Part 5

7.5K 369 8
                                    

13.25 Vano sudah terbangun dari tidurnya, melihat kesamping namun tak mendapati siapa pun disana.

Ia bangkit dari tidurnya lalu berjalan menuju kaca.

Vano tertawa miris menatap dirinya sendiri, sungguh menjijikkan.

Vano benci dirinya, ia benci saat dirinya tak mampu menjadi sosok yang berguna bagi ibunya, sampai sang ibu meninggal pun ia tak pernah mendapatkan perhatian sedikitpun.

Menyesal? Tentu saja, ia menyesal karena telah dilahirkan, lahirnya ia menjadi pembawa sial, karena jika dirinya tidak lahir mungkin semua yang telah terjadi tidak akan pernah terjadi.

Jika saat itu orang tuanya mendapat seorang anak perempuan mungkin ibunya tidak akan pernah berselingkuh hingga pada akhirnya ibu nya harus lenyap ditangan suaminya sendiri.

Tergila-gila akan diri untuk memiliki anak perempuan membuat ibunya berpikir jika itu bukan kesalahan nya, ia menganggap bahwa Hendra lah yang mandul dan bukan dirinya yang tidak lagi mempunyai rahim.

Hal itu membuat ibunya berpikir bahwa mencari laki-laki lain akan lebih baik, namun sayangnya takdir berkata lain.

Vano menghela nafas lelah, ia bingung apa lagi tujuan untuk hidup untuk saat ini hingga nanti, akan kah dirinya harus terus-menerus terjebak dalam bayangan gelap dimasa lalu?

Ia lelah, sungguh. Bayangan itu terus menghantuinya Vano sungguh merasa bersalah atas kematian sang ibu, (padahal itu sudah ajalnya, dan bukan salah mu, ckckck).

Vano terus menatap kaca besar dihadapannya, tanpa pikir panjang ia meninju kaca tersebut hingga pecah, beruntung kamarnya kedap suara.

Dirinya menatap tangannya yang mengeluarkan darah karena kelakuan nya sendiri, lalu terkekeh kecil, tidak ada rasa sakit sedikitpun baginya.

Ia mengambil salah satu pecahan kaca yang sudah berserakan di atas lantai kamarnya itu, namun sebelum nya Vano sudah menyiapkan gelas yang berada diatas nakas.

Setelah meletakkan gelas tersebut pada posisi yang tepat, Vano segera menggores lengan kirinya hingga darah itu menetes ke dalam gelas, tak perduli dengan rasa sakit, Vano terus melanjutkan kegiatan nya hingga gelas tersebut terisi setidaknya seperempat oleh darahnya.

Ia mencelupkan telunjuk kanannya ke dalam gelas, lalu menulis kata "maaf bunda." Di atas lantai dengan keramik seputih susu itu menggunakan darahnya.

Dirasa sudah puas Vano membuang sisa darah tersebut ke wastafel dan membereskan semua kekacauan yang telah ia buat. (Sia sia g sih?)

Setelah beres Vano turun kebawah btw Vano juga baru saja selesai mandi, ia mengenakan baju lengan panjang oversize berbahan katun berwarna hitam dipadukan dengan boxer putih sebatas lutut.

Dari atas tangga Vano dapat melihat Gara yang duduk di sofa ruang keluarga dengan laptop dipangkuannya, sepertinya sedang bekerja, ah Vano tau abangnya itu pasti bekerja secara online karena dirinya bukan? Tapi Vano tak butuh itu.

Vano berjalan menuju ruang keluarga lalu duduk diatas karpet berbulu, ia mengambil remot untuk mencari chanel yang mungkin menarik baginya.

Namun kegiatan menonton nya terhenti karena suara sang abang yang memanggilnya untuk menyuruh dirinya makan, namun Vano mengabaikan nya.

"Fian Aldevano Krismantara, Makan makanan mu atau Abang sendiri yang akan membuatmu memakannya." Perintah Gara penuh dengan penekanan.

Vano menatap nasi dihadapannya tanpa minat, ia sama sekali tidak lapar, kenapa abangnya ini begitu memaksa.

"Aku tidak lapar." Gara mengeraskan rahangnya mendengar ucapan sang adik, ia membuka paksa mulut Vano dengan cara mengapit kedua pipi adiknya ini lalu menyuapkan nasi tersebut secara paksa juga.

Sakit, cengkraman abangnya tidak main-main, Vano ingin memuntahkan nasi yang masuk ke mulutnya, namun Gara dengan cepat membekap mulut adiknya.

Hal tersebut terus berulang hingga nasi itu habis, Vano menatap benci ke arah Gara dengan mata yang memerah dan berair, sungguh, pipi, mulut, dan rahangnya benar-benar sakit, perutnya juga mual karena terus dipaksa makan.

"Itu akibat nya jika kau tidak menurut." Perkataan Gara semakin membuat Vano geram, namun karena malas Vano lebih memilih diam meski dengan emosi yang tertahan.

Keadaan hening untuk sementara waktu, namun perhatian Gara tertuju pada Vano yang terus mencoba mengipasi dirinya, adiknya itu terus mengeluarkan keringat, gara menaikan suhu AC namun hal itu tak membantu.

Gara mendekati Vano, ia mencoba melepaskan baju sang adik berharap Vano tidak kepanasan lagi, namun saat ia mencoba menarik lengan baju Vano, Vano malah meringis.

Gara menatap tiga luka sayatan yang cukup dalam di lengan adiknya, pandangannya menggelap menatap Vano yang kini juga menatapnya sendu.

"P-panas Abang." Gara mengecek suhu tubuh Vano. Panas, itu yang pertama kali Gara rasakan, bahkan sangat panas.

Gara segera menggendong Vano menuju mobil untuk kerumah sakit, ia memacu mobilnya dengan kecepatan penuh agar segera sampai kerumah sakit dengan Vano dipangkuannya, susah? Tentu saja tidak.

Setelah sampai tanpa menunggu lama Vano segera mendapat penangan oleh pihak rumah sakit, para perawat pun langsung gerak cepat setelah melihat siapa yang datang, salah satu anak seorang pengusaha serta penguasa kekayaan dari berbagai belahan negara atau mungkin dunia.

Gara menunggu diluar setelah mengabari ayah dan adik pertamanya, hingga tak lama kemudian dokter yang menangani Vano pun keluar.

"Bagaimana dengan keadaan adikku?!" Bentak Gara.

"Adik anda mengalami demam tinggi, tapi kami sudah menangani nya, namun ada yang ingin saya tanyakan sedikit mengenai tuan muda Vano, sebelum itu boleh ikut ke ruangan saya dulu sebentar tuan?"

Gara mengikuti dokter muda tersebut ke ruangan nya, sesampainya disana tanpa basa basi Gara segera menanyakan apa yang terjadi.

"Begini...."

TBC

Lanjut? Gak?

Janlup
Vote
Komen
And
Follow

Bantu tandai typo, sorry jga klo cerita agak aneh/Gj, boleh jg kasih referensi nya jg kok>3

Protective family sadistic Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang