BAB 4

2.3K 9 0
                                    

Pada waktu yang telah ditentukan tepatnya hari senin, kami bertemu di stasiun Tanah Abang, sengaja kami tidak berangkat bareng dari rumah untuk menghindari kecurigaan para tetangga padahal bisa saja kami bertemu di stasiun Bogor. Aku tiba terlebih dahulu,30 menit lebih awal, aku menunggu gelisah hingga akhirnya Mbak Wati datang dengan diantar Mas Gatot yang tersenyum melihatku dari kejauhan.

Hampir saja aku tidak mengenal Mbak Wati karena penampilannya yang jauh berbeda dengan penampilannya sehari hari. Mbak Wati berpakaian muslim dengan menggunakan gamis lebar yang menyembunyikan kesintalan tubuhnya dan jilbab warna pink, senada dengan baju gamis yang dikenakannya. Kecantikannya semakin menonjol, beberapa pria jelas jelas melihat ke arah Mbak Wati mereka pasti terpesona oleh kecantikannya. Aku tersenyum senang, merka pasti tidak akan menyangka Mbak Wati akan menjadi milikku selama beberapa hari ke depan. Ya, dia akan menjadi milikku untuk sementara waktu.

" Aku titip istriku ya, Jang. Santai saja tidak usah tegang. Di Kemukus ritualnya nikmat, kamu boleh ng*nt*tin istriku sampai puas, dijamin kamu akan ketagihan m*m*k istriku yang bisa emp*t ayam. " bisik Mas Gatot membuatku risih, suara Mas Gatot terdengar riang saat mengucapkan hal itu.

"Kamu ini Mas, di temapt umum ngomong begitu.!" kata Mbak Wati mengomel,

"Iya Dek, maaf. Akukan ngomongnya pelan." jawab Mas Gatot membela diri.

"Ya sudah kamu pulang, nanti kemalaman sampe rumah." kata Mbak Wati mengusir Mas Gatot.

"Kita masuk, Jang ; " ajak Mbak Wati sambil menepuk pundakku. Aku menoleh mencari Mas Gatot yang sudah menghilang entah ke mana.

"Mas Gatot, cepet amat jalannya?" tanyaku heran karena tidak melihat Mas Gatot.

"Emang begitu Mas Gatot.. Biruan Jang, kita masuk biar dapat tempat duduk." kata Mbak Wati sambil menarik tanganku memasuki peron stasiun, reflek aku mengambil ransel dan tas Mbak Wati mengikutinya memasuki stasiun. Kami harus bergegas memasuki kereta agar dapat tempat duduk. Tidak seperti sekarang, jumlah penumpang disesuaikan dengan jumlah bangku yang ada. Kami harus berebutan mencari tempat duduk yang tidak bisa dikatakan nyaman dan kalau kami kehabisan bangku, kami harus rela duduk di lantai beralaskan koran, bahkan ada beberapa orang yang sengaja membawa tikar dari rumah.

Ternyata benar apa yang dikhawatirkan Mbak Wati, kami tidak dapat tempat duduk. Terpaksa kami duduk di pintu dekat dengan toilet yang bau. Mbak Wati menyuruhku mengunci 0pintu kereta agar tidak ada yang masuk dan membuat kami terganggu. Aku hanya mengangguk patuh mengikuti perintahnya. Aku belum pernah naik kereta ke Jawa, jadi aku menyerahkan semuanya ke Mbak Wati yang sudah sangat hafal situasi yang harus kami hadapi. Mbak Wati segera menggelar koran yang dibawanya untuk alas duduk. Kami duduk berdempetan beralaskan koran, Mbak Wati memilih duduk dekat pintu sehingga terbebas dari orang yang berlalu lalang dan menyenggol bagian tubuh.

" Tangan kamu dingin, Jang ! Jangan tegang begitu, kaya yang belum pernah ng*nt*t saja.!!" bisik Mbak Wati berusaha mencairkan ketegangan yang terlihat jelas dari raut wajahku.

"Jangankan ng*nt*t, pegang tangan perempuan baru tangan Mbak. " jawabku jujur., aku malu mengatakannya. Dibandingkan dengan teman temanku yang begitu bangga menceritakan pengalaman mereka mojok dengan cewek yang baru dikenalnya atau dengan pacarnya. Pengalaman yang membuatku merasa iri karena tidak bisa seperti mereka yang dengan mudah mendapatkan pacar atau teman mojok.

"Wah, aku beruntung dong, bisa dapet perjaka kamu. " Mbak Wati mengecup pipiku, seolah olah tidak ada orang di sekeliling kami, membuatku malu. Karena ada beberapa orang yang berada di pintu seberang yang jelas jelas melihat ke arah kami. Masa bodoh dengan pandangan iri mereka yang melihatku mendapatkan ciuman dari seorang wanita cantik. Kereta Pun mulai jalan, pelan lalu semakin cepat meninggalkan stasiun Tanah Abang. Tubuh kami terguncang, Mbak Wati semakin merapatkan tubuhnya bersandar padaku. Hangat dan lunak ditambah aroma tubuhnya yang alami tanpa parfum membuatku gelisah, aku memberanikan diri merangkul pundaknya. Mbak Wati menyandarkan kepalanya di pundakku, membuat jantungku semakin berdegup kencang dan kontolku bergerak bangun dari tidurnya.

“Sampai Solo jam berapa, Mbak?” tanyaku sambil menghisap rokok kretek kesukaanku sekedar mengusir rasa gelisah karena tubuh Mbak Wati yang menyender padaku. Aku ingin memeluknya, keinginan yang aku pendam.

“Kalau lancar, jam tujuh juga sudah sampai, kalau telat ya bisa jam 9 kita sampai.” jawab Mbak Wati sambil memeluk tanganku sehingga menempel pada payudaranya yang empuk dan hangat, membuat kegelisahanku semakin memuncak. Apakah Mbak Wati akan memelukku seperti ini sepanjang perjalanan ke Solo?

Lama juga, pikirku. Aku melihat ke arah Mbak Wati yang memejamkan matanya, tanpa sadar aku mencium kepalanya. Tak lama, Mbak Wati tertidur di sampingku. Cantik, Mas Gatot benar benar beruntung mendapatkan istri secantik Mbak Wati, akupun sepertinya beruntung sebentar lagi bisa menikmati tubuhnya.

Tepat perkiraan Mbak Wati, kami tiba di Solo pukul 07.00, dari stasiun kami meneruskan perjalanan menggunakan becak ke terminal bus. Ternyata perjalanan dilanjutkan dengan Bus arah Purwodadi, perjalanan yang melelahkan.

"Masih jauh, Mbak?" tanyaku setelah kami duduk berdempetan di dalam bus tidak ber AC sehingga jendela harus dibuka lebar untuk mengurangi udara dalam bus yang pengap dan panas.

"Kata temen Mbak dari sini sekitar satu jam lagi, kita turun di Barong." jawab Mbak Wati yang terlihat lelah namun tetap terlihat bersemangat. Senyumnya tidak pernah lepas dari bibirnya yang menurutku sangat sensual.

"Mbak, capek?" tanyaku melihat matanya yang letih tapi semangatnya terlihat nyata.

"Capek, tapikan nanti dapet yang enak." goda Mbak Wati dengan senyum manisnya. Senyum yang tidak pernah gagal membuat jantungku berdegup kencang.

"Eh, iya Mbak." jawabku tersipu malu karena tahu apa yang dimaksud, Mbak Wati. Saat bus mulai keluar terminal, kantukku semakin tidak tertahankan hingga akhirnya aku benar benar tertidur.

"Jang, Ujang, bangun, sudah mau sampai.!" kata Mbak Wati sambil membangunkanku. Dengan mata masih mengantuk, aku menatapnya bingung.

"Sudah sampai, Mbak?" tanyaku melihat ke luar kaca mobil, walau aku sebenarnya tidak mengenal daerah sini, semuanya terlihat sangat asing..

"Sebentar lagi. Minum dulu Jang, biar matamu melek." kata Mbak Wati memberikan botol mineral yang isinya tinggal separuh, aku langsung meminumnya hingga tidak tersisa.

"Barong, kiri..!" kata Mbak Wati berdiri, aku ikut berdiri dan mengambil tas tas yang berisi pakaian kami, sudah seharusnya aku membawa semua tas yang berisi pakaian dan perlengkapan berat lainnya karena itu tugas lelaki.

“Mau ke Gunung Kemukus, Mbak?” tanya seorang bapak bapak yang tidak digubris oleh Mbak Wati yang terus berjalan ke arah pintu depan dan aku tidak perlu mewakili Mbak Wati menjawab pertanyaan si Bapak yang terlihat bergairah melihat Mbak Wati.

"Kita jalan kaki saja ya, Jang..! Badan Mbak pegal dari kemarin sore duduk saja." kata Mbak Wati saat kami sudah turun dari bus yang langsung melaju meninggalkan kami.

"Iya, Mbak..!" jawabku setuju, berjalan bisa mengendorkan otot otot kami yang kaku.

petualangan gunung kumkusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang