secantik dia, apakah aku juga akan mempunyai keberuntungan seperti yang dimiliki Mas Gatot dan Pak Budi yang mempunyai istri cantik? Mimpi.

"Nggak usah repot, Teh. Pake acara ngasih oleh oleh.” Kataku tersenyum senang dan menerima bungkusan oleh oleh yang diberikannya kepadaku, tanpa sengaja tangan kami saling bersentuhan, tangannya begitu halus. Aku menaruh bungkusan di gerobakku.

“Kamu sendiri sudah pulang kampung belum? Kamu kapan bikin mie ayamnya? Perut Teh Lilis sudah lapar, nich.” Kata Teh Lilis menyadarkanku dari pesona yang dimilikinya.

“iya Teh, lupa. Teh Lilis sich ngajak ngobrol terus..” kataku tersipu malu, ternyata dari tadi yang kulakukan adalah menaruh minyak dan bumbu ke dalam mangkok sementara mie belum aku masukkan ke dalam panci yang berisi air mendidih. Pesona Lilis membuatku melupakan tugas sebagai penjual mie ayam, hal yang sama lernah terjadi saat aku memulai berjualan mie ayam, Lilis adalah orang pertama yang membeli mie ayamku. Andai aku punya istri secantik dia, hidup akan terasa lebih indah.

" kok malah aku yang disalahin? Salah sendiri kamu melihat ke arahku terus. Hihihi jadi ingat pertama beli mie ayam kamu, aku disuruh bikin mie sendiri." kata Lilis membuatku tertawa geli.

"Hari senin aku mau pulang dulu, Teh." kataku sambil terus mengaduk Mie yang berada di panci. Sesekali aku melirik ke Lilis yang berada di sampingku, sangat dekat sehingga aku bisa mencium aroma tubuhnya yang harum, padahal aku tahu itu bukan harum dari parfum yang dipakainya. Itu bau dari tubuhnya.

"Kok nggak ngajak ngajak, Jang?" tanya Lilis sambil menambahkan sedikit sambal ke dalam mangkok sehingga tangannya kembali bergesekan dengan tanganku.

"Nggak kuat modal, Teh..!" jawabku bercanda, aku sudah terbiasa bercanda dengannya. Modal buat apa, Jang?" tanya Lilis heran.

"Buat ngelamar Teh Lilis!" jawabku diakhiri tawa geli walau sebenarnya tidak lucu.

“kamu ada ada saja. Kamu anak ke berapa, Jang dari berapa saudara?” tanya Lilis, pertanyaan yang sudah sering ditanyakannya hingga aku bosan menjawab. Kecantikan yang dimilikinya ternyata tidak berimbang dengan kecerdasan otaknya, apa mungkin dia telmi? Sehingga tidak mampu mengingat jawaban dari pertanyaan yang sudah sangat sering dia tanyakan. Tidak bisakah dia mengajakku mengobrol topik lain yang lebih menyenangkan.

petualangan gunung kumkusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang