BAB 7

2.3K 10 0
                                    

Kepercayaan itulah yang membuat ritual sex tumbuh subur di Gunung Kemukus.

"Nama dan binti, niat anda datang ke sini, Mbak ?" tanya kuncen ke Mbak Wati yang dengan lancar menyebutkan nama dan maksudnya datang ke Gunung Kemukus.

"Kamu ? " kuncen menoleh ke arahku., menanyakan hal yang sama seperti yang ditanyakan ke Mbak Wati.

"Ujang bin Ugan, niatnya sama, Pak" aku menjawab lirih, bau menyan begitu tajam membuatku merinding dan semakin merinding saat kuncen membaca mantra. Bau menyan yang mengingatkanku ke Abah, setiap malam Jumat Abah selalu membakar kemenyan untuk susuguh ke para Karuhun. Kulihat Mbak Wati menundukkan wajah dengan khusyuk.

Selesai membaca mantra, kuncen memberikan kembang yang sudah diasapi menyan, menyuruh kami masuk ke dalam cungkup makam. Hanya kami berdua di dalam cungkup, bersila dan berdoa dengan khusuk agar semua keinginan kami terkabul.

Keheningan itu pecah saat Mbak Wati terisak lirih, air mata mengalir di pipinya yang chubby dan mulus, tanpa sadar, aku pun ikut menangis. Teringat dengan nasibku, umur 8 aku sudah menjadi yatim, umur 15 tahun, aku sudah harus memberi nafkah ibu dan adikku, membiayai sekolah adikku adikku.

Suara isak kami seperti mantra yang mengetuk alam ghaib, mengiba agar semua hajat kami terkabul. Kami bersujud tanpa sadar, dahi kami menyentuh marmer makam yang dingin, semua tangis dan kesusahan yang dialami semuanya, seakan tertumpah saat itu. Akhirnya kesadaranku pulih, saat Mbak Wati mengguncang pundakku, tersenyum dengan mata yang sembab.

"Sudah selesai. Belum?" tanya Mbak Wati, masih terlihat matanya yang sembab sehabis menangis.

"Mbak sudah?" tanyaku balik bertanya. Aku kesini karena ajakannya, maka semuanya harus mengikuti perintahnya.

"Sudah..!" jawab Mbak Wati sambil berdiri, tangannya yang terulur kusambut dengan senang hati. Kami bergandengan tangan meninggalkan bangsal Sonyoruri seperti sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta dan kerinduan setelah lama berpisah. Mungkin ini yang dimaksud Dewi Ontrowulan dengan kata DEMENAN, walau pemahaman kami tentang kata DEMENAN berbeda dengan maksud dari Dewi Ontrowulan.

Kata DEMENAN menurut pemahaman kami adalah menumpahkan semua hasrat birahi yang belum tersalurkan, hasrat birahi tabu karena kami bukanlah sepasang suami istri,. Mbak Wati adalah seorang istri yang datang mencari berkah kekayaan sehingga rela berzina denganku seorang perjaka yang mendambakan kehangatan seorang wanita. Semuanya akan kami tumpahkan di sini, menuntaskan hasrat birahi yang belum sempat kami reguk.

Tanpa bersuara kami meninggalkan makam Pangeran Samudra, bergandengan tangan menuruni anak tangga yang di kiri kanan berjejer warung warung yang sepi, setia menunggu malam Jum'at Pon tiba. Pada saat itulah ribuan orang akan memadati tempat ini, menuntaskan hasrat birahi mereka dengan dalih melakukan ritual, ngalap berkah lewat pertemuan Lingga dan Yoni.

Kami berjalan menuruni anak tangga dengan bergandengan tangan dengan perasaan gelisah, sebentar lagi Ritual selanjutnya akan dimulai, tanganku semakin erat menggenggam tangan Mbak Wati yang menoleh ke arahku dengan senyumnya yang khas, sebentar lagi aku akan merasakan kenikmatan yang sebenarnya dan melakukan ritual sesungguhnya. Kenikmatan ngentot yang akan membuatku menjadi pria sejati

Setibanya di kamar, Mbak Wati memesan kopi pahit, kopi manis, susu dan air putih. Piring kosong untuk tempat bunga, semuanya diletakkan di meja. Dari dalam tas, Mbak Wati mengeluarkan lisong, rokok klobot dan juga daun sirih.

“Untuk sesaji, " kata Mbak Wati menjelaskan melihat tatapanku. Senyumnya tidak lepas dari bibir mungilnya. Aku hanya mengangguk, karena hal ini bukan hal asing untukku. Aku dibesarkan oleh Ibu dan Abah/kakekku serta Mang Karta yang sangat memegang teguh adat istiadat, tradisi yang rutin kami lakukan pada malam malam tertentu dan saat saat tertentu. Menaruh sesajen di tempat PENDARINGAN/ TEMPAT MENYIMPAN BERAS, selalu rutin kami lakukan. Membakar menyan, tidak pernah Abah lewatkan.

"Sudah siap, buka bajunya Jang. Kita akan melakukan meditasi dalam keadan tubuh telanjang, memohon agar semua keinginan kita terkabul." kata Mbak Wati tersenyum menatapku yang asik melihat persiapan yang dilakukan Mbak Wati. Mbak Wati membuka jilbab perlahan lahan, membuatku menahan nafas. Walau aku tahu dan selalu melihat rambut dan lehernya tapi saat ini terasa berbeda, entah apa yang membuatnya berbeda.

"Kamu kenapa Jang, ngeliat Mbak seperti itu? " kata Mbak Wati sambil menggeraikan rambutnya yang panjang dan basah, semakin menambah kecantikannya, leher yang tidak jenjang tidak mengurangi keindahan rambutnya.

"Gak apa apa, Mbak..!" jawabku berbohong, jantungku berdegup makin kencang saat Mbak Wati mengangkat bajunya perlahan sehingga aku melihat perutnya yang berlemak, tidak mengurangi keindahan tubuhnya.

"Perut Mbak, gendut ya?" tanya Mbak Wati mengelus perutnya yang berlemak, seolah ingin menunjukkan lipatan lemak yang berada di perutnya.

"Iyyyya, Mbak!" jawabku gugup dengan pertanyaan Mbak Wati.

"Ujang jahat, perutku dibilang gendut." kata Mbak Wati kembali menurunkan bajunya sehingga aku gagal melihat keindahan payudaranya yang sudah menyihirku di Sendang Ontrowulan, tentu saja hal ini membuatku panik.

"Bukkkan begitu, Mbak. Perut Mbak Wati sexy..!" kataku berusaha meredakan kemarahan Mbak Wati. Aku tidak menyangka perkataanku menyinggung perasaan Mbak Wati.

"Hihihi, kamu lucu, Jang. Dasar perjaka ting tong..!" kata Mbak Wati kembali mengangkat baju atasnya perlahan lahan berusaha menggodaku yang bisa menarik nafas lega, ternyata Mbak Wati tidak marah seperti dugaanku. Dia hanya sedang menggodaku saja.

"Mbak Wati ngeledek..," kataku cemberut, setidaknya keteganganku mulai berkurang, ketegangan yang kurasakan sejak dari Bogor.

Pandanganku kembali tertuju ke Mbak Wati yang semakin tinggi menaikkan bajunya, kembali aku menarik nafas saat payudaranya yang tertutup BH warna putih terlihat.

"Tetek Mbak, gede nggak?" tanya Mbak Wati memegang kedua payudaranya yang tidak tertampung seluruhnya oleh BH yang menurutku sangat kekecilan untuk ukuran payudara Mbak Wati.

"Gede, Mbak..!" jawabku menelan air liur untuk membasahi tenggorokanku yang tiba tiba menjadi kering.

"Kamu sudah pernah nyusu, belum?" tanya Mbak Wati mengeluarkan payudaranya dari sela sela BH, sehingga kembali aku melihat putingnya yang berwarna kehitaman terlihat mengundang seleraku.

"Dulu sering, Mbak..!" jawabku, tidak mau dianggap culun, tentu saja aku pernah mencicipi susu ibuku sampai umur dua tahun, hingga akhirnya Ibuku berhenti memberikan aku susu karena putingnya tergigit olehku saat sedang menyusui, begitu cerita yang aku dengar dari ibuku.

"Katanya kamu nggak pernah deket sama cewek? Jangan jangan kamu suka main sama PSK yang biasa mangkal di stasiun, ya?" tanya Mbak Wati terdengar kecewa, bisa saja dia terkena penyakit menular kalau aku sering main dengan PSK.

"Kata Ibuku, waktu bayi aku paling kuat nyusunya." jawabku jujur. Aku agak kecewa saat Mbak Wati memasukkan payudaranya ke dalam BH.

"Ujang jahatttt...!" kata Mbak Wati dengan suara meninggi. Mbak Wati melempar bajunya ke wajahku membuatku tertawa geli karena berhasil membalas perbuatannya. Aku menciumi baju Mbak Wati, menghisap bau keringat Mbak Wati yang menempel di bajunya. Bau keringat yang semakin merangsangku.

"Jang, kok malah nyiumin baju sich, kan enakan nyiumin orangnya." kata Mbak Wati yang terlihat cemburu pada bajunya yang sedang aku ciumi.

"Abisnya dari tadi Mbak belum bugil juga, katanya mau meditasi bugil..!" kataku mengeluarkan unek unek, tidak tahukah dia aku sudah sangat tidak sabar untuk memulai ritual yang sesungguhnya. Ritual yang akan membuatku menjadi pria dewasa.

petualangan gunung kumkusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang