The Bodyguard
By Tamara Aruna
"Buka bajumu sekarang!"
Air mataku berlinang.
Aku tidak pernah mencintainya.
Suamiku.
Kami tidak menikah karena cinta.
Baginya, aku tidak lebih dari seonggok barang yang setelah digunakannya sekian lama, diperlakukannya dengan semena-mena. Dulu dia membeliku. Ayahku yang malang tidak punya pilihan selain setuju. Keluarga suamiku memiliki lebih dari setengah kekayaan kota ini. Tentu saja mereka memiliki segalanya dengan cara yang sangat licik, persis seperti bagaimana mereka mengambil semuanya dari ayahku.
Ayah suamiku yang jahat, semoga dia terbakar berkali-kali di neraka, menjebak ayahku dalam utang yang begitu besar dan tidak mampu ia bayar. Sebagai gantinya, dia meminta ayahku menyerahkanku untuk diperistri putra sulungnya. Jika ia menolak, bukan hanya seluruh harta ayahku yang disita, dia juga akan menjebloskannya ke penjara. Bukan hanya itu, mungkin dia tetap akan mengizinkan putranya memperkosaku dan menjualku ke tempat pelacuran.
Awalnya, kupikir menerima lamarannya jauh lebih baik daripada nasib buruk itu, tapi akhir-akhir ini... aku tidak yakin lagi.
Sejak hari pertama menjadi istrinya, aku tidak pernah merasakan kebahagiaan. Selain hinaan dan siksaan yang kuterima setiap hari, ia hanya menjadikanku pajangan di sisi singasananya. Bukan sebagai ratu, tapi sebagai piala. Dia membuat semua orang percaya bahwa aku istri yang berbahagia, tapi di balik semua itu, dia aku hanya seonggok sampah. Bahkan lebih rendah dari orang-orang yang bekerja di rumahnya sehingga para pegawainya yang paling rendah pun menaruh belas kasihan terhadapku. Dia menjadikanku contoh agar orang lain lebih bersyukur. Nasib semua orang lebih baik dari nasibku.
Dia menendangku, meludahiku, memperkosaku dengan cara yang sangat keji dan menginjak-injakku hingga aku tidak lagi percaya bahwa aku memiliki harga diri, atau hak untuk diperlakukan lebih baik. Dia pernah menelanjangiku di depan seluruh pegawai perempuannya dan menunjukkan bagaimana dia ingin semua perempuan yang bekerja di rumahnya memiliki tubuh semolek diriku. Dia pernah mengikat tangan dan kakiku dan memaksaku makan dengan mulutku bersama anjing-anjingnya. Menyetubuhi duburku hingga aku terserang demam tinggi selama berhari-hari. Memintaku mengisap kemaluannya dan membiarkan semua pegawainya menyaksikan apa yang kulakukan. Dia tidak mengizinkanku menjenguk ayahku yang sakit, atau datang pada pemakaman ibuku. Aku tidak tahu lagi hal kejam apa yang belum pernah ia lakukan padaku.
Aku meragukan keyakinanku dulu. Bahwa menjadi istrinya lebih baik daripada menjadi pelacur. Kenyataannya, mungkin menjadi pelacur jauh lebih baik. Setidaknya aku bebas dan mungkin aku akan bertemu seorang pria yang benar-benar mencintaiku.
"Telanjangi dirimu sekarang, Pelacur!" bentaknya sekali lagi. Bahkan orang yang paling kejam pun pasti akan menjengit mendengar caranya meneriaki istrinya sendiri. "Aku melihatmu berbincang-bincang dengan Theodorus Ruby semalam. Kau pikir aku tidak tahu apa yang kaulakukan saat aku tidak bisa menemukanmu? Kau pasti berhubungan seksual dengannya di salah satu sudut di rumah itu, kan? Kau ingin mempermalukanku di depan semua orang, iya, kan?"
"I-itu tidak benar," aku menggeleng, suaraku bergetar. Dia bukan hanya menyuruhku telanjang, tapi menelanjangi diriku sendiri di depan beberapa orang pengawal pribadinya, termasuk Zachary. Tiga pemuda itu mulai terlihat resah. Semua orang di rumah ini sudah pernah melihatku tanpa busana sehingga aku tidak pernah mampu menatap mata mereka saat berbicara. Semoga Tuhan memberkati orang-orang yang bekerja untuk suamiku di rumah ini sebab tak seorang pun dari mereka yang berbuat kurang ajar padaku, mereka justru mengasihaniku.