Chapter 7

1K 182 114
                                    

Di tengah kabar yang menghempas, aku tetap Jaerose shipper. Misalnya kalau bener, minimal di wattpad mereka masih pasangan.

Peluk sayang buat kalian dan mari dukung mereka sebagai musisi sejati. At the end of the day, we are only fans.

Oh iya, will be wise kalau kalian baca ini dengan hati bersih. Nggak tau gimana caranya, pokoknya gitu.

“For someone like myself in whom the ability to trust others is so cracked and broken that I am wretchedly timid and am forever trying to read the expression on people’s faces

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“For someone like myself in whom the ability to trust others is so cracked and broken that I am wretchedly timid and am forever trying to read the expression on people’s faces.”
—Osamu Dazai—

Padahal itu cuma mimpi, tapi kenapa malunya sampai sekarang? Ketika bertemu Juan setelah tiga hari penuh nggak merasakan presensinya sama sekali, gue sempat ngerasa agak canggung, terutama saat cowok itu bersandar di mobil van yang terparkir di depan gedung flat. Juan mengenakan sleeveless putih yang dipadukan dengan celana pendek sementara jaket melingkar di pinggangnya. Meski di pertengahan musim panas sekalipun, cuaca di Edinburgh masih terbilang dingin, sehingga gue memuji ketahanan tubuhnya dalam menghadang semua hempasan angin yang selalu membuat kulit menggigil.

Hanya ada kami berdua untuk saat ini. Juan ngebukain pintu depan, cuma bilang kalau itu bakal jadi tempat gue, sementara enam lainnya duduk di belakang. Bulan lalu, Windu pulang ke Indonesia cuma buat ngambil SIM dan merasakan sekilas panasnya Bali. Kami setuju kalau bakal lebih bijak buat punya dua supir, supaya lebih aman dan nggak terlalu capek aja. Jadi setiap empat atau lima jam sekali, Juan dan Windu bakal bertukar tugas. Meskipun Juan bilang kalau dia bisa nyetir selama apapun dan mereka nggak perlu khawatir sama masalah keamanan.

“Anak-anak lain bakal ngumpul di Princess Street,” katanya tanpa melihat ke arah gue. Fokusnya tertuju ke jalan, cuma sesekali ngelirik dan ngebuat gue menelan ludah tiap kali bibir tipis sewarna buah persik itu menggoreskan senyum. “Udah makan? Mau beli cemilan, nggak? Buah? Atau mau sandwich? Gue belum sarapan karena ini masih jam lima pagi.”

“Mereka udah pada bangun emang?” gue mengalihkan obrolan.

“Udah,” ucapnya, “lebih tepatnya emang belum pada tidur sih. Eh iya, kok Lillian nggak ada di flat sih?”

“Nginep di tempat Windu,” jawab gue sambil melengguhkan napas lelah. Dasar Lillian, kerjaannya pacaran terus.

“Lo juga tidur sama gue aja padahal. Biar gampang bangunin.” Juan mengatakan itu seolah nggak mempertimbangan kalau gue bakalan salah paham. Selama beberapa detik kami terdiam, lalu Juan buru-buru meralat, “Tidur di flat gue maksudnya. Sorry. I didn’t mean to propose a bad thing or whatsoever.”

Dia bilang gitu setelah minggu lalu ngomong, ‘Sometimes I feel like that we should kiss and having sex,’ dengan suara serak. Sialan memang. Gara-gara dia bilang kayak gitu, sampai sekarang gue masih memikirkan mimpi yang selalu berhasil ngebuat muka bersemu merah. Itu hanya mimpi, tapi di sana, gue bisa merasakan tiap sentuhan yang Juan kasih sejelas pemahaman terhadap novel Kokoro atau The Travelling Cat Chronicles. Suara Juan saat menyebut nama gue, kecupannya di pundak sebelum merambah ke leher dan dada, lalu kembali berlabuh di bibir sementara tangannya mengusap punggung saat kami saling memeluk dengan erat. Itu hanya mimpi—tapi begitu vulgar. Sekali lagi gue bicara pada diri sendiri. Tapi mimpi itu berhasil memaksimalkan kecanggungan yang sebelumnya selalu bisa disembunyikan dari Juan.

Before The Sun Sets ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang