Note: Dibawah ini terdapat unsur kekerasaan. Untuk para readers dibawah umur, diharap bijak menanggapi cerita dibawah ini.
______
Hal 03| Murka
🍂🍂🍂
Malam itu saat semua orang sudah tidur, Enola mengendap-ngendap ke halaman belakang. Tangannya sudah memegang kunci yang ia ambil ditempat penyimpanan kunci sebelumnya. Seperti seorang pencuri, dia berjalan perlahan menuju ke pintu ganda dengan penerangan seadanya dari rembulan yang memantul dipermukaan kolam.
Enola tahu perbuatannya ini dosa. Dia hanya ingin menuntaskan rasa penasarannya diruangan itu. Dia berjanji akan melihatnya sekali dari luar, setelah itu dia akan menguncinya dan kembali tidur. Hanya sebentar.
Setelah berhenti didepan pintu, Enola menatap pintu yang berukiran itu dengan sedikit kebimbangan dihatinya. Ada gejolak keraguan yang ia rasakan selama beberapa detik. Dia tidak ingin melakukan ini jika saja Magan memberi sedikit kelonggaran baginya untuk melihat ke dalam sebentar. Lagipula jika tidak ada rahasia, mengapa Magan tidak memperbolehkannya masuk. Ini sudah lebih dari dua bulan dan Enola memiliki hasrat yang kuat untuk membuka pintu ini dan melihat rahasia apa yang disembunyikan oleh suaminya.
Memejamkan mata, Enola menarik dan menghembuskan napasnya berulang kali untuk menenangkan diri. Dia begitu gugup sampai merasa keringat mulai membasahi tubuhnya. Setelah merasa sedikit lebih tenang, Enola mulai memasukkan kunci ke dalam lubang. Dan baru saja dia akan memutar kunci pada lubang saat tiba-tiba;
"Berhenti!"
Tubuh Enola kaku, dia tidak berani bergerak bahkan lupa bernapas karena ketakutan. Suara langkah kaki yang kuat mendekatinya, hanya dalam hitungan detik tubuhnya didorong kesamping membuat Enola yang tidak siap, terhuyung beberapa langkah kesamping.
Magan dengan cepat mengunci pintu itu kembali dan mengantongi kunci tersebut disakunya. Dia menoleh, menatap tajam ke arah Enola yang berdiri kaku ditempat.
"Kamu! Berani sekali kamu memasuki kawasan larangan saya! Berapa kali saya peringatkan untuk menjauhi ruangan ini, apa kamu tidak mengerti bahasa manusia?!" Bentak Magan berapi-api.
Enola tersentak. Suara Magan meninggi dengan cara yang mengerikan. Ditengah malam yang sepi dan hening ini, angin dingin bertiup sepoi-sepoi. Enola merasakan seluruh tubuhnya menggigil kedinginan. Entah karena udara, atau karena tatapan tajam dan ekspresi dingin yang Magan tujukan padanya untuk pertama kali.
"Sekarang, apalagi alasanmu, huh?!"
"Ma-maaf," Enola mencicit ketakutan. Namun dia masih berusaha untuk menjelaskan. "S-saya tidak bermaksud untuk masuk kedalam ruangan itu. Saya cumaㅡ"
Enola belum menyelesaikan kalimatnya ketika Magan tiba-tiba mencengkeram kedua pipinya membuat gadis itu mau tak mau mendongakkan kepalanya menatap mata Magan yang berapi-api.
"Alasan apapun yang ingin kamu jelaskan, saya tidak butuh. Kamu sudah ketahuan mencoba masuk kedalam ruangan ini diam-diam, dan sekarang kamu akan tahu akibatnya!" Magan menggertakkan giginya dengan kejam mencengkeram pipi Enola dengan kuat.
Enola merasakan sedikit kesedihan mendengar kata-kata itu. Tatapan Magan terlihat berbeda ketika dia menjadi sangat marah. Enola seolah tidak mengenal suaminya saat ini, Magan yang biasanya bersikap acuh dan hanya memperingatinya kini memperlakukannya dengan sangat kejam. Sepasang mata phoniexnya menyiratkan kebencian yang teramat, seolah perempuan didepannya adalah musuh lama.
Enola merasakan rahangnya menjadi sakit. Tulang-tulangnya bisa saja patah jika Magan tidak melepaskan tangannya. Sudut matanya memerah, pupil matanya yang gelap tertutup kabut. Perlahan, setetes demi setetes air dibalik pelupuk mata Enola jatuh bercucuran. Dia berusaha meminta maaf dengan suara yang tidak jelas. Namun Magan belum puas dengan perlakuannya terhadap Enola. Dia mendorong wajah perempuan itu kasar sebelum dengan kasar menyeret Enola dengan paksa masuk kedalam rumah.
Magan sengaja menulikan telinga saat Enola meraung dengan menyedihkan, sepanjang menuju ke lantai atas dia memohon ampunan kepada Magan. Magan tidak peduli. Kali ini dia benar-benar tidak akan memberi keringanan sehingga gadis itu tahu tempatnya.
Pintu kamar dikunci dari dalam, suara pecutan serta rintihan menyedihkan terdengar bergema didalam sana. Ditengah kesunyian tersebut, Enola merasa separuh jiwanya melayang pergi. Magan mengamuk sejadi-jadinya dan menyiksa dirinya dengan kejam. Enola menangis sepanjang malam, dia tidak henti-hentinya memohon untuk berhenti. Namun Magan semakin menyiksanya sampai laki-laki itu puas.
Keesokannya, Magan sarapan seperti biasa. Namun kali ini dia tidak ditemani Enola. Bibi mendengar pertengkaran suami istri semalam, jadi dia tahu apa yang terjadi.
"Obati dia, dan jangan lupa bawakan makanan untuknya. Kalau dia tidak ingin makan, segera laporkan kepada saya." Ujar Magan sebelum berlalu pergi setelah menyelesaikan sarapannya.
Bibi memegang kotak obat-obatan ditangannya saat dia naik ke lantai atas. Berdiri dengan ragu didepan pintu selama beberapa saat sebelum memberanikan diri untuk mengetuk pintu dan memutar ganggang pintu. Begitu pintu terbuka, dia melihat gundukan selimut diatas ranjang tengah tertidur lelap dengan rambut terurai acak-acakan. Kedua tangan yang berada diatas selimut memiliki bekas tali pinggang disepanjang lengannya. Bibi tahu, tak hanya lengan, bahkan mungkin tubuh Enola menjadi korban.
Bibi merasa iba dengan keadaan gadis itu sekarang. Magan benar-benar mengerikan saat sedang marah.
Bibi duduk disisi ranjang, Enola yang tengah tertidur tiba-tiba membuka kelopak matanya dengan was-was. Begitu melihat Bibi, tubuhnya yang tegang segera mengendur. Dan tanpa terasa matanya untuk sekian kali berembun. Dia dengan susah payah untuk duduk, gerakan kecil itu membuat seluruh penderitaannya semalam kembali terulang. Enola merasa seluruh tubuhnya remuk, dia tidak menduga bahwa penyiksaan yang Magan lakukan semalam benar-benar mengerikan.
"Neng Nola, bangunlah perlahan." Bibi meletakkan bantal dikepala ranjang, mendorong tuhuh Enola pelan kebelakang untuk bersandar.
"Sa..kit." Lirih Enola hampir tidak terdengar karena suaranya hilang setelah berteriak semalaman karena rasa sakit.
"Bibi obati ya?" Bibi meminta izin, mengeluarkan antiseptik dan kapas dari dalam kotak. Perempuan paruh baya itu menekan bekas luka itu dengan lembut.
Enola tidak tahan, dia meringis saat Bibi tengah mengobati luka lebamnya. Dia mengendus ketika air mata kembali jatuh. Rasa sakit ditubuhnya perlahan menyerap kedalam hati. Dia tidak menyangka akan mengalami kekerasan sedemikian rupa oleh laki-laki yang baru saja menikahinya kurang lebih dua bulan. Hatinya menjadi sakit, namun Enola tidak bisa menyalahkan Magan sepenuhnya karena sebagian dari kesalahan itu berasal dari dirinya. Karena rasa penasarannya, dia membuat Magan murka. Seharusnya dia mendengarkan kata-kata Magan dan bukan melanggar perintahnya hanya dengan alibi penasaran.
"Sebaiknya Neng Nola berpura-pura untuk tidak peduli dengan apa yang Tuan Magan lakukan. Jika Tuan Magan melarang sesuatu, sebaiknya Neng Nola sebisa mungkin untuk menghindar. Tempramennya sangat buruk, Bibi hanya ingin memperingati Neng Nola dan berharap kejadian seperti ini tidak terulang." Peringat Bibi dengan nada lembut, sembari mengolesi antiseptik.
Enola tidak menyahut. Namun dia mendengarkan dengan patuh. Cukup sekali dia merasakan amukan dari Magan. Dia tidak ingin membuat laki-laki itu murka untuk kedua kali.
Setelah mengobati Enola, Bibi bangkit dari ranjang sambil memberes-bereskan obat-obatan kedalam kotak. "Bibi akan membawakan makanan untuk Neng Nola. Walaupun saat ini Neng Nola tidak ingin makan, tapi Tuan sudah memperingatkan Bibi untuk membuat Neng Nola makan. Atau kalau tidak, hanya Neng Nola yang tahu apa yang akan Tuan Magan lakukan."
Setelah mengatakan itu, Bibi bergegas keluar. Enola duduk bersandar dikepala ranjang dengan air mata yang lagi-lagi meluncur dari balik pelupuk matanya.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Kembalikan Cintaku S1 END
RomanceEnola tidak menyangka dihari kelulusannya, ia didatangi oleh laki-laki asing yang mengaku-ngaku telah mengenal Enola cukup baik. Dengan penuh keberanian, menemui kedua orang tuanya dan melamarnya dihari yang sama. Enola tidak pernah mencurigai apap...