Chapter 8

928 149 56
                                    

Kayaknya Juan merupakan karakter paling kompleks yang pernah gue ciptakan. Dia nggak punya warna yang jelas. Cara pandangnya gelap dan sendu; berbanding terbalik sama Rose yang sebenarnya terang-terangan.


Oh iya, mulai chapter ini, POV bakal dari Juan ya! Selamat membaca~

“If you have to consider what’s going to happen after you die, life becomes doubly troublesome

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“If you have to consider what’s going to happen after you die, life becomes doubly troublesome.”
—Hiro Arikawa—

New York, 10 Years Later
Ini jadi hari ketiga yang dilalui tanpa tidur sama sekali. Sampai saat ini, gue masih belum bisa menemukan esensi di balik work life balance yang gencar diusung orang-orang berusia 20 sampai 40 tahunan. Tahun ini usia gue 35 tahun—katanya ini merupakan usia paling ideal buat berkeluarga. Tapi sejauh ini, satu-satunya hal yang gue pahami cuma bekerja. Mengembangkan bisnis dari nol itu ternyata sangat susah. Ditambah gue juga memilih Amerika yang notabenenya bukan negeri asal sehingga segala sesuatu yang berkaitan sama berizinan bisa sangat sulit. Untungnya, ini satu-satunya hal yang gue syukuri dari menjadi kaya bahkan sejak sebelum emak-bapak niat bikin, uang dari mereka seolah nggak mengenal limit dan terus ngalir kayak air zam-zam. Gue menganggap itu sebagai pinjaman—berusaha buat mengembalikan dengan bekerja sebagai bagian dari perusahaan tanpa mengambil gaji sepeserpun. Jadi saat ini gue disibukkan dengan dua profesi: pemilik restoran Jepang dengan 15 cabang di seluruh U.S. serta salah satu dewan direksi di perusahaan food and beverage milik keluarga.

Orang-orang menyebut gue sebagai anak M.O.M alias made of money. Itu benar, gue nggak akan membantahnya sama sekali. Secara ekonomi, gue sama sekali nggak pernah memahami konsep hidup susah ataupun kekurangan. Makanan selalu tersedia dan barang apapun yang diinginkan pasti selalu bisa dibeli. Ditambah, gue merupakan anak satu-satunya, sehingga penghormatan dari orang-orang pun datang tanpa diminta. Tapi sejak tragedi 25 tahun lalu, saat itu usia gue masih 10 tahun dan konsep mengenai depresi masih sangat ambigu, hidup yang semula baik-baik saja seolah dibalikkan sehingga gue tumbuh menjadi Juan yang sekarang ini. Gue merasakan betapa tersiksanya hidup sebagai pribadi yang kebebasannya dibatasi—dikontrol dari berbagai sisi seolah diri ini nggak punya kendali dan cuma sebatas boneka tanpa cacat.

Bahkan setelah peristiwa mengerikan hari itu sekalipun, orang tua seolah nggak paham kalau anak bukan sejenis permainan yang bisa mereka arahkan seenaknya. Anak juga manusia mandiri yang punya pilihan berbeda. Sayangnya, pilihan yang gue punya nggak pernah divalidasi maupun diterima, kecuali kalau itu sejalan sama prinsip mereka. Salah satu contohnya adalah menjalin hubungan sama perempuan dari kelas sosial yang sama. Udah abad ke-21 tapi masih menyibukkan diri dengan permasalahan kelas; itu konsep yang sangat gue benci. Meski begitu, didorong sama rasa takut, gue tetap menuruti segala macam aturan yang mereka terapkan. Setidaknya sampai usia 24 tahun—ketika perempuan sangat pintar namun clumsy yang gue temui di Edinburgh berhasil membuat diri ini merasakan serta memahami konsep cinta secara tulus tanpa iming-iming status sosial penuh omong kosong kayak tai anjing.

Before The Sun Sets ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang