Chapter 6

995 191 43
                                    

Lupa dipublish, keburu tepar. Sorry. Hehehe

Selamat membaca dan tulis di sini dong kalian bacanya jam berapa. Thank you pisan ^^

“Happiness is holding someone in your arms and knowing you hold the whole world

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Happiness is holding someone in your arms and knowing you hold the whole world.”
—Orhan Pamuk—

Ini hari ketiga—sekaligus hari terakhir—Mas Dimas berada di Edinburgh. Sekadar memberi klarifikasi, dia bukan datang buat ketemu gue, melainkan buat kerja sama salah satu research institute di sini. Awalnya gue sempat bertanya-tanya terkait latar belakang Mas Dimas; tentang kenapa dia nggak punya aksen Indonesia sama sekali waktu ngomong Bahasa Inggris dan kedengaran sangat ‘British’, lalu terkait ketidaktahuannya tentang negara asalnya, maupun mengenai alasan dia tetap menyendiri di umur 30-an padahal dia punya seluruh potensi buat jadi kekasih idaman. Kayaknya nggak etis juga kalau nanya gitu meskipun sekarang kami udah jadi teman baik. Tapi, jangan ngebayangin teman baik dalam konteks yang sama dengan konsep pertemanan gue dan Bagas (misalnya), jelas sangat berbeda. Pertemanan kami lebih mirip hubungan profesional yang sangat baik; dengan sedikit unsur kekeluargaan yang lumayan kentara.

Bagi gue, sosok Mas Dimas itu lebih menyerupai seorang kakak, semacam orang yang selalu bisa diandalkan tiap kali dilanda kesulitan khususnya yang berkaitan sama penelitian. Tapi, sekali lagi, bukannya gue memanfaatkan Mas Dimas untuk alasan yang buruk. Kayaknya dia juga memahami hal itu; dan sama sekali nggak keberatan dengan permintaan yang kadang kala sedikit terlalu menuntut. Misalnya aja hari ini, selepas rapat sama rekan kerja, bukannya istirahat, Mas Dimas malah ngebantuin ngoreksi unsur kebahasaan tesis gue. Kami duduk berhadapan di Library Bar yang selalu rame sama mahasiswa. Segelas lemonade jadi andalan kalau gue ke sini, sementara Mas Dimas memesan gin tonic. Dibandingkan Juan yang cuma minum buat kebutuhan bersosialisasi, Mas Dimas bisa dibilang sebagai heavy drinker yang selalu memesan alkohol di segala situasi. Enggak selalu yang bikin hangover, tapi minuman apapun yang ada campuran alkohol di dalamnya dia pasti suka. Pada titik ini gue percaya kalau Mas Dimas lebih menyukai alkohol ketimbang perempuan.

“Udah bagus,” katanya saat ngebaca draft tesis. Dia ngelirik sekilas dari balik kaca matanya, ngasih jempol tanpa ngomong apapun, terus meneguk habis gin tonic di gelas pertama sebelum memesan gelas kedua. Kemeja biru yang rapih tampak berbanding terbalik dengan rambut yang sedikit berantakan. Parfum pinewood yang biasa dia pakai teredam bau manis alkohol yang selalu membungkus setiap sudut Library Bar—mengalahkan aroma loaded cheese fries yang gue pesen buat menemani segelas lemonade yang baru diminum seteguk. “I cannot give any feedback about the content—about the clarity and stuffs because this is not my expertise. But overall, this one is undoubtedly good, you have an excellent English.”

“Not as good as you,” gumam gue sambil senyum kecil.

“I think it’s fair to call me a native since I’ve spent almost twenty-five years of my life in UK,” katanya spontan ngebuat gue membulatkan mata karena terkejut. Kali ini giliran Mas Dimas yang mengukir senyum. Ini informasi baru, satu pertanyaan mengenai latar belakang Mas Dimas terjawab tanpa diminta. “Saya pindah ke Cardiff waktu umur lima tahun. Proses adopsi sama orang asing itu nggak mudah, tapi karena orang tua dua-duanya orang hukum, jadi semuanya berjalan lebih lancar dari yang dibayangkan. Kalau nggak salah, dulu saya tinggal di salah satu panti asuhan di Jakarta. Enggak ada informasi apapun tentang orang tua biologis; cuma tahu kalau saya udah tinggal di panti asuhan sejak masih bayi. I used to be a Muslim, I guess, I remember going to this mosque with Bapak Panti as a little boy. My memory in orphanage was vague, I cannot remember that much. Then my parents adopted me, took me to Cardiff, and raised me as a decent human even though we don’t believe in spiritual concept.”

Before The Sun Sets ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang