Chapter 3

1K 185 33
                                    

Aloha, selamat berbuka~

I don't really have any fix schedule to publish each new chapter. Jadi bisa kapan aja. Semoga kalian suka.

“Fill your mind with knowledge—it’s the only kind of power no one can take away from you

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Fill your mind with knowledge—it’s the only kind of power no one can take away from you.”
—Min Jin Lee—

Ketika memasuki bulan Ramadhan, jam tidur gue otomatis berantakan. Mendadak gue menjadi makhluk nocturnal karena baru bisa tidur setelah sahur. Untungnya—meski agak sedih sedikit—kelas terakhir itu minggu kemarin. Tepat tanggal 30 Maret Kamis lalu. Gue tinggal fokus sama tesis dan ngeberesin beberapa program PPI UK. Tapi, pada titik ini gue merasa agak bersalah karena kebanyakan ngeluh, dua hal ini sulitnya bukan main. Untuk tesis, pada kenyataannya emang sulit banget meskipun prosesnya cukup gue nikmati. Sedangkan untuk program yang jadi tanggung jawab di PPI UK itu sulitnya bukan jenis yang bisa gue nikmati.

Sekitar tiga minggu lalu, mungkin dua minggu sebelum Juan ngasih tahu kalau dia punya pacar bernama Clara dan kami jalan-jalan di sekitaran Princess Street, gue baru aja ngirim ToR ke salah satu narasumber buat program seminar yang gue usung bersama satu rekan di seksi ini. Berhubung kami nggak punya terlalu banyak staf, biasanya satu orang bakal punya peran ganda. Dalam kasus kali ini, gue kebagian jadi LO sekaligus moderator, tugas yang lumayan berat terutama buat orang yang nggak begitu suka bersosialisasi macam gue. Ditambah lagi—narasumber satu ini memang keren luar biasa—Si Mas Postdoctoral Fellow dari Oxford ini agak perfeksionis dan judes banget. Gue enggak pernah ketemu sama orangnya secara langsung, mengandalkan email sebagai satu-satunya media komunikasi, dan sekali lewat fitur panggilan Teams. Sejauh ini gue berusaha buat mengikuti sekaligus melaksanakan apa yang dia inginkan, menambah detail ini dan itu, sampai datang ke Oxford sehari sebelum hari-H.

Awalnya, segala hal berjalan dengan mulus tanpa hambatan. Tapi karena jadwal hectic sekaligus keputusan buat datang yang sedikit impulsif, gue lupa pesen Airbnb pun menyadari fakta kalau diri ini sama sekali nggak punya temen yang bisa ditumpangi di Oxford. Kalau dadakan, biayanya bisa mahal banget dan gue enggak pada posisi buat menghabiskan uang seenak jidat tanpa pertimbangan. Alhasil, waktu sampai di Oxford Parkway, gue sempet duduk sekitaran 20 menit sambil megang segelas Costa Ice Americano dan croissant buat makan siang karena lagi libur puasa. Berhubung waktu buat ketemu sama Si Mas Narasumber masih dua jam lagi (kami janjian jam 5 sore selepas dia beres dari lab), gue memutuskan buat strolling around di Ashmolean Museum.

Ini jadi kali kedua gue mengunjungi Oxford. Kunjungan waktu Desember tahun lalu sangat berkesan meskipun udara dingin ngebuat telapak tangan makin kering. Saat itu gue masih punya mimpi buat ngambil program Doctoral di sini. Tapi setelah mulai kerja sama bareng pembimbing di Edinburgh, gue rasa yang paling penting dari S3 (selain milih jurusan yang cocok dan kampus yang bagus) adalah mendapatkan pembimbing yang bikin kita merasa terfasilitasi buat menyalurkan ide. Sejauh ini penelitian gue berjalan dengan lancar; jauh lebih lancar ketimbang kerjaan di restoran dan organisasi yang bukan aja menguras pikiran tapi juga emosi. Madame Grace alias atasan langsung di tempat part time masih aja suka marah-marah meskipun gue udah kerja di situ selama berbulan-bulan. Alasannya bukan karena gue bikin salah, tapi karena dia pingin aja sampai-sampai posisi nyimpen sendok yang agak miring dikit aja dipermasalahkan. Tapi itu emang udah jadi karakter beliau, gue nggak bisa mengubah apapun. Kecuali dia mau berubah sendiri, selamanya bakalan kayak gitu. Baik, kayaknya sekarang bukan waktu yang tepat buat mengeluhkan atasan, sekitar lima belas menit lagi waktu ketemuan.

Before The Sun Sets ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang