"Mau kemana kamu?" Suara berat mendominasi ruangan tengah yang begitu hening.
"Kemanapun aku pergi itu urusanku, kau tidak berhak melarangku." Tekan remaja laki-laki bernama Fian Aldevano. Pada ayahnya sendiri.
"Ohh, kau berani melawan hm?" Sang ayah yang bernama Hendra terkekeh pelan melihat keberanian Vano melawan nya.
Sedangkan melanjutkan langkahnya tidak perduli dengan perkataan orang tua itu, dia muak dikekang, dia muak diatur-atur, Vano sudah dewasa, ia ingin bebas seperti remaja lain pada umumnya.
Hingga beberapa detik kemudian...
Dor!
Suara tembakan terdengar diruangan itu, Vano yang masih berada diambang pintu langsung terduduk, sedikit meringis menahan sakit pada kaki kanannya yang tertembak.
Hendra benar-benar egois, Vano benci sifat ayahnya itu, lihat hanya karena membantah sedikit saja, tanpa basa-basi peluru panas itu akan langsung meluncur begitu saja.
"Shhh," Vano mencoba berdiri, namun hasilnya gagal, kakinya benar-benar sakit, tangan mengepal kesal menahan amarah, sampai kapan ia akan seperti ini?
Hendra menghampiri Vano untuk membantu anak itu berdiri, baru akan menepis tangan yang terulur untuk membantu nya itu, tiba-tiba saja sebuah jarum menembus kulit lehernya, detik itu juga kesadarannya direnggut oleh kegelapan.
***
Sebuah mata mulai terbuka, kesadarannya mulai kembali setelah entah berapa lamanya ia pergi.
Vano mengerjapkan matanya pelan, berusaha menormalkan penglihatannya, setelah benar-benar sadar, Vano tau ruangan ini adalah gudang dirumahnya.
Kedua tangannya diikat dengan rantai yang tersambung pada 2 tiang yang ada disamping kiri dan kanan nya.
Vano juga baru menyadari bahwa dirinya sedang berada dalam posisi berdiri, kaki nya mulai terasa sakit, luka tembak yang diberikan ayahnya memang tak main-main.
Ia menatap betis kaki kanannya yang diperban, sepertinya itu sudah diobati, benak Vano.
Tak lama kemudian sebuah cahaya masuk melalui celah pintu yang mulai terbuka, menampilkan sosok Hendra ayahnya dengan sebuah cambuk ditangan kirinya.
"Sudah bangun rupannya," Hendra tersenyum miring menatap anak bungsunya itu.
Vano memalingkan wajahnya, ia benci menatap wajah bajingan dihadapannya ini.
"Ku peringatkan lagi padamu, jangan pernah membantahku. Mengerti?" Tersirat penekanan pada kalimat barusan.
"BERHENTI MENGATUR HIDUPKU PAHAM!!" Vano tersulut emosi, ia lelah mendengar kalimat barusan yang terus menerus ayahnya ucapkan, ia tidak suka diancam.
CTASS!
Vano tertunduk sakit, perih, sedih, dan marah tercampur menjadi satu, begitu entengnya Hendra melayangkan cambukan pada tubuhnya?
Kadang Vano berpikir, apa dia ini benar-benar dianggap sebagai seorang anak? Kenapa ayahnya memperlakukan seperti binatang?
CTASS!
Lagi dan lagi suara cambukan menggema keras didalam gudang tersebut.
"Hitung!" Perintah Hendra.
CTASS!
"Satu,"
CTASS
"Dua,"
Kejadian itu terus berlanjut hingga Vano mendapatkan 10 cambukan di punggungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Protective family sadistic
RandomMenceritakan seorang anak laki-laki remaja berusia 17 tahun bernama Fian Aldevano, yang merasa terkekang atas sifat ayah dan ke 2 abangnya yang berbuat seenaknya serta mengatur hidupnya baik dalam hal apapun. Ia hidup berempat dalam satu rumah mewah...