Calon Kakak Ipar
By Tamara Aruna
"Aaahhh...! Ouuuhhh... Traven! Eunggghhh... oh... ya, Sayang... di sebelah situ. Ah... yes... oh lakukan sekali lagi. Auuunggg... mmmppphhh... fuuuccckkk... Traveeen... you're gonna make me cuuummm!"
"Ohhh... mmmh... slllrrrppp... cum, Baby... cum in my mouth, Honey... oh, fuck, Ariel... you're so fucking hot. Aaaeeem!"
"Auuuhhhh!!!"
Aku masih ingat bagaimana aku menangis di kamar sebelah saat mendengar semua itu dari kamar kakak perempuanku. Berikutnya, setiap kali ayah dan ibu pulang malam, aku harus menyumpal kupingku dengan airpods kalau nggak mau malamku dipenuhi raungan Ariel dan geraman Traven. Kau mungkin bertanya-tanya... kenapa aku menangis saat mendengar itu kali pertama, kan?
Well... aku menyukai Traven.
Tapi, yah... memang... dia jauh lebih tua dariku dan saat kami bertemu di perpustakaan daerah pertama kali, aku masih di bawah umur. Aku enam belas tahun dan Traven sudah dua puluh lima tahun. Selama satu tahun, aku menyimpan Traven untuk diriku sendiri.
Awal cerita, aku mendapat tugas membedah sebuah judul puisi kuno di kelas Bahasa saat ponselku disita oleh ibu. Katanya, aku menghabiskan waktu terlalu lama di depan layar ponsel dan mulai mengabaikan sekitarku. Aku memang jadi sering lupa pesan ibu buat membeli sesuatu sepulang sekolah, atau mengabaikan pesan ayah yang akan sedikit terlambat menjemput.
Akibatnya, sore itu aku pulang sendiri dan membuat ayah sangat panik. Dia mengira aku diculik.
Yup. benar. Dia membuat kekacauan di kedai tempat dia memintaku menunggunya (aku sama sekali tidak ke sana karena tidak membaca pesannya) Ayah menghubungi polisi, membuat laporan penculikan, dan sebagainya. Sementara itu sesampainya di rumah aku mengurung diri di rumah pohonku sampai waktunya makan malam. Ketika aku turun, seluruh anggota keluarga dan tetangga sekitarku sudah ada di ruang makan. Mereka tengah berdiskusi bagaimana caranya melibatkan seluruh kota untuk mencariku.
Singkat cerita, aku dihukum. Ponselku disita selama sebulan penuh.
Makanya, aku terpaksa ke perpustakaan untuk menyelesaikan tugasku. Traven bekerja di perpustakaan daerah yang kutuju. Dia baru bekerja selama seminggu di sana dan terkejut melihat anak seusiaku masih mau berkunjung ke perpustakaan. Memang kalau kulihat-lihat, kebanyakan pengunjungnya orang lanjut usia yang senang menekuri koleksi perangko milik pemerintah daerah. Aku menceritakan masalahku padanya. Dia tertawa, tapi juga meminta maaf karena dia bersyukur aku dihukum. Sebab dengan begitu, kami bertemu.
Dia membantuku tugasku. Aku mendapat nilai A. Setelah tugas itu selesai, aku tetap ke sana, berpura-pura mendapat tugas ini dan itu hanya supaya kami terus bisa bertemu dan bicara. Traven tidak terlalu sibuk, jadi dia senang menerimaku. Hal itu berlanjut sampai satu tahun lebih lamanya. Aku menyadari, dia nggak akan pernah mengajakku keluar karena aku masih anak-anak. Kami tetap bersahabat. Kemudian aku punya pacar, dan mungkin dia juga punya pacar, tapi kami terus bertemu di perpustakaan.
Pernah sekali kami makan siang berdua di kedai sandwich sebelah perpustakaan. Tadinya, aku sangat senang. Namun, aku menyesal. Seandainya aku nggak pernah mengajaknya makan sandwich dengan alasan itu hari ulang tahunku yang ke-tujuh belas, sampai sekarang Traven masih akan jadi sahabat perpustakaanku. Bahkan mungkin... menjadi kekasihku karena aku sudah delapan belas tahun sekarang.
Kenapa aku menyesal?
Karena di sanalah dia bertemu dengan Ariel, kakakku, dan mereka jatuh cinta.
Setelah pertemuan di kedai sandwich itu, sudah tiga bulan aku nggak berkunjung ke perpustakaan daerah karena harus menghadapi ujian. Lagipula, harapanku pada Traven sudah mulai mengikis. Aku masih suka padanya, tapi karena dia nggak kunjung bergerak, aku memilih menerima cinta cowok lain dan berkencan. Awalnya itu hal yang wajar dan cenderung baik buatku. Aku tidak lagi terus-terusan memikirkan Traven dan bisa melanjutkan hidup. Masa remaja terlalu singkat untuk dilewatkan dengan mendambakan seseorang yang terus menganggapmu anak kecil. Begitu pikirku.