Keraguan dan Percaya Diri

4 1 0
                                    

Semenjak keadaannya membaik, Xeian menjadi semakin giat berlatih. Terlebih saat Luoin mengajarinya sebuah teknik berpedang yang baru. Selama lima ratus tahun, Xeian mengasingkan dirinya di sebuah gua dan hanya melatih teknik berpedang dari gurunya, juga melatih kemampuan memanahnya. Sehingga, saat diajarkan teknik yang baru, dia menjadi sangat bersemangat.

"Bagaimana kau menguasainya?" Luoin menghampiri Xeian sembari membawa dua buah bakpao di tangannya.

"Kemarilah," panggil Luoin.

Xeian menghentikan latihannya, setelah memasukan pedangnya dia menghampiri Luoin dan menerima bakpao yang pria itu sodorkan.

"Sudah tiga bulan aku berlatih, tentu saja aku menguasainya," ucap Xeian bangga.

"Benarkah, tetapi kulihat kuda-kudamu belum begitu stabil. Ayunan tanganmu pun masih terkesan buru-buru."

Xeian yang sedang memakan bakpao mengalihkan perhatiannya. "Jujur saja, teknik darimu memang cukup sulit. Kuda-kudanya tidak cocok denganku."

Luoin menghabiskan bakpaonya lebih dulu. "Kali ini aku akan melatihmu bertarung dengan tangan kosong. Kau sangat kaku, aku khawatir tanpa pedang kau bahkan tak bisa mengalahkan hantu dengan pangkat terendah."

Xeian mengepalkan tangannya. Mendengar ucapan Luoin ada rasa tak nyaman dalam dirinya. Xeian memang tidak pernah bertarung dengan kosong, tetapi itu bukan berati dirinya selemah itu hingga tidak bisa mengalahkan hantu dengan tingkatan rendah.

Tiga bulan lalu, saat siuman Xeian menceritakan tentang dirinya saat di markas pembunuh itu, termasuk pertarungannya dengan si pemimpin. Luoin tidak terkejut saat Xeian memberitahu jika pimpinan itu adalah sesosok hantu. Saat itu Luoin hanya menjawab, "Aku tahu, dia adalah Hantu kematian. Salah satu dari tiga kaki tangan raja hantu, dan yang membawamu ke markas adalah Hantu kutukan dia termasuk dari sepuluh hantu terkuat di bawah kaki tangan raja hantu."

Mendengar hal itu Xeian tidak terkejut gurunya mengetahui identitas para hantu itu. Bagaimana pun, gurunya adalah tuan serba tahu.

"Ikuti gerakanku."

Xeian kembali berlatih bersama dengan Luoin. Setelah cukup lama berlatih akhirnya Luoin memutuskan untuk berhenti.

"Bersiaplah, kita akan segera pergi dari sini. Tiga bulan harusnya sudah cukup untuk memastikan bahwa kota ini sudah aman."

Xeian mengatur napasnya dan mendudukan diri di sebuah kursi tempat Luoin menyaksikan dirinya berlatih.

"Selanjutnya kita akan ke mana?" tanya Xeian sembari menyeka keringatnya.

"Ke rumahku. Mendadak aku ingin pulang," jawab Luoin tenang setelah meneguk secangkir minuman.

"Kau memiliki rumah?"

Mendengar pertanyaan itu Luoin terkekeh, lalu menjitak pelan kening Xeian. "Tentu saja. Sejauh apa pun seseorang pergi, pasti memiliki tempat untuk pulang. Begitu juga aku."

Xeian hanya diam, membuat Luoin menatapnya heran. "Ah, tempat pulang tidak selamanya tempat kau dilahirkan. Seperti aku, tempatku pulang adalah tempat aku merasa nyaman. Karena nyaman aku memutuskan untuk tinggal di sana."

"Aku tidak memilikinya. Aku menghabiskan waktu di gua, berlatih ilmu beladiri bertahun-tahun, meski lama tinggal di sana aku tak merasa nyaman dan tak ingin kembali ke sana."

Luoin mengangguk seolah mengerti perasaan pemuda di sampingnya. "Dengar, tempat di mana seseorang menunggumu pulang, di sanalah rumahmu. Kau bisa menganggap rumahku sebagai rumahmu."

"Mengapa?"

"Karena aku adalah orang yang akan selalu menunggumu untuk pulang. Bahkan, jika aku tak ada di rumah pun. Aku senang jika mendengarmu pulang."

"Aku tak mengerti." Xeian kembali menuangkan air dalam teko ke cangkirnya, tak lupa mengisi cangkir kosong Luoin.

"Nanti kau akan mengerti. Sudah, segeralah berkemas."

Luoin yang hendak bangkit tertahan, oleh Xeian yang memanggilnya.

"Guru. Tidak, Luoin. Menurutmu apa aku bisa mengalahkan raja hantu?"

Luoin kembali mendudukkan diri. Dia menatap Xeian serius. Berpikir sebentar, memilih kata yang menurutnya cocok. Bagaimana pun dendam adalah hal yang pribadi, dia tak ingin menyinggung pemuda itu.

"Tentu saja. Apa kau ragu?"

"Tidak. Mmm, mungkin sedikit," sanggah Xeian. "Saat kau mengatakan jika Hantu kematian itu salah satu kaki tangan raja hantu dan aku tak bisa mengalahkannya, aku hanya sedikit merasa ... hanya sedikit saja, sedikit ragu tak bisa mengalahkannya."

Luoin mengernyitkan dahi. "Lalu? Kau akan melupakan balas dendammu? Ada apa denganmu?"

Xeian menatap Luoin galak. "Tidak begitu! Aku ingin kau segera melatihku banyak teknik beladiri dan ilmu yang berguna. Kau pikir saja, jika aku kalah oleh kaki tangannya, bagaimana bisa aku mengalahkannya yang mungkin dua atau tiga kali lipat lebih kuat dari kaki tangannya itu. Dengan kemampuanku yang sekarang, aku benar-benar tak memiliki kepercayaan diri. Karena itulah—"

"Aku mengerti. Persiapkan dirimu. Aku pasti akan mengajarimu banyak hal, tetapi aku tak ingin terburu-buru. Xeian, menurutmu sekuat apa musuhmu itu?"

"Yang pasti lebih kuat dari pada diriku," jawab Xeian cepat.

"Memang, dibanding dirimu yang sekarang. Kau akan mati kurang dari satu menit saat melawannya, tetapi mungkin kau lupa, maka akan aku ingatkan kembali, jika kau berhasil mengalahkanku, maka kau pasti bisa mengalahkan musuhmu itu."

Xeian menunduk. Dia tidak tahu, sekuat apa orang yang menjadi gurunya itu. Namun, jika benar Hantu kematian dikalahkan olehnya, sudah pasti dia memang orang yang kuat.

"Benarkah? Aku ingin tahu, jika kau bertarung dengan raja hantu itu siapa yang akan menang?"

Luoin tidak langsung menjawab. Keterdiamannya membuat Xeian menebak jika gurunya pun pasti tak mampu mengalahkan raja hantu itu. Sosok yang membantai satu negeri dalam satu malam, sudah jelas sekali sekuat apa makhluk mengerikan itu.

"Tak ada yang menang dan tak ada yang kalah. Bisa dikatakan seimbang, mungkin? Namun, jika harus mengalahkan raja hantu sekarang, itu sangatlah mudah. Kurasa."

Kisah XeianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang