BAB 10

1.9K 10 0
                                    

Tanpa bicara aku menyalakan kompor yang berada tepat di samping Paijo yang menggeser duduknya menjauhi kompor. Ini Dek airnya..!" kata Mas Gatot memberikanku panci kecil yang sudah terisi air mentah. 

"Ke mana saja, kamu? Kupikir kamu sudah mati, tinggal tulang belulang yang dimakan cacing." tanyaku tanpa menoleh ke arah Paijo, aku tidak mampu menahan rasa ingin tahuku kenapa dia meninggalkanku bersama anak dalam kandunganku. 

"Kamu ini dek, tamu jauh malah dibilang sudah mati." Mas Gatot tertawa untuk mencairkan suasana yang berubah menjadi tegang

"Gak apa apa, Tot. Kalian sudah lama tinggal di sini?" tanya Paijo tidak menggubris pertanyaanku yang mungkin menyinggung perasaannya tapi itu semua tidak sebanding dengan penderitaanku selama belasan tahun.

"Sudah hampir 10 tahun Tot, kami merasa nyaman di sini." jawab Mas Gatot membuatku tersenyum sinis dengan kebohongan besar yang diucapkan Mas Gatot. Mungkin buat Mas Gatot dia merasa nyaman bisa memamerkan istrinya yang cantik kepada temannya yang sering kali menatapku dengan bernafsu seakan akan mereka ingin menelanjangi tubuh indahku.

 Tapi bagiku, belasan tahun menjadi istri Mas Gatot adalah penderitaan yang berkepanjangan, sekuat apapun aku untuk bisa menerima dan mencintainya, ternyata aku gagal. Kalaupun aku bisa bertahan hingga kini, karena aku sudah berhutang budi padanya, terutama keluargaku. Ayahku adalah seorang Ustad yang cukup terpandang, apa kata masyarakat kalau tahu anak seorang Ustad hamil di luar nikah, sungguh aib yang sangat besar.

"Jo, aku ke rumah Bos dulu mau setor." kata Mas Gatot berpamitan meninggalkan kami berdua di ruangan sempit yang tidak layak menjadi rumah tinggal, tapi aku terpaksa tinggal di sini jauh dari orang tuaku, jauh dari anak anakku yang tidak boleh kami bawa dengan alasan mereka perlu didikan agama agar tidak mengikuti jejakku 

"Kamu kenapa tinggal di sini? Orang tuamu kaya." Paijo menatapku heran, aku adalah anak tunggal seorang Ustad yang bisa dikatakan kaya untuk ukuran desa. 

"Karena tidak mungkin aku tinggal bersama mereka setelah memberikan aib yang mencoreng wajah terhormat mereka." jawabku sinis. Aku menyuguhkan kopi yang sengaja aku beri gula. Dia tahu betapa pahit hidupku atas perbuatannya. 

"Aku tidak tahu kalau kamu hamil, aku baru tahu tadi setelah Gatot menceritakan sepanjang perjalanan ke sini." kata Paijo berusaha menutupi kesalahannya atau dia pura pura pilon. Sungguh bodoh aku terbuai oleh rayuan gombalnya sehingga mahkota kesucianku hilang.

"Och ya!" jawabku sinis." mustahil dia tidak mengetahui kehamilanku, setelah aku menitipkan surat ke Mas Gatot untuk diberikan kepadanya. 

"Aku bersumpah, aku tidak tahu. Kamu tidak pernah memberitahukannya kepadaku." jawab Paijo menggoyahkan hatiku.

 "Aku sudah menitipkan surat ke Mas Gatot untukmu." kataku memandangnya tajam berusaha mencari kejujuran dari matanya.

 "Aku tidak pernah menerimanya, Gatot tidak pernah menyinggung masalah suratmu. Dia datang mengabarkan ada pekerjaan di Jakarta, makanya waktu itu aku langsung ke Jakarta. Saat aku pulang setelah uang yang kumiliki cukup, aku pulang berniat melamarmu tapi ternyata kamu sudah menikah dengan Gatot." kata Paijo dan aku tidak melihat dusta di matanya. 

"Kamu bohong..!" kataku lirih.

"Aku mencintaimu, sampai sekarang aku belum menikah karena cintaku hanya untukmu. Aku bersumpah tidak akan menikah kalau bukan denganmu." kata Paijo menggeser duduknya ke sampingku. Aku diam tidak berusaha menjauh darinya. Apakah benar apa yang dikatakannya.

 "Lihat KTP ku, masih lajang." kata Paijo memperlihatkan KTP yang dikeluarkannya dari dompet. Ragu ragu aku mengambilnya dan apa yang dikatakannya benar. 

"Kenapa Mas Gatot tidak memberikan suratku padamu..?" tanyaku heran.

 "Karena dia mencintaimu seperti halnya diriku." jawab Paijo tangannya merangkul pundakku, aku ingin menepiskan tangannya tapi aku tidak mempunyai tenaga untuk melakukannya. Aku tahu Mas Gatot dan Paijo adalah dua sahabat yang sama sama mencintaiku tapi aku lebih memilih Paijo yang gagah dan atletis dibandingkan Mas Gatot.

"Aku mencintaimu..!" bisik Paijo, tangannya meraih daguku. Kutatap matanya mencari kejujuran yang jelas jelas terlihat dari matanya, aku percaya mata tidak pernah berdusta. Entah siapa yang memulai, bibir kami bertautan saling mengulum. Bibir yang dulu sering menciumku, bibir pertama yang merasakan kehangatan bibirku kembali memberiku kehangatan yang sudah sangat lama aku rindukan. 

Aku benar benar terbuai oleh kenangan masa laluku bahkan saat Paijo meremas payudara yang pernah menyusui anaknya, aku tidak berusaha menolaknya. Aku menikmatinya seperti dulu dia meremas payudaraku untuk pertama kalinya.

 "Jangan, Jo. tolong jangan jo Nanti Mas Gatot datang..!" kataku lirih membiarkan tangan Paijo menyusup masuk lewat belahan atas bajuku dan menyentuh payudara dan mempermainkan puting nya, aku tak kuasa menolaknya.

 "Gatot nggak akan marah..!" bisik Paijo tangannya semakin gencar memelintir puting payudaraku, tangan pertama yang bebas menjamah tubuhku di rumahnya yang sedang sepi.

"Jangan macam macam kamu, aku sudah bersuami..!" kataku berusaha menyadarkan Paijo yang semakin di luar kendali. Bukan hanya tangan kirinya saja yang aktif mempermainkan payudaraku, bahkan tangan kanannya menyusup masuk ke selangkanganku, menjamah memek yang pernah direnggut keperawanannya.

 "Ssstttt ..!" Paijo kembali melumat bibirku dengan bernafsu, tangannya semakin kurang ajar mengorek ngorek itilku.

 "Joooo jangan jo aku sudah bersuami kitaa aaaaah ...!" aku mengerang nikmat, tidak bisa memungkiri rasa nikmat yang sangat jarang aku rasakan. Mas Gatot sangat jarang menyentuhku. 

"Jo, jangannn aaah,!" kataku berusaha menahan tangan Paijo yang bergerak masuk memekku. Rasa nikmat membuat tenagaku melemah, jari Paijo semakin dalam menusuk memekku, Paijo semakin melampaui batas, dia mendorongku roboh ke kasur, tak peduli dengan penolakanku dia menarik celana dalamku lepas dari tempatnya. 

"Jangannnnn aaaahh ahh!" aku berusaha meronta melepaskan diri dari Paijo yang semakin kesetanan. Tapi bayang bayang kenikmatan yang akan kurasakan membuat tenagaku menjadi lemah. Paijo berhasil membenamkan wajahnya di selangkanganku, menjilati memekku yang semakin basah tidak bisa berdusta.

"Kalian sedang apa kaliaan..!" suara Mas Gatot menghentikan aksi Paijo yang bernafsu menjilati memekku. Paijo memandang wajah Mas Gatot dengan wajah pucat, perbuatan yang akan membuat kalap setiap suami melihat istrinya dilecehkan pria lain. 

Mas Gatot menutup pintu perlahan lahan setelah melihat keadaan di luar yang masih sepi karena tetangga kontrakan kami masih belum pulang berjualan. Pantas saja keributan yang terjadi antara aku dan Paijo tidak mengundang perhatian orang, baru aku sadar jam di dinding masih menunjukkan angka 2 : 30. 

"Kalian ini kalau mau mesum jangan berisik, untung yang lain belum pada pulang ." kata Mas Gatot membuatku shock, aku tidak melihat kemarahan yang seharusnya terjadi, aku malah melihat gairah dalam nada suara Mas Gatot, gila."

petualangan gunung kumkusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang