"Ayah, gendong...."
Deg...
Tersadar dari keterdiamannya Hendra segera mendekat ke arah sang anak, namun ia keduluan oleh anak ke duanya.
"Dengan Abang saja ya?" Tawar Revan pada Vano, anak itu tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan seperti ini.
Vano menggeleng "Gamau, Vano mau sama ayah." Rengek nya.
"Ayolah dek Abang mohon, nanti Abang berikan apapun yang kamu mau." Ia sudah rela memohon seperti ini namun yang ia dapatkan hanyalah sebuah tolakan mentah.
"Gamau Abang," sekali lagi Revan ditolak.
"Dek-"
"Gamau hiks, Vano mau sama ayah..." Vano menatap memohon pada Hendra, ia juga tidak tau kenapa dirinya jadi seperti ini.
Hendra yang sadar Vano menangis pun segera menghampiri Vano dan membawa tubuh ringkih putra bungsunya itu ke gendongan nya.
"Hiks sakit ayah," tangis Vano seraya menunjukkan tangan kirinya yang tertancap jarum infus.
"Sttt jangan menangis." Hendra mengelus lembut tangan putranya yang sedikit membengkak, mungkin karena terlalu banyak bergerak.
Vano menyembunyikan wajahnya di ceruk leher milik ayahnya, ia sedikit merasakan pusing di kepalanya namun itu tak mengehentikan kegiatannya untuk memakan permen xixixi.
Beberapa saat telah berlalu, Vano anak itu masih berada di gendongan sang ayah dengan mata sayu nya, mungkin sebentar lagi anak itu akan tertidur.
Hendra membaringkan tubuh putranya ke brankar agar putranya itu dapat tidur dengan nyaman.
"Ughh, hiks elus elus kepalanya ayah," pinta Vano kepala masih terasa sakit dan pusing, ia ingin tidur namun sakit dikepalanya sungguh menganggu.
Hendra mengelus kepala sang anak, hingga akhirnya anak itu benar-benar tertidur dengan lelap, ia membaringkan tubuhnya disamping sang anak, brankar milik Vano cukup untuk menampung 4 orang.
Waktu terus berjalan hingga mereka benar-benar tak menyadari bahwa hari sudah larut malam, Hendra menatap dua putra nya yang lain, kini sedang sibuk dengan handphone mereka masing-masing.
"Tidurlah boy." Titah Hendra pada ke dua anaknya, Gara dan Revan pun menuruti ucapan sang ayah, mereka membaringkan tubuh mereka di ranjang rumah sakit, tubuh Vano kini diapit oleh Hendra dan Revan, dengan Gara yang berada disisi sebelah kanan Revan.
~~~
"Eunghhh," Vano menggeliat gelisah dalam tidurnya, mata anak itu mulai terbuka lalu melihat ke arah jam dinding ruangan tersebut, baru pukul 02.00 pagi.
Anak itu merasakan pusing yang mendera di kepalanya, ia menatap tiga pria lainnya yang kini tidur bersamanya, benar-benar sunyi dengan keadaan gelap didalam ruangan hanya ditemani lampu kecil di dekat sofa.
"Pusing." Vano menautkan alisnya saat rasa pusing itu semakin menyakitkan, keringat dingin pun tak henti-hentinya keluar membasahi dahinya.
"Ugh, a-abang pusing hiks." Vano terisak kecil, ia sebenarnya benar-benar mengantuk dan ingin tidur kembali, namun rasa sakit ini membuat nya tidak nyaman.
Hiks
Hiks
"Abang, kepala Vano pusing hiks," Vano setia menggenggam erat rambutnya berharap rasa pusing itu pergi atau bahkan berkurang saja, namun tidak ada perubahan sedikit pun.
Revan yang sebelumnya tidur disamping Vano dengan keadaan memeluk tubuh adiknya itu terbangun karena pergerakan dari adiknya, Vano.
"Ada apa hm?" Tanya Revan lembut, sejujurnya ia juga sedang dalam keadaan berusaha mengumpulkan nyawa.
Vano menoleh ke samping, secara tiba-tiba saja anak itu memeluk erat tubuh Revan serta menyembunyikan wajahnya di dada bidang milik sang abang, membuat Revan terkejut dengan gerakan tiba-tiba dari adiknya.
"Kepala hiks Vano pusing Abang hiks," anak itu semakin terisak di pelukan hangat milik Revan, Revan mengelus punggung bergetar yang berada di dalam dekapannya saat ini, salah satu tangannya yang lain turut mengelus Surai halus milik adiknya.
"Shuttt ini Abang pijit, jangan nangis lagi, nanti makin sakit kepalanya." Ujar Revan lembut dengan tangan yang terus mengelus kepala Vano dan sesekali memijitnya, jika dibandingkan dengan Gara, sosok Abang ke duanya ini bisa di nilai lebih hangat dari pada si sulung, namun biarpun begitu, tingkat perhatian Gara boleh diacungi jempol.
Revan bangkit dari ranjang dengan Vano dalam gendongan koalanya, namun ia tak bisa bergerak terlalu jauh karena terhalang tali infus yang masih melekat di tangan adiknya.
Setelah setengah jam kemudian barulah Vano mulai tenang dari tangisnya meski terkadang isakan kecil itu masih keluar dari bibir mungil nya.
Vano menyenderkan kepalanya pada bahu tetap milik Revan, pusing di kepalanya juga sudah mulai berangsur menghilang.
Mata anak itu benar-benar sayu, antara mengantuk atau karena efek baru saja menangis, mata merah berair serta sedikit membengkak, hidung mungil namun mancung yang memerah, serta bibir mungil plum yang sedikit terbuka karena melamun membuat Revan gemas sendiri.
Cup
Satu kecupan di darat kan ke hidung mungil yang memerah milik adiknya dari Revan namun hanya dibalas kedipan polos oleh Vano, anak ini mungkin kelelahan karena menangis.
"Abang..." Panggil Vano lirih.
"Kenapa hm?"
"Lepasin ini, sakit. Vano ga nyaman tidurnya," ujar anak itu sembari menunjukkan tangannya yang terinfus, huh anak ini terus menagih ucapannya, namun bisa-bisa nya ia tidak lupa.
Revan menatap kearah botol infus yang tergantung, dan yah itu sudah kosong, Revan menuruti kemauan sang adik, ia cukup kasihan melihat adiknya ini.
Revan menekan tombol yang berada disamping ranjang rumah sakit, hingga tak lama pintu ruangan itu terbuka menampilkan Justin, dokter yang merawat Vano tadi.
Vano menatap heran ke arah Justin, bisa-bisa nya dokter ini langsung datang hanya dengan sekali tekanan tombol, apakah dokter dirumah sakit tidak pernah tidur? Hm entahlah.
"Hai adik manis, kenapa hm?" Tanya Justin lembut, membuat Vano tersenyum manis ke arah Justin, berbeda dengan Revan yang sudah menatap datar ke arah Justin, ia tidak suka jika adiknya tersenyum kepada orang lain.
"Van--"
"Lepaskan infusnya." Ucapan Vano terpotong oleh suara dingin milik Revan, Justin sedikit bergidik setelah menyadari apa yang terjadi, ia pun segera melaksanakan tugasnya.
Setelah selesai dengan drama pendek tadi Revan kembali membaringkan tubuh adiknya yang memang sudah mengantuk ke ranjang pesakitan diikuti dengan dirinya yang berbaring di samping Vano.
Revan membawa Vano ke pelukan nya lalu melanjutkan kegiatan mengelus punggung sempit milik Vano sebelum akhirnya ia ikut tenggelam dalam kegelapan menyusul sang adik ke alam mimpi.
TBC
Lanjut? Ga?
Maaf yah para pembaca kuhh kalo ceritanya gaje, but makasih udah selalu support aku, lopyuuu buat kleann.
Bantu tandai typo okeee??? Oke dongg yahh
Janlup
Vote
Komen
And followSee u next chapter papayyyy
KAMU SEDANG MEMBACA
Protective family sadistic
RandomMenceritakan seorang anak laki-laki remaja berusia 17 tahun bernama Fian Aldevano, yang merasa terkekang atas sifat ayah dan ke 2 abangnya yang berbuat seenaknya serta mengatur hidupnya baik dalam hal apapun. Ia hidup berempat dalam satu rumah mewah...