BAB 11

1.8K 9 0
                                    

Mas Gatot sama sekali tidak marah melihat Mbak diperlakukan seperti itu?" tanyaku heran, nyaris tidak percaya dengan cerita Mbak Wati, mana mungkin ada suami seperti itu. Sepertinya Mbak Wati sengaja berbohong untuk membuatku lebih tenang dalam melakukan ritual.

"Memang selama ini Mas Gatot sering bertanya pengalamanku saat aku kehilangan perawan oleh Paijo, petualangan sex kami hingga akhirnya aku hamil. Mas Gatot selalu mendesakku menceritakan semuanya sedetail detailnya, setelah aku bercerita biasanya Mas Gatot mengajakku berhubungan sex, gairahnya akan semakin meninggi bahkan dia bisa bertahan lebih lama dari biasanya. Setelah kejadian itu aku baru tahu Mas Gatot mempunyai kelainan jiwa, dia akan terangsang saat membayangkan aku ngentot dengan pria lain, bahkan dia pernah terang terangan menyuruhku memilih salah satu di antara kalian untuk ngentot denganku, tentu saja aku sangat marah mendengarnya." kata Mbak Wati semakin mempererat pelukannya. Kepalanya bersandar di dadaku yang kurus, nyaris tanpa otot.

"Mas Gatot pernah nanya begitu, Mbak?" tanyaku kaget. Tidak mungkin, Mbak Wati pasti sedang berbohong padaku.

"Ya, pernah." jawab Mbak Wati, tangannya menggelitik puting dadaku, membuatku menggelinjang geli.

"Mbak jawab apa?" tanyaku penasaran, jawaban Mbak Wati saat ditanya begitu.

"Aku cuma mau ngentot sama kamu, kamu yang paling ganteng di antara mereka, kamu juga yang paling kurus dan paling tinggi. Badan seperti kamu biasanya punya kontol gede." kata Mbak Wati membuatku tersanjung.

"Sok tahu Mbak Wati kan waktu itu Mbak belum pernah melihat kontolku." jawabku tertawa geli dengan argumen Mbak Wati yang kuanggap ngawur dan asal asalan.

"Ibu ibu langganan mie ayam kamu sering ngegosip begitu, katanya tukang mie ayam ganteng kontolnya gede. Hihihihi." kata Mbak Wati tertawa terbahak bahak, ternyata bukan cuma cowok yang piktor, kaum ibu pun begitu.

"Bohong..!" jawabku ikut tertawa geli membayangkan para ibu ibu ngegosipin kontolku, Mbak Wati ternyata bisa juga bercanda.

"Aku nggak bohong, langganan mie ayam kamu bilang begitu soalnya pernah ada yang lihat kamu kencing di kebun, kamu gak sadar ibu itu lagi memetik daun katuk, dia yang nyebarin gosip." kata Mbak Wati dengan mimik wajah serius.

"Siapa, Mbak?" tanyaku penasaran siapa yang sudah melihat kontolku.

"Bu Dedeh..!" jawab Mbak Wati membuat wajahku memerah, pantas saja dia sering menggodaku, ternyata itu sebabnya.

"Mbak, masih sering berhubungan dengan Paijo?" tanyaku teringat dengan cerita Mbak Wati yang masih menggantung. Aku semakin penasaran dengan kelanjutan ceritanya. Cerita yang sangat menarik, sayang kalau tidak sampai tamat.

"Senang amat kamu dengar cerita mesum, jangan jangan kamu punya kelainan jiwa seperti Mas Gatot?" tanya Mbak Wati menggodaku.

"Enggaklah, Mbak...!"

Mbak Wati kembali meneruskan ceritanya.

"Wat, kenapa kamu tidak meminta cerai biar kita bisa menikah?" tanya Paijo saat Mas Gatot belum pulang berjualan, dia semakin sering mengunjungiku bahkan kami sering bermalam di penginapan bertiga dengan Mas Gatot untuk memuaskan nafsu birahi kami yang seperti tidak pernah terpuaskan.

"Kamu gila, aku tidak mungkin bercerai dengan Mas Gatot. Dia yang sudah menutup aib keluargaku, dia juga memperlakukan anakmu seperti anaknya sendiri." kataku ketus, aku tidak bisa menghianati Mas Gatot.

"Tapi dia yang merebutmu dengan akal liciknya sehingga kita tidak bisa menikah, dia sengaja tidak memberikan suratmu malah menyuruhku ke Jakarta untuk bekerja. Ini semua adalah tipu dayanya, seharusnya kamu menjadi istriku, kita hidup tenang di Desa." kata Paijo menatapku tajam.

"Aku tidak tahu, Jo..!" jawabku lemah, kenyataan yang aku hadapi membuatku tidak mampu berpikir lagi.

"Apa yang kamu katakan, Jo? Setelah aku dengan besar hati memberikanmu kesempatan menikmati memek istriku, sekarang kamu mau merebut istriku? Pergi, Jo dan jangan pernah muncul di hadapan kami." kata Mas Gatot yang sudah berdiri di ambang pintu membuat kami menoleh kaget. Kami tidak menyadari kehadiran Mas Gatot yang ikut mendengar percakapan kami.

"Wati harus tahu kejadian yang sebenarnya, Tot. Kamu sudah merebut Wati dari tanganku dan aku mengalah menikmati memeknya di hadapanmu untuk memuaskan hasrat abnormal mu." kata Paijo dengan suara dingin, keadaan menjadi sangat panas, aku takut akan terjadi pertengkaran di antara mereka sehingga orang tahu masa lalu kami.

"Jo, pergilah..!" kataku dengan suara memelas sebelum orang mendengar keributan yang terjadi.

"Aku pergi karena permintaan Wati, bukan karena aku takut padamu, Rot..!" kata Paijo berjalan melebarkan Mas Gatot yang menyisi memberinya jalan.

Mas Gatot tidak bicara sedikitpun malam itu, keesokan harinya dia tidak berjualan dan pergi tanpa berpamitan membuatku merasa was was.

"Mau ke mana, Mas?" tanyaku sepulangnya berjualan jamu, mas Gatot sama sekali tidak menoleh.

"Bukan urusanmu." jawab Mas Gatot dingin, dia pergi meninggalkanku yang menatapnya heran. Selama 18 tahun menikah, belum pernah dia berlaku seaneh itu."

"Terus Mbak?" tanyaky semakin penasaran melihat Mbak Wati terdiam tidak meneruskan ceritanya.

"Ya sudah begitu saja, sejak kejadian itu aku tidak pernah lagi bertemu dengan Paijo, sudah hampir dua tahun, terakhir aku mendengar kabar dia mati dalam sebuah kecelakaan. Aku lelah, Jang. Mau tidur." kata Mbak Wati membelakangiku, perlahan pundaknya bergerak disertai isak tangis yang sekuat tenaga ditahannya.

"Mbak, kenapa?" tanyaku kaget melihat Mbak Wati yang tiba tiba menangis.

"Paijo.... Seharusnya kami tidak perlu bertemu lagi.....!" Mbak kembali terisak, suaranya semakin lemah hingga akhirnya menghilang. Perlahan lahan suara nafasnya semakin teratur. Aku melihat ke arah wajahnya untuk memastikan Mbak Wati sudah tidur. Setelah yakin Mbak Wati tidur, aku menyelimutinya.

Perutku terasa lapar, perlahan lahan aku memakai pakaianku dan meninggalkan Mbak Wati yang tidur. Di depan aku melihat ibu pemilik warung sedang mengobrol dengan seorang gadis cantik yang masih sangat muda.

"Kok keluar sendiri, Mas?" tanya Ibu warung menyambutku dengan senyum yang dibuat semanis mungkin karena aku dan Mbak Wati adalah tamu satu satunya di tempat ini, gadis yang sedang mengobrol dengan Ibu warung, pasti bukan tamu di sini.

“Sudah tidur, Bu. Bu, tolong bikinin kopi dan makannya." kataku sambil tersenyum ke arah gadis cantik yang duduk berhadapan denganku.

"Wajah kamu sangat mirip dengan Pakde Karwo, mungkin kamu Pakde Karwo muda." kata gadis itu tanpa berkedip menatapku.

"Iya Las, sangat mirip. Tadinya juga Bu Yem kaget waktu melihat Masnya datang, benar benar mirip dengan Pakde Karwo, cuma bedanya Pakde Karwo sudah tua dan berkumis dan tubuh Pakde Karwo lebih berotot dibandingkan Masnya yang kurus." kata ibu warung meneruskan perkataan gadis remaja yang duduk di hadapanku.

"Wajahku memang pasaran, makanya banyak yang mirip." jawabku. Perkataan mereka mengingatkanku perkataan orang orang di desaku, bahwa aku sangat mirip dengan almarhum ayahku, kami seperti pinang dibelah dua dan sekarang ternyata ada lagi yang wajahnya sangat mirip denganku, Pakde Karwo. Aku jadi penasaran ingin melihat orang yang bernama Pakde Karwo.

petualangan gunung kumkusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang