Bagian 12

206 13 2
                                    

Hal 12| Merawatnya

🌻🌻🌻

Terhitung sudah dua hari Magan tidak pulang ke rumah. Enola merasa gelisah, dia mondar-mandir hanya untuk menunggu telepon dari Magan. Bahkan berulang kali menanyakan kepada pembantu dan pengawalnya apakah Magan menghubungi mereka atau tidak. Namun sayangnya Magan seolah tidak memiliki waktu untuk menghubungi siapapun di rumah ini sejak dia meninggalkan rumah hari itu.

Tiba-tiba Enola mulai mencurigai foto-foto yang dilihatnya tempo hari. Magan bergandengan tangan dengan seorang perempuan, mereka tersenyum bahagia bahkan Magan yang tidak pernah tersenyum sedikitpun padanya terlihat sangat bahagia di foto itu.

Selain itu, Enola juga menemukan sebuah cincin permata yang berada di laci yang sama saat dia menggeledah didalamnya. Melihat betapa berkilaunya cincin mahal itu, bahkan terdapat nama Magan yang di ukir indah di dalamnya, Enola menebak harganya pasti sangat mahal. Dilihat dari ukuran, Enola bisa menebak bahwa cincin itu bukan milik suaminya karena lingkar jemari Magan terlalu besar untuk ukuran cincin sekecil ini, bahkan itu lebih kecil dari jemari Enola. Pemiliknya mungkin saja memiliki jari yang cantik dan ramping sehingga jika cincin itu dikenakan, pasti sangat cantik ditangannya.

"Nyonya, makan siang." Bibi Dina mengetuk pintu dari luar memanggil.

Enola menyahut dari dalam sebelum akhirnya turun dari sofa dan berjalan turun dengan segera. Saat kakinya akan mencapai tangga terakhir, dia mendengar deru mobil memasuki perkarangan. Menyadari kepulangan suaminya, Enola bergegas mengintip melalui jendela untuk melihat mobil yang beberapa hari tidak disini, tiba-tiba berhenti didepan rumah. Tidak lama setelah itu, sesosok dibaliknya segera turun dari pintu belakang dibantu oleh sang asisten. Magan telah kembali.

Langkahnya terburu-buru saat ia bergetas keluar untuk menyambut kepulangan sang suami. Pengawal yang berjaga di depan teras dengan sopan membungkuk hormat.

Dengan cepat Enola bergegas keluar dari rumah untuk menyambut kepulangan suaminya. Beberapa pengawal berdiri didepan teras dan membungkuk sopan. Dahi Enola berkerut, langkahnya memelan ketika dia dengan jelas melihat Magan tampak kuyu dan lemah berjalan dengan cara dipapah oleh asisten.

"Mas," Enola memanggil lembut ketika dengan cepat menghampiri sang suami melingkarkan lengannya yang lain di leher perempuan itu. "Tubuhnya sangat panas, apa dia demam?"

Wajahnya pucat, dia terlihat kuyu, namun keringat membasahi seluruh tubuhnya sehingga dia merasa tidak nyaman dimana-mana.

"Tuan demam sejak pagi tadi, tapi beliau menolak pergi kerumah sakit karena ingin segera pulang." Jelas sang asisten sambil berjalan masuk membawa Magan

"Nyonya, biarkan kami membantu." Para pengawal berinisiatif saat melihat asisten dan Enola kesulitan membawa orang yang tubuhnya lebih tinggi dari mereka berdua.

Magan dibawa dengan cepat menuju ke kamar, dia dibaringkan diatas ranjang. Enola tidak banyak berpikir saat dia melepaskan kancing kemeja sang suami dan mengelap tubuhnya yang basah oleh keringat dengan air yang dibawa oleh pembantu. Mereka ditinggalkan berdua, membiarkan Enola merawat suaminya yang sakit karena memang itu tugasnya.

Setelah berganti pakaian, dokter dipanggilkan dengan segera.

Suhu tubuhnya meningkat menjadi 39,5° Celcius, dokter memberikan suntikan juga menghubungkan infus ditangannya. Enola berdiri disamping dengan sedikit cemas. Ini adalah kali pertama bagi Enola melihat Magan sakit setelah lama menikah dengannya. Ada banyak hal yang berkecamuk dikepalanya, namun Enola tidak bisa menjadi tidak sabar. Setelah pemeriksaan, dokter tidak banyak bicara. Dia mengatakan bahwa Magan akan baik-baik saja setelah panasnya turun. Dia memberikan resep obat dan beberapa suplemen kesehatan, tak lama setelah itu sang dokter segera berlalu pergi tanpa banyak bicara.

Enola minta dibuatkan bubur kepada para pembantunya, lalu menaruh suplemen di dalam laci sebelum memperhatikan ekspresi tidur Magan yang begitu tenang dan terlihat nyenyak. Raut aslinya terlihat sangat menenangkan dibanding ketika Magan bangun. Meski tidak tersenyum, namun ekspresi tegangnya yang rileks membuat dia terlihat lebih tampan. Dia bahkan lebih tampan jika tersenyum walau sedikit. Tapi entah bagaimana dia menyinggung perasaan laki-laki ini, sehingga Magan selalu mengerutkan kening dan bersitegang dengannya setiap kali dia tidak puas.

Dia sangat berharap Magan mau sedikit berbaik hati kepadanya dan memperlakukannya seperti seorang istri bukan seperti barang yang ia beli karena ia suka lalu menyimpannya di lemari kaca tanpa disentuh atau dilirik.

*

*

"Mas Magan, Mas, bangun." Enola menguncang lengan Magan pelan, mencoba membangunkan Magan untuk makan dan minum obat.

Bulu mata panjang milik Magan bergerak. Tubuhnya bergerak tidak nyaman dan beberapa detik kemudian kelopak matanya terbuka. Dia masih beradaptasi dengan cahaya dari luar dan berkedip untuk memperjelaskan penglihatannya saat suara Enola kembali bergema.

"Mas, ayo bangun dulu. Mas harus makan dan minum obat."

Magan memandang Enola dengan pupil mata yang membesar. Sementara itu Enola tidak memperhatikan kejanggalan, dia meraih mangkuk bubur diatas nakas saat tiba-tiba Magan dengan cepat memeluk tubuh Enola membuat Enola yang tidak siap dengan tindakan Magan tiba-tiba membeku ditempat.

"Jangan pergi," lirih Magan dengan suara serak.

Mata Enola membelalak. Dia tidak menyangka Magan akan memeluknya dengan pelukan hangat dan lembut tanpa paksaan. Sudah berapa lama mereka menikah, Magan belum pernah berbicara dengannya selembut dan seputus-asa seperti yang ia dengar barusan.

Mereka berpelukan selama beberapa menit sebelum dengan lembut Enola mendorong tubuh suaminya dan menyandarkan punggungnya dikepala ranjang. Ketika sesendok bubur menyentuh bibirnya, Magan dengan patuh membuka mulutnya dan makan bubur yang Enola berikan padanya sampai habis. Setelah minum obat, Magan merasakan efek samping dan mulai menguap karena mengantuk.

Enola mencoba melepaskan tangannya dari cengkeraman Magan dan membiarkannya tidur, namun laki-laki itu terus memegang tangannya dengan erat seolah tak ingin membiarkan Enola pergi. Dan mau tak mau Enola menemani Magan sampai suaminya tertidur dengan pulas.

Enola merasakan detak jantungnya berdebar tidak karuan sejak Magan memeluknya dengan lembut tanpa paksaan. Itu adalah pelukan ternyaman yang pernah Enola rasakan sejak mereka menikah. Dia bertanya-tanya apakah karakter utama Magan adalah karakter yang membuat Enola merasa nyaman? Dan jika benar begitu, maka Enola berharap karakter seperti ini akan terus melekat pada Magan bahkan ketika dia sudah pulih. Semoga saja.

****

Kembalikan Cintaku S1 ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang