Hal 09| Sakit
🍂🍂🍂
Diruangan yang sunyi dan sepi, bunyi pulpen terbuka dan ditutup menggema diseluruh ruangan. Sesosok yang duduk dikursi kebesarannya menatap lurus kedepan dengan tatapan kosong. Otaknya sedang dalam kekalutan karena kejadian tadi pagi.
Dia tidak menyangka akan melakukan itu dengan orang yang baru dinikahinya kurang lebih tiga bulan yang lalu. Tidak ada yang salah dengan hal itu, hanya saja dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menyentuh perempuan itu sedikitpun. Bagaimana bisa dia kehilangan kendali dan melakukan hal itu padanya.
Tok! Tok!
"Bos!"
Lamunan Magan buyar ketika pintu didorong terbuka dan Dendy muncul dari balik pintu. "Sudah saatnya untuk meeting."
"Dimana file yang ku minta tadi pagi?"
"Saya sudah mengirimkannya satu jam yang lalu."
Magan membuka komputer dan memeriksanya. Benar saja, file itu sudah dikirim padanya sejak satu jam yang lalu, namun dia terlalu linglung untuk fokus bekerja.
"Para investor nya sudah datang?" Magan bangkit dari kursi sambil mengenakan jasnya yang sempat ia lepas dua jam yang lalu.
"Mereka baru saja di jemput oleh Pak Nugra di loby."
"Baik."
Magan dan Dendy hendak berjalan keluar ketika tiba-tiba ponselnya diatas meja berdering. Magan menyuruh Dendy untuk pergi terlebih dulu karena dia harus menjawab telepon. Ada panggilan telepon dari rumah, meskipun Magan tidak ingin menjawab, namun dia sedikit penasaran dengan apa yang akan dilakukan gadis itu lagi hari ini.
"Ada apa?" Tanya Magan setelah ponsel itu menempel ditelinganya.
"Tuan, ini Bibi."
"Um, ada apa? Perempuan itu berbuat ulah lagi?"
Suara Bibi terdengar ragu sejenak, dia memberitahu, "Tuan, Neng Nola sedang sakit. Badannya panas sekali dan dia menggigil sejak tadi pagi. Bibi sudah mengompresnya dengan air hangat tapi panasnya tidak juga turun."
"Kalau begitu akan saya panggilkan dokter."
"Baik, Tuan."
Setelah Bibi menelepon, dia kembali ke lantai atas untuk melihat keadaan Enola. Perempuan itu terbaring lemah dengan selimut menyelimuti seluruh tubuhnya. Handuk kecil masih menempel didahinya dan wajahnya pucat pasi, bahkan bibirnya gemetar karena kedinginan. Begitu dia mendengar seseorang masuk, Enola memaksakan dirinya untuk membuka kelopak matanya. Dalam pandangan yang kabur, Enola melihat sesosok itu mendekat dan duduk disisi tempat tidurnya. Tangan tua itu kembali memeras air dengan handuk dan meletakkannya di dahi Enola.
"Bibi sudah menelepon Tuan Magan, dia akan menelepon dokter." Kata Bibi memberitahu.
"Dimana Mas Magan?" Tanya Enola dengan suara paraunya.
"Tuan sedang sibuk, mungkin tidak akan pulang. Tapi dia akan menelepon dokter."
Enola tidak menginginkan dokter. Yang dia inginkan adalah Magan disamping untuk menjaganya. Apa yang telah dilakukan padanya malam itu memang membuat Enola merasa sakit dihati dan fisiknya, namun dia tidak menyalahkan Magan sepenuhnya karena kegilaan pemuda itu. Yah, anggaplah Enola mulai tidak waras karena memaafkan apa yang Magan lakukan padanya. Tapi sebagai seorang istri, memang sudah tugasnya melayani sang suami. Apalagi selama mereka menikah, mereka belum pernah melakukan hubungan suami-istri.
Tapi yang tidak bisa Enola terima adalah suaminya mabuk. Enola ingin bertanya pada suaminya apa yang membuat Magan menyentuh minuman keras seperti tadi malam, apakah Magan depresi karena pekerjaan atau hal lain. Enola bisa menjadi teman curhatnya dan Magan bisa menceritakan apapun yang membuatnya frustasi, dan dia berharap Magan tidak menyentuh minuman seperti itu untuk melampiaskan kefrustasiannya.
Hari sudah menjelang sore saat Magan pulang. Dia tidak fokus selama bekerja, ada saatnya dia melamun bahkan ditegur oleh beberapa petinggi ketika mereka sedang meeting. Dokter suruhannya sudah datang sejak tadi siang, dan dia juga menelepon Magan untuk mengabari kondisi Enola. Dokter menyarankan agar Enola dibawa kerumah sakit karena demamnya terlalu parah namun Magan menolak untuk melakukan itu. Dia meminta dokter untuk memberikan berbagai macam obat atau membelikannya peralatan lengkap agar Enola bisa dirawat dirumah.
Dokter tahu Magan tidak bisa diajak berkompromi akhirnya dia memutuskan untuk menulis permohonan kerumah sakit agar bisa mengambil peralatan lengkap dan merawat pasien dirumah. Dia sangat sibuk siang itu bahkan harus bolak-balik beberapa kali untuk menyelesaikan urusannya. Bibi menyiapkan makanan untuk dokter dan membantunya dibelakang. Setelah dokter pulang, barulah lima menit kemudian Magan tiba dirumah.
"Bagaimana kondisinya?" Tanya Magan saat dia memasuki kamar dan melihat Bibi baru saja menggantikan pakaian serta seprai baru agar Enola tidur dengan nyaman. Disamping tempat tidur terdapat tiang infus yang langsung terhubung dengan tangan Enola. Magan menatap setetes demi setetes air mengalir masuk kedalam tangan istrinya.
"Neng Nola sudah sedikit lebih baik. Demamnya juga sudah turun."
"Apa dia sudah makan?"
Bibi mengangguk, "Neng Nola baru selesai makan dan minum obat. Kini dia sedang tidur mungkin efek dari obat."
"Um, kalau begitu tolong siapkan makan malam untuk saya."
"Baik, Tuan. Kalau begitu Bibi permisi."
Magan mengangguk. Setelah kepergian Bibi, Magan menutup pintu dan berjalan mendekati Enola yang tengah tertidur nyenyak diatas tempat tidur. Dahinya berpeluh, wajahnya pucat pasi, bahkan bibirnya yang merah merona itu terkelupas karena kering. Magan duduk disisi tempat tidur, dia memandangi Enola selama beberapa saat sebelum merebahkan kepalanya ke dada perempuan itu dan memejamkan matanya untuk mendengar detak jantung Enola yang berdetak sedikit tidak normal. Mungkin karena dia sedang sakit, jadi detak jantungnya berdetak dua kali lebih cepat.
"Mas Magan," tangan Enola bergerak dibawah wajahnya. Suara serak Enola terdengar sayup-sayup ditelinganya.
Tubuh Magan menegang sejenak sebelum perlahan mengangkat tubuhnya dan menjaga jarak dengan perempuan itu. Mata Enola terbuka, dia menatap sesosok bayangan kabur dengan menggunakan intuisi. "Mas Magan ... sakit." Lirihnya dengan nada yang menyedihkan.
Suara ini sudah Magan dengar sejak malam itu, Enola sudah memohon padanya beberapa kali agar Magan berhenti. Dia terus berkata sakit namun Magan terlalu gila untuk berhenti.
"Um, kalau sakit, istirahat dan minum obatmu dengan teratur. Jangan sakit terlalu lama karena saya tidak mau tidur dengan pasien." Jawab Magan acuh.
"Saya akan sembuh."
"Kalau begitu istirahat, jangan buat masalah." Setelah mengatakan itu, Magan bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Sementara itu Enola kembali menutup kelopak matanya dengan mengantuk dan kembali tertidur pulas.
__________
Buat yang tanya kenapa alurnya kepotong-potong, banyak yang di skip atau apalah itu. Diawal cerita, saya memang sengaja ngasih cuplikan angstnya guys dan kepotong-potong. Karena titik fokus saya bukan pada alur yang sekarang. Jadi, jangan bosan sama cerita ini ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Kembalikan Cintaku S1 END
Любовные романыEnola tidak menyangka dihari kelulusannya, ia didatangi oleh laki-laki asing yang mengaku-ngaku telah mengenal Enola cukup baik. Dengan penuh keberanian, menemui kedua orang tuanya dan melamarnya dihari yang sama. Enola tidak pernah mencurigai apap...