17. visit

109 16 4
                                    



selamat buka!! happy reading 💗


bau karbol menelisik indra penciuman meilia, bau yang ia sukai sejak masih kecil. bukan karena enak, tapi karena bau ini biasa berada di tempat kerja impiannya. meski menteri kesehatan mengeluarkan pernyataan bahwa rumah sakit yang baik itu bebas karbol, karbol tetap diperlukan untuk meminimalisir pertumbuhan kuman di rumah sakit yang dapat menyebabkan infeksi nosokomial apabila tidak dikendalikan. itulah yang meilia ketahui.

jean dan meilia tengah duduk dikursi tunggu pasien, sementara mahesa dan ayahnya sedang berbicara dengan resepsionis rumah sakit. mereka juga harus menyetor sejumlah uang untuk perpanjangan rawat inap, hal ini belum ditambah uang untuk biaya operasi dan makananan sehari-hari.

jean mengerling pada tempat resepsionis, ia sedang mengkalkulasikan semuanya. hatinya tergerak untuk membantu biaya pengobatan ibu meilia. tapi tidak mungkin ia melakukannya di depan keluarga meilia sekarang. kalian mengerti kenapa.

"kamu kenapa ngeliat resepsionis terus?" meilia salah sangka.

"loh loh, salah? kalo gitu aku liatin kamu aja." jean menopang dagunya di atas kaki yang ia silangkan, memandangi meilia.

"aneh kamu." meilia tersenyum kesal, ikut menopang dagunya. "nanti jangan aneh-aneh
depan mama."

"aneh-aneh gimana coba?"

"aneh-aneh... k-kayak... nempel..." ucap meilia malu.

"emangnya aku setan apa, nempel-nempelin orang."

"bodo amat deh." meilia meleburkan wajahnya pada pundak jean, membuat pria itu melepas tawa.

"heh di rumah sakit malah pacaran, gak sopan." mahesa datang dengan ayahnya menyusuli di belakang. sang ayah— malik, menepuk pundak anaknya.

"udah sih nak, mereka masih sma. wajar. yang nggak wajar tuh udah pacaran bertahun-tahun belum dikenalin sama papa mama. kapan mau bawa pacar kamu? awas loh jangan nikah lari."

"i-iya pa... nanti kalo udah masuk lagi..." mahesa kicep.

meilia dan jean hanya tertawa melihat mahesa
di-counter oleh ayahnya sendiri. mereka pun bangkit, ikut menuju kamar rawat sang ibunda.

tok tok tok

pandangan mata legam indah itu teralihkan pada pintu kamar rawat yang kini terbuka, menampilkan pemandangan hangat berisikan jejeran anggota keluarga kecilnya. sesuai yang malik bilang, jam 10.30. laki-laki itu selalu serius dengan ucapannya.

oh... tapi tunggu, siapa laki-laki muda tampan yang sedang bersama meilia?

"kalian semua," ia menaruh majalah yang sedang ia baca. "padahal gak usah repot-repot..."

"mama..." tutur meilia dan mahesa, segera memeluk sosok ibunda mereka. satu tangannya ia gunakan untuk mengusap punggung anak sulungnya dan satu tangannya ia gunakan untuk mengusap punggung anak bungsunya. ia tersenyum penuh haru.

"KAAANGEEENNN," recok meilia.

mahesa cuma terdiam, terlalu gengsi untuk sekedar bilang bahwa ia juga rindu. namun itu semua sudah tersirat jelas diwajahnya.

"hah... mama juga kangen kalian semua." wanita setengah baya itu kembali menatap anak-anaknya satu-persatu, lalu ia mengerling pada suaminya. "malik, kamu udah ngejaga mereka dengan baik."

"iya, tiara. aku kan ayah mereka. jangan ditanya."

"tengil kamu." balas sang ibu— tiara, terkekeh manis.

meilia ikut terkekeh melihat percakapan kecil orang tuanya, dan ia tersadar jean terdiam sedari tadi. ia harusnya mengenalkan dirinya, tapi pasti merasa tidak enak karena keluarganya baru saja melepas rindu dengan sang ibu.

.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang