Part 12

4.7K 258 10
                                    

Revan tersenyum smirk melihat keadaan adiknya yang tak sadarkan diri, ah apakah adiknya ini melihat semua yang terjadi, kita akan bermain-main sedikit nantinya dengan si kecil ini.

"Bawa saja Vano ke kamarku, aku akan memanggil dokter." usul Asta yang sedari tadi hanya diam menatap.

"Tidak."

"Apa maksudmu?" jawaban Revan membuat nya bingung, inilah yang ia tidak suka dari temannya itu, cara berbicara nya yang terlalu irit dan sulit di mengerti olehnya maupun orang lain.

"Tidak perlu, aku akan membawa adikku pulang." Hah akhirnya.

"Apa? Kenapa mendadak sekali? Kau tak ingin adikmu di periksa dulu disini?" pertanyaan beruntun Asta lontarkan sebab sebelumnya Revan berkata akan tetap disini hingga malam, ini saja belum sampai maghrib.

"Ck diamlah, kau berisik." dingin Revan dengan wajah datar hanya dibalas tatapan oleh Asta yang menampilkan wajah lempengnya.

"Menyingkir lah, kau menghalangi jalanku."

"Cih! Kenapa kau begitu menyebalkan." dengus Asta kesal.

"Bukan urusanku."

"Kurasa saat kecil kau terlalu banyak makan es batu haha." Asta tertawa garing karena lelucon yang tidak ada lucunya menurut Revan, temannya itu benar-benar prik.

Revan menatap tajam Asta lalu segera pergi meninggalkan pemuda yang masih saja menertawakan hal bodoh itu dengan Vano di gendongan nya.

"Hei tunggu!" Asta mengejar Revan yang sudah berjalan menjauh darinya, setelah keluar dari ruangan itu mereka mendapati Alzen duduk di sofa dengan menyembunyikan wajahnya di sela-sela lutut.

"Apa yang terjadi Al? Dan apa yang kau lakukan disini sendirian?" tanya Asta menatap bingung Alzen, ia menepuk pelan bahu adiknya itu namun tak ada respon sedikitpun.

Revan yang tadinya ingin pulang pun menunda niatnya itu untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi, karena jujur saja dirinya itu juga punya rasa kepo, Revan juga manusia.

Beberapa sekon telah berlalu, akhirnya Al mau mengangkat kepalanya, ia menoleh ke belakang tepat dimana abangnya berdiri, saat itu juga ia membulatkan matanya terkejut.

"Huaaa abangg!! Al kira Vano ilang anjing! Hiks..." teriak Al frustasi karena jujur ia sudah lelah mencari Vano ke seluruh penjuru mansion.

Setelah berteriak seperti itu Al berhamburan ke pelukan Asta, ia mendekap erat tubuh abangnya itu hingga Asta sedikit kesulitan untuk bernafas.

Setelah tenang, Asta memegang kedua bahu adiknya untuk meminta penjelasan.

"Jelaskan Al." pinta Asta dengan wajah datar, suasana hatinya sedikit buruk karena adiknya berkata kasar tadi, keluarga nya tak pernah mengajarkan anggota mereka untuk berucap seperti itu, apalagi dihadapan orang yang lebih tua.

Al menceritakan semua yang terjadi dengan gugup, ditambah tatapan abangnya yang seperti ingin menelannya hidup-hidup.

"T-terus itu Vano nya kenapa bang?" tanya Al gugup, astaga jika Vano kenapa-napa sudah dipastikan dirinya akan dihukum.

"Nyasar ke ruang bawah tanah, pingsan." cara bicara abangnya membuat Al bergidik.

"Hm baiklah, lalai dengan tugasmu, dan bicara kasar hukuman apa yang cocok dengan adik manisku ini?" jantung Al memompa darah lebih banyak dari sebelum nya, ia takut sumpah.

"Kau boleh pulang Revan, aku ingin mengurus anak ini." Revan mengangguk lalu pergi dari sana, ia ingin melanjutkan niatnya untuk bermain dengan adik kecilnya ini.

***

"Eunghh," Vano terbangun dari tidurnya, ia masih merasakan pusing yang teramat dikepalanya.

Vano menggelengkan kepalanya, berusaha untuk tidak memflashback ingatannya pada kejadian yang sebelumnya, dia tak ingin pusingnya berunjung semakin parah.

"Sudah bangun hm?" Vano mendelik tak suka mendengar ucapan basa-basi Revan yang sangat tak bermutu itu.

"Perbaiki tatapan mu itu Vano atau kau menginginkan sebuah hukuman?" ancam Revan karena Vano sudah mulai berani mengacuhkan nya kembali, sedangkan Vano hanya diam berusaha mengabaikan ancaman Abang nya itu.

"Ah ya, Abang punya sedikit hukuman untuk mu karena kau bersikap tidak sopan tadi." ohh Vano tau kemana arah bicara abangnya ini.

"Diam lah, Abang berisik kepalaku pusing." jawab Vano spontan, selain karena kepalanya yang sakit, Vano juga kesal dengan Revan yang tiba-tiba begitu banyak berbicara.

Jawaban Vano membuat Revan emosi, ia menatap tajam adiknya lalu mendekati Vano yang juga menatap nya tajam.

"Berani menjawab hm?" geram Revan langsung mencengkram rahang kecil adiknya hingga mulut kecil itu sedikit terbuka saking kuatnya cengkraman Revan.

Vano hanya diam, ia berusaha menahan ringisan dan tangisnya? Karena rasa sakit dari cengkraman Revan pada rahangnya sangat tak main-main.

Revan semakin emosi melihat hal itu, tanpa melepas cengkraman nya Revan menarik rambut adiknya dengan tangan yang satunya lalu menyeret tubuh ringkih itu menuju ruang hukuman.

Vano semakin tak berdaya, kepalanya terasa seperti dihantam batu besar, tarikan Revan pada rambutnya benar-benar kuat, penglihatan nya berkunang-kunang namun Vano berusaha mempertahankan kesadaran nya.

Tak peduli seberapa banyak Vano terjatuh, Revan tanpa belas kasih tetap menyeret tubuh adiknya itu, Vano yang berada diambang kesadaran nya pun kewalahan untuk mengimbangi langkah besar Revan, ia pikir Revan banyak bertindak kasar padanya hari ini.

Setelah sampai di ruangan yang Revan tuju, ia segera melempar tubuh ringkih Vano ke kursi yang selalu mereka gunakan untuk menghukum anggota keluarga mereka yang berbuat kesalahan.

Vano yang tak siap pun kaget, ia jatuh di atas kursi itu dan mengerang tertahan karena merasakan sakit di sekujur tubuhnya.

Revan mendekati Vano, ia memperbaiki posisi adiknya agar ia bisa segera bermain-main dengan adiknya itu, Revan benar-benar dikuasai oleh kabut emosi, sefatal itu kesalahan yang di buat Vano dimatanya hingga ia tega melakukan ini semua.

Vano duduk di kursi dengan tubuh terikat, mulutnya di lakban oleh Revan, Vano melihat abangnya itu mengeluarkan sebuah pisau kecil ia hanya dapat diam menatap apa yang akan Revan lakukan padanya.

Revan mulai mengukir namanya di punggung sempit adiknya menggunakan pisau kecil itu, membuat coretan abstrak di bagian tangan dan kaki Vano, sedangkan Vano hanya dapat menangis tanpa suara.

Setelah puas Revan melepas ikatan pada tubuh Vano dan juga lakban yang membekap mulut adiknya itu, ia membawa tubuh yang sudah tak berdaya itu ke gendongan koalanya, Vano pun hanya pasrah.

"Masih ingin membantah hm?" bisik Revan tepat di telinga Vano karena Vano bersandar di ceruk lehernya.

Setelah bertanya seperti itu, Revan dapat merasakan gelengan dari adiknya, Revan menyeringai iblis lalu melanjutkan langkahnya menuju ke kamarnya.

***

TBC

Bantu vote nya sayang, saya sedih sama bingung mau lanjutin cerita atau ga kalau pembaca sama votenya dikit bgt hiks srott...

Next or stop?

Bantu tandai typo yaww maacii











Protective family sadistic Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang