BAB 5

2.3K 9 0
                                    

Kami berjalan bergandengan, beberapa tukang ojek yang sedang mangkal menawari kami, semuanya kami tolak dengan halus. Berjalan sambil bergandengan tangan dengan seorang wanita cantik sangatlah berbeda rasanya, ada kebanggaan yang muncul saat orang melihat ke arah Mbak Wati sambil bisik bisik yang tidak bisa kami dengar.

Akhirnya kami sampai pada sebuah waduk yang berbama wadung Kedung Ombo yang dibangun pada tahun 1985 hingga 1989, Waduk mulai diairi pada 14 Januari 1989 . Menenggelamkan 37 desa, 7 kecamatan di 3 kabupaten, yaitu Sragen , Boyolali , Grobogan. Sebanyak 5268 keluarga kehilangan tanahnya akibat pembangunan waduk ini.

Pada tahun 1994, belum semua bagian waduk yang terendam oleh air sehingga kami masih busa berjalan ke Gunung Kemukus tanpa menggunakan perahu, sekarang jalan menuju ke Gunung Kemukus sudah tenggelam berganti menjadi jembatan.

"Masih jauh, Mbak?" tanyaku melihat jalan lurus ke arah Gunung Kemukus yang berupa tanah yang lebih tinggi dari pada kiri kanannya. Seperti jalan yang diapit oleh dua jurang dangkal.

"Nggakak tahu, Mbak belum pernah. Cuma kata teman Mbak dari Barong kurang lebih satu kilo meter." jawab Mbak Wati mengusap keningnya yang berkeringat akibat matahari yang terik sementara di kiri kanan kami tidak ada pohon.

Kami terus berjalan di atas tanah kering yang berdebu hingga akhirnya kami sampai di pintu gerbang Gunung kemukus, Mbak Wati segera membeli tiket masuk yang aku lupa berapa harganya waktu itu. Setelah berjalan ke dalam, kami masuk ke sebuah warung yang terlihat sepi.

"Bu, kopinya satu dan teh manis ! " kata Mbak Wati ke pemilik warung yang menyambut kami dengan mata berbinar. Sepertinya kami pelanggan pertama yang masuk ke tempat ini.

"Ko, sepi, bu ?" tanya Mbak wati menyadarkanku dengan situasi sekeliling kami yang sepi. Sejak kami memasuki loket, sepanjang jalan berjajar warung warung yang terlihat sepi pembeli. Berbeda dengan tempat ziarah yang sudah terkenal dan selalu ramai dikunjungi peziarah yang datang dari setiap penjuru.

"Di sini ramainya malam Jum'at pon dan Jum" at kliwon, Mbak. Sampeyan dari mana, sudah berapa kali kesini ? Makannya juga, ggak?" tanya pemilik warung membombardir dengan berbagai pertanyaan, pandangan matanya penuh selidik bergantian ke arahku dan Mbak Wati.

"Baru sekarang, ibu. Saya dari Bogor, Jawa Barat, Iya Bu, sekalian nasinya.. Masih ada kamar kosong, Bu? "Tanya Mbak Wati sambil menoleh ke arahku karena bunyi perutku sangat keras hingga terdengar olehnya. Aku tersenyum malu.

"Masih banyak yang kosong, kecuali malam Jum'at Pon, semua kamar di sini penuh." jawab pemilik warung sambil menyuguhkan kopi dan teh manis ke hadapan kami. Dia kembali menyiapkan nasi dan lauk pauknya untuk disuguhkan kepada kami. Melihat nasi yang masih panas, membuatku semakin lapar.

Setelah selesai ngopi dan makan, pemilik warung mengajak kami masuk ke dalam warung, ternyata ada beberapa buah kamar berdinding triplek yang berjejer. Kami memilih kamar paling pojok agar tidak terganggu oleh pengunjung lain. Kamar yang kami tempati hanya berukuran 2 x 2 tanpa ranjang, kasur tergeletak di lantai. Kamar ini seperti kamarku di desa.

Aku segera merebahkan tubuhku yang terasa letih, mengikuti Mbak Wati yang sudah lebih dahulu membaringkan tubuhnya. Tubuh kami saling berdempetan membuat jantungku berdebar kencang, inilah pertama kali aku berada di kamar hanya berduaan dengan seorang wanita. Bau tubuh Mbak Wati membuatku semakin bergairah. Aku ingin memeluknya, tapi aku tidak mempunyai keberanian untuk melakukannya.

"Kamu mau langsung ng*n*t, atau mau mandi dulu?" tanya Mbak Wati sambil memelukku yang terpaku kaget dengan tawarannya.

"Ter serah..!" jawabku gugup. Payudara Mbak Wati terasa lunak menekan tubuhku.

"Kamu ditanya malah gugup..!" goda Mbak Wati semakin mempererat pelukannya, bahkan wajahnya menempel pada wajahku sehingga aku bisa merasakan nafasnya yang menerpa wajahku.

Aku semakin gelisah, tanganku tepat berada di s**langk*ngan Mbak Wati, seolah Mbak Wati sengaja melakukannya. Pikiranku kosong tidak tahu apa yang harus aku lakukan, aku hanya bisa berharap Mbak Wati yang akan memulainya lebih dahulu,, mengajariku harus melakukan apa terhadapnya.

"Kita langsung mandi di sendang Ontrowulan, Jang. Setelah itu kita ziarah ke makam, Pangeran Samudra, setelah itu kita bisa bebas ng*nt*t." Kata Mbak Wati, berbisik di telingaku, membuatku sedikit kecewa dengan keputusannya padahal aku sudah sangat ingin merasakannya, hal yang selalu dibanggakan oleh teman temanku yang sudah melepas masa perjakanya. Ya, memang seharusnya seperti itu, ritual harus mengikuti aturan dan tata cara yang benar. Pikirku berusaha menghibur diriku sendiri, tidak akan lari Gunung dikejar. Masanya melepas perjaka hanya tinggal menghitung jam.

"Iyyya, Mbak..!" jawabku. Sabar Jang, tinggal beberapa jam lagi. Aku menarik nafas sepanjang yang aku bisa

"Gak bawa handuk, Mbak?" tanyaku heran melihat Mbak Wati langsung keluar kamar tanpa membawa apa apa, hanya tas tangan yang dibawanya.

"Kita mau mandi kembang tidak boleh pakai handuk, biar air sendang meresap ke tubuh kita." jawab Mbak Wati mengingatkanku saat aku mandi di tempat tempat keramat bersama Mang Karta, aku tidak boleh melap tubuhku yang basah karena akan mengurangi kekuatan mistis yang terdapat di air.

Sesampainya di sendang, aku heran karena tidak melihat sebuah sendang melainkan bilik kamar mandi yang di temboknya tertulis SENDANG ONTROWULAN. Yang dimaksud sendang, ternyata hanya sebuah sumur di dalam kamar mand, konon di sinilah Dewi Ontrowulan menyucikan diri sebelum akhirnya moksai, Mbak wati membeli kembang, lalu mengajakku masuk ke dalam bilik kamar mandi tempat sendang ontrowulan, membuat jantungku berdebar kencang. Aku akan bisa melihat tubuh bugil Mbak Wati hal yang belum pernah aku alami.

"Kamu kenapa, Jang?" tanya Mbak Wati yang melihatku tegang menanti apa yang akan terjadi.

"Gak apa apa, Mbak..!" jawabku gelisah saat Mbak Wati melepas jilbabnya, lalu membuka ikatan rambutnya sehingga rambutnya yang panjang tergerai indah. Aku merasakan sesuatu yang berbeda, padahal hampir setiap hari melihat rambut Mbak Wati saat di Bogor.

“Kamu seperti belum pernah melihat rambutku saja, Jang.” Kata Mbak Wati tertawa kecil melijatku yang terpesona oleh keindahan rambutnya.

“Ngga tahu Mbak, rambut Mbak sepertinya berbeda dibandingkan saat di Bogor.” Jawabku tidak mengerti dengan apa yang kurasakan.

“Apanya yang berbeda, Jang?” tanya Mbak Wati sambil mempermainkan rambutnya di dada.

“Nggak tahu Mbak, terlihat lebih imdah.” Jawabku semakin tidak mengerti apa yang sedang kurasakan. Samar samar aku melihat seorang wanita cantik yang berkemben mengibaskan rambutnya yang panjang sehingga beberapa perhiasan yang menempel pada rambutnya berjatuha dan saat menyentuh tanah, perhiasan itu hilang tidak berbekas. Aku memejamkan mataku, setahuku saat kami masuk, tidak ada seorangpun selain kami berdua.

“Kamu kenapa, Jang? Wajah kamu mendadak jadi pucat?” tanya Mbak Wati menjadi khawatir, dia meraba dahiku yang tiba tiba basah oleh keringat.

“Nggak apa apa, Mbak..!” jawabku, berusaha memberanikan diri membuka mata. Wanita itu sudah tidak, lenyap entah ke mana.

“Ya sudah, kita jangan lama lama di sini, nanti keburu ada yang datang untuk mandi.” Kata Mbak Wati mulai membuka baju bagian atasnya, membuatku menahan nafas mengikuti gerakkan baju yang terangkat semakin tinggi. Perut Mbak Wati memang berlemak, tapi tidak sedikitpun mengurangi keindahannya. Nafasku nyaris berhenti saat t*k*t yang tertutup BH, terbebas dari baju yang membelenggunya.

"Kenapa, Jang? T*t*k Mbak gede ya?" goda Mbak Wati meremas payudaranya, menggodaku yang shock melihat payudaranya yang terbungkus BH, aku ingin menyentuhnya, tapi keberaniannku tidak sebanding dengan keinginanku.

petualangan gunung kumkusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang