Chapter 1

3.1K 271 25
                                    

Halo, buat kalian yang suka mantengin Things Between Us mungkin udah pernah baca cerita ini. Yeps, ini ada versi a whole story nya. Bakal punya plot dari awal sampe tamat.

Akhir-akhir ini aku nggak bisa nulis terlalu banyak, jadi it won't have that many chapters to be completed. Hopefully you'll enjoy it (writing this work while thinking about you guys).

“How could I ever leave him, having experienced that kind of love? I will never, ever, leave him

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“How could I ever leave him, having experienced that kind of love? I will never, ever, leave him.”
—Hiro Arikawa—

Ada banyak prasangka di dunia yang kata orang penuh muslihat. Emang iya? Waktu kecil, gue sempet sangat skeptikal (mungkin karena nggak paham) dengan maksud di balik kata tersebut, Rose kecil menganggap hal itu sebagai tuduhan yang walau bagaimanapun nggak mungkin kejadian. Pikiran itu hidup setidak-tidaknya sampai usia gue menginjak angka 14, langsung paham ketika salah satu teman mendadak mendapat ranking lebih tinggi hanya karena senyum lebar 24 jam sama wali kelas andalan. Itu sarkasme, jelas aja, siapa juga yang mau mengandalkan wali kelas tidak adil dan suka mempraktekkan nepotisme seperti itu? Gue tahu kalau temen gue itu bisa dapet ranking satu karena dia anak guru—notabenenya Si Wali Kelas dan Si Ibu Matematika itu sahabat karib sejak zaman sekolah keguruan masih bernama SPG.

Sempat ada sepercik pertanyaan; sayangnya kecurigaan gue itu sama sekali nggak digubris. Alih-alih digubris, gue malah dilabeli sebagai anak pembangkang dan gemar suudzhon. Emang, berburuk sangka adalah hobiku, gue harap mereka paham itu. Selain paham, gue juga berharap mereka dapat karma. Ya itupun kalau karma emang masih berlaku dan Tuhan cukup baik buat berada di pihak gue. Masalahnya, temen gue yang curang ini anaknya alim dan andalemi banget. Tutur katanya halus dan lembut (beda sama gue yang kalau ngomong selalu skeptikal, agak ketus, judgemental, dan blak-blakkan), sehingga dari sudut manapun orang-orang kayaknya bakal secara instan menjadikan gue sebagai antagonisnya. Kayak bawang merah dan bawang putih aja gitu; bedanya gue nggak menginginkan hal apapun dari temen gue itu. Relasi atau apapun, gue nggak butuh. Otak gue jauh lebih pintar dan secara fisik gue juga menang banyak. Gue sama sekali nggak iri. Lagipula, ranking itu dia dapat cuma karena gue absen sekolah selama dua bulan. Sakit parah sampai hampir meninggal; untunglah saat itu keadaan ekonomi keluarga lagi sangat baik sehingga bisa menunjang perawatan sampai ke ibu kota.

Sekarang, sepuluh tahun kemudian, kemampuan ekonomi keluarga mulai melemah tapi untungnya tubuh ini sehat wal’afiat. Tubuh aja yang sehat, pikiran seringkali nggak baik-baik saja. Kayaknya ini udah jadi penyakit yang dialami manusia-manusia abad ini deh. Mental health jadi issue yang saat ini lagi ramai banget; banyak orang harus menanggung stres berlebih yang diberikan kehidupan dan mati-matian bertahan demi masa depan. Gimana kalau masa depan itu suram? Gimana kalau usaha ini berakhir menjadi kesia-siaan? Gimana kalau Perang Dunia III meletus sebelum gue dapat suami dan keturunan? Ya, gue nggak peduli sih, lagian ngurus anak itu susah. Menjelaskan tentang konsep dan peran gender masa kini aja gue nggak sanggup; apalagi harus membesarkan dan mendidik anak.

Before The Sun Sets ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang