Aloha~
This is the last chapter. Kalau nggak keberatan, tinggalkan komen kalian di sini yeps. Hehe... thank you 😁
—
“Youth is happy because it has the capacity to see beauty. Anyone who keeps the ability to see beauty never grows old.”
—Franz Kafka—Siapa yang bakal menyangka kalau hidup gue bakal berubah secara signifikan hanya karena pertemuan dengan seorang gadis polos sebelas tahun lalu? Saat itu kami sama-sama sangat muda dan cenderung sangat sinis dalam memandang cara kerja dunia meskipun dengan cara yang sepenuhnya berbeda. Rose mungkin naif, tapi dia lebih jujur dan terang-terangan; sementara gue lebih suka jaga image dan nggak suka diintip kehidupan aslinya sebagai Juan Kafka Janitra yang secara mental nggak stabil serta punya hidup awut-awutan. Rose dan Juan muda nggak akan pernah menyangka kalau sebelas tahun kemudian mereka bakal mengikat janji suci dan memulai mahligai rumah tangga. Banyak drama sebelum bisa sampai ke tahap ini; tapi berkat hati Rose yang lapang serta mamih dan papih yang pada akhirnya mengalah pada ego sendiri, pernikahan kami bisa dilaksakan dengan sakral meskipun sederhana.
Tidak ada rekan kerja papih maupun teman-teman arisan mamih; tamu undangan benar-benar cuma diisi sama para sahabat dan kerabat aja. Semua sahabat gue datang sama pasangannya (kecuali Bagas dan Clara yang memilih datang sendiri ke Bandung), keluarga Rose totalnya nggak lebih dari sepuluh termasuk para keponakannya, keluarga gue cuma mamih dan papih aja, terus yang paling mengejutkan mungkin kehadiran Dimas. Meskipun sejak awal pun dia sama sekali nggak pernah punya rasa apapun sama Rose, tapi tetap aja hati gue agak cemburu meskipun hanya secuil. Gue juga cemburu sama fakta kalau selama absennya gue dari hidup Rose, keluarganya justru menjadi sangat dekat sama Dimas. Bahkan, seolah udah jadi tradisi, ketika lebaran si Dimas ini bakal ikut merayakan bareng Rose. Status baru Rose pun bukan halangan; Dimas tetap merayakan lebaran kayak tahun-tahun sebelumnya bahkan udah dianggap kayak anak sendiri sama ibu dan bapak mertua.
Rasa iri ini mungkin muncul karena mereka berdua nggak pernah memperlakukan gue dengan keramahan dan keakraban serupa kayak yang mereka kasih ke Dimas. Selalu ada sekat yang kadang kala membuat interaksi kami terasa canggung; padahal bapaknya Rose baik banget sama dua menantu yang lain. Beliau canggung cuma sama gue aja. Dan ketika gue mengeluhkan hal ini sama Rose, dia cuma ngasih senyum terus ngusapin punggung sambil bilang: ‘Bapak canggung sama kamu karena dia ngira kamu itu kelewat keren. Maksudnya, nama kamu ada di Times, siapa yang nggak segan coba? Bapakku itu orang kampung; jadi saat lihat kamu sampai masuk TV dan ngomongin bisnis yang nggak bisa dia pahami, pikirannya auto mengonsepsikan kalau kamu itu sangat keren. Padahal aslinya begitulah. Nggak apa-apa, bahkan bapak juga selalu canggung kalau ngomong sama aku.’
Tapi gue nggak mau lebaran pertama di rumah mertua ini meningalkan kesan yang buruk. Gue masih punya keyakinan kalau usaha keras bakal membuahkan hasil, nggak peduli sekecil apapun hasilnya. Oleh sebab itu, hari terakhir libur sebelum balik ke rumah kami di New York dan liburan ke Italia, gue memutuskan untuk menemami bapak mertua menggarap sawah meskipun itu bukan kegiatan yang gue suka barang sedikitpun. Gue nggak sendirian sih, ada adik ipar Rose selaku menantu ‘paling rajin dan kompeten’ menurut standar mereka. Kalau ngukurnya pakai standar mereka, gue memang nggak masuk kategori ideal. Kalau kata orang kampung, ‘Juan itu porcelain karena kan dari keluarga berada. Kalau ada apa-apa tinggal minta tukang atau ganti baru aja.’ Bener sih. Tapi rasanya tetap aja nggak enak. Gue juga mau jadi berguna dan jadi kesayangan mertua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Before The Sun Sets ✔️
Fanfiction[COMPLETED] Which one is better between being single or committed into the relationship with the man whose family cannot be kept up with? Rose tries to define the relationship she is barely committed into; creating so many perceptions and theories a...