BAB 18

1.9K 11 4
                                    


"Minum, Jang..!" Lilis menempelkan gelas pada bibirku, bibirku terbuka sedikit saat susu mengalir masuk ke mulutku. Semuanya seperti mimpi, Lilis memperlakukanku seperti seorang kekasih, sayang aku hanya akan mengalaminya selama di Gunung Kemukus saja, tidak akan pernah saat kami pulang.

"Kamu kenapa Jang, kelihatan tegang?" tanya Lilis, tanganya yang halus mengusap keringat yang tiba tiba membasahi pelipisku, membuat keringat semakin banyak keluar dari pori poriku.

"Kamu sudah berapa kali kesini sama Mbak Wati, Jang?" tanya Lilis berusaha mencairkan suasana yang terasa kaku.

"Baru sekali, Teh. Teteh kan sudah kaya, ko masih kesini ?" tanyaku mulai bisa mengendalikan diri. Hal yang pertama kali aku tanyakan adalah hal yang juga aku tanyakan ke Mbak Wati begitu melihat mereka di sini.

"Kami sudah 10 tahun menikah, tapi hingga sekarang kami belum dikaruniai seorang anak, padahal sudah semua cara kami coba tapi nihil. Kalo kata dokter, aku dan A Budi sama sama mandul, kami kesini karena ingin aku bisa hamil." kata Lilis menerangkan maksud kedatangannya ke sini. Ternyata dia datang agar bisa hamil.

"Och begitu, Teh..?" jawabku singkat, apakah itu berarti aku harus bisa menghamili, Lilis. Kalau benar Lilin bisa hamil olehku, anak kami pasti akan mempunyai wajah rupawan, tanpa sadar aku tersenyum membayangkannya.

"Jang, rencananya Teh Lilis mau ritual sampe malam Jum'at Kliwon. Jadi 9 hari di sini. Kamu mau kan, menjadi pasangan ritual Teteh selama di sini ? Semua biaya yang menanggungnya, kamu hanya menemani Lilis ritual, semoga kamu bisa menghamili Lilis." tanya Lilis, sebuah ajakan yang tidak mungkin aku tolak, 9 hari bersama wanita secantik Lilis, seperti sedang berbulan madu apa lagi aku harus bisa menghamilinya.

"Pak Budi, juga sampe Jum'at Kliwon, Teh?" Tanyaku.

"Suami Lilis hari Jum'at pulang. Kan banyak kerjaan. Mau ya, Jang. Nemenin Lilis selama di sini.?" Tanya Lilis memohon padaku. Oh Tuhan, wanita secantik Lilis memohon padaku, aku merasa menjadi seorang pangeran.

"Iyya Teh, Ujang mau..!" ajakan yang tidak mungkin aku tolak, ini adalah hari keberuntunganku. Teh Lilis langsung memelukku disertai sebuah ciuman pada pipi ku, sehingga aku bisa mencium tubuhnya yang harum.
Lilis menciumku? Apa ini hanya mimpi.

"Lis, sudah siap belum? Kita berangkat ke Sendang Ontrowulan." Tiba tiba Pak Budi mengetuk pintu, menyadarkanku bahwa yang kualami bukanlah mimpi.

"Iya A, tunggu sebentar..!" jawab Lilis kembali menciumku dan kali ini dia mencium bibirku membuatku shock, langganan Mie Ayamku yang cantik mencium bibirku, Lilis begitu agresif.

"Jangan bengong aja, yuk..!" Lilis menarik tanganku berdiri dan keluar dari kamar yang tersa pengap.

Kami berjalan mengikuti Pak Budi dan Mbak Wati yang berjalan lebih dahulu menuju Sendang Ontrowulan, ada kebanggan yang tidak bisa kusembinyakan berjalan bergandengan tangan dengan wanita secantik Lilis. Orang orang yang sedang mengobrol di warung warung yang berjejer sepanjang jalan melihat ke arahku dengan perasaan iri dengan keberuntungan ku. Suasana masih belum begitu ramai, tapi besok para peziarah akan datang dari semua penjuru menyambut malam Jum'at Pon, malam yang dianggap paling sakral untuk ngalap berkah khususnya para pelaku pesugihan.

Di dekat sendang, Pak Budi membeli 4 bungkus kembang untuk mandi. Kami berempat segera masuk bilik sendang ontrowulan, karena suasana sepi kami bisa mandi bareng tanpa terganggu oleh peziarah lainnya. Awalnya Lilis menolak mandi bareng, dia ingin mandi sendiri karena masih malu. Namun Pak Budi meyakinkan untuk mandi bersama sama, ini salah satu syarat ritual. Akhirnya Lilis setuju.

Di dalam, Mbak Wati orang pertama yang melepas pakaian hingga bugil, tidak ada rasa risih sedikitpun mempertontonkan tubuhnya yang montok, payudaranya yang menggantung seperti pepaya terekspos membuat mata Pak Budi melotot takjub. Karena payudara Mbak Wati adalah bagian yang menurutku paling indah dan menggoda iman dan selalu menarik perhatian teman temanku termasuk aku. Pak Budi ikut ikutan melepas semua pakaiannya. Di usianya yang ke 40, perutnya mulai membuncit.

"Kok kalian belum buka, baju?" tanya Pak Budi menatap Lilis yang terlihat ragu untuk melepas pakaiannya, lalu beralih menatapku.

"Kalian dulu yang mandi, nanti aku berdua saja dengan Ujang. Kan harus berpasangan." kata Lilis menolak membuka pakaiannya di depan Mbak Wati atau mungkin dia merasa sungkan dengan kehadiran Pak Budi yang akan melihat tubuh istrinya telanjang di hadapan pria lain.

"Okelah kalau begitu." jawab Pak Budi yang tidak mau berlama lama di kamar mandi dalam keadaan telanjang. Dengan cepat Pak Budi dan Mbak Wati melakukan prosesi ritual mandi kembang, bergantian mereka saling memandikan.

"Aa dan Mbak Wati keluar dulu, sekarang giliran Lilis mandi." kata Lilis setelah Pak Budi dan Mbak Wati selesai mandi. Pak Budi hanya mengangkat bahu dan keluar bersama Mbak Wati meninggalkan kami berdua di dalam sendang.

Aku melepas pakaianku mempertontonkan kulitku yang hitam karena setiap hari terjemur matahari. Walau tubuhku kurus, tapi kontolku membuat Teh Lilis menjerit kecil. Mungkin kaget melihat ukurannya.

"Idih, Ujang. Gede amat !!!" Teh Lilis terbelalak melihat kontolku yang setengah tegang, tangannya menutup mulut. "Jang, jangan liahat, Lilis mau buka baju..!" kata Lilis menyuruku membelakanginya. Aku memandangnya heran, kenapa aku tidak boleh melihat tubuh indahnya, bukankah ritualnya harus dalam keadaan bugil

"Kok!" seruku heran, aku tidak mau membiarian momen pertama melihat Lilis membuka bajunya. Aku sangat ingin melihatnya.

"Lilis malu, Jang, belum psrnah telanjang di hadapan pria lain." kata Lilis menunduk malu. Heran, bukankah dis sudah terbiasa telanjang di hadapan Pak Budi, kenapa haru malu telanjang di hadapanku yang sama sama pria.

"Ujang, disuruh jangan lihat malah melotot begitu." kata Lilis dengan mata mendelik, namun aku bisa melihat senyum samar di bibirnya yang basah alami.

"Aku ingin lihat," jawabku kecewa. Aku meraih timba dan mulai mengambil air dari dalam sumur, membiarkan Lilis membuka pakaiannya tanpa merasa malu, toch pada akhirnya aku bisa melihat sekujur tubuh indahnya sebagai syarat mutlak ritual. Aku hanya perlu sedikit bersabar.

"Sudah penuh, Jang..!" kata Lilis menyadarkanku bahwa ember yang kuisi sudah penuh dan tidak mampu menampung air yang terus kutimba. Aku berbalik menghadap Lilis dan aku menatap takjub tubuh polos Lilis yang berdiri tanpa beruasaha menutupi bagian vital tubuhnya dengan tangan sperti layaknya orang yang sedang malu. Ternyata di balik gamisnya yang besar, menyimpan kemolekan tubuh yang nyaris sempurna. Kulitnya kuning langsat, halus tanpa cacat. Payudaranya sedang, tidak besar dan juga tidak kecil namun justru sangat indah, perutnya rata tanpa lemak, pinggangnya ramping, pinggulnya bulat dan berisi. Benar benar tubuh yang nyaris sempurna dan sebentar lagi aku akan bisa mencicipinya dan menikmatinya selama 9 hari ke depan. Perlahan kontolku menegang sempurna.

"Kenapa Jang, melihatnya seperti itu? Jang, kontol kamu makin, gede." kata Lilis, dia mulai berani melihat kontolku, bahkan dia mulai berani menggodaku dengan menoel kontolku membuatku menahan nafas dengan godaannya. Wanita yang kukenal alim ternyata bisa berbuat mesum.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 24, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

petualangan gunung kumkusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang