Chapter 2

1.3K 219 53
                                    

Based on Indonesian time zone, I officially get older today. So here's my gift for you~

Ayo sambil nunggu waktu imsak, dibaca dulu ceritanya. Komen juga kalau bisa. Hatur nuhun. Hehehe

“If I know from the start that I’m going to be alone, I’m not lonely

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“If I know from the start that I’m going to be alone, I’m not lonely. It doesn’t bother me.”
—Junichiro Tanizaki—

Tanpa bermaksud buruk, tapi Juan itu emang kayak setan. Gue masih bertanya-tanya apakah diri ini memang betul-betul tolol atau hanya punya semacam kecenderungan untuk menyukai laki-laki yang hatinya angin-anginan kayak Juan? Entahlah. Tapi satu hal yang pasti, kisah cinta gue emang kebanyakan komedi. Mungkin juga tragedi. Pada titik ini gue bahkan nggak mau lagi menerka-nerka.

Ketika Juan ngasih tahu kalau dia dan cewek New York itu nggak ada hubungan apapun, saat itu gue kira kesempatan bakal menghampiri. Tapi pada kenyataannya, kesempatan itu hanyalah ilusi. Sebab nggak berselang lama, mungkin sekitar dua minggu kemudian, Juan menelpon tengah malam cuma buat bilang: ‘You won’t believe this, the girl I like will join the trip!’, sampe beberapa detik setelahnya gue masih husnuudzhon dan mengira kalau maksudnya itu gue, tapi kemudian Juan nambahin, ‘Oh wait, I didn’t mean to keep it from you, but I haven’t told you her name because I was too shy. She is an undergrad student, Clara from China, my friend Hirosuke introduced me to her. You must meet her, bet you guys will be a good friend.’

Dalam hati gue nyahut, ‘No, thanks,’ tapi demi menjaga pertemanan sekaligus citra gue sebagai orang baik-baik, bibir ini justru mengucapkan, “Congrats! Mungkin kapan-kapan lo bisa ajak Clara makan di café langganan kita. Cheesecake di sana enak banget. Ya kali lo nggak ngajak dia ke sana.”

“Itu lo aja kali yang mau makan cheesecake.” Juan nyahut sambil ketawa.

“Hahaha… iya. Oh, nanti kita sambung lagi ya, gue mau tidur. Besok ada kelas jam sembilan. Nggak mau skip kelas gue, mau lulus with distinction soalnya. Oke, oke, bye. Nanti berkabar aja kalau mau ngajak ketemuan.”

Panggilan berakhir, terus gue cengo. Selama beberapa menit gue duduk sambil ngelihatin layar laptop yang mati karena kelamaan dianggurin. Waktu seolah berhenti di angka tiga lebih lima—seketika itu juga ngebuat dada terasa berat dan mata berkaca-kaca. Sial. Padahal sebelumnya gue nggak pernah nangis karena laki-laki. Tapi berita yang Juan kasih tanpa diminta justru ngebuat air mata mengalir tanpa kompromi. Kedua tangan menangkup wajah yang terasa panas, sekaligus menahan isak tangis yang sangat mungkin lolos dan menciptakan kegaduhan di flat kecil ini. Malam itu gue menghabiskan sekitar 30 menit buat nangis sebelum kembali bergelut dengan bahan bacaan yang tak kunjung bisa diserap oleh otak.

Enggak peduli sekeras apapun gue berusaha untuk bersikap bodo amat, tapi hati ini tetap merasakan sensasi ngilu yang mencekat saat ketemu Juan untuk pertama kalinya sejak ngobrol lewat telpon dua hari lalu. Muka tampannya kelihatan berseri, jelas sekali kalau dia sedang merasa sangat bahagia. Juan pasti sangat mencintai Clara; dan untuk beberapa alasan yang sangat personal, hal itu ngebuat gue cemburu.

Before The Sun Sets ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang