Chapter 12

976 139 22
                                    

Hello~

Selamat membaca. Enjoy joy joy joy~~~

“The memory of having sat at someone’s feet will later make you want to trample him underfoot

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“The memory of having sat at someone’s feet will later make you want to trample him underfoot.”
—Sōseki Natsume—

Dibandingkan beberapa tahun lalu, sekarang gue dan Rose kayaknya lebih tahu gimana caranya setting boundaries dan nggak lebih serius ketika membicarakan komitmen. Terhitung sudah satu bulan sejak kepindahan Rose ke New York—sekarang dia jadi salah satu dosen baru high quality di History Department Columbia University—kami lebih banyak menghabiskan waktu berdua atau sesekali ketemu Timothee yang tampak antusias meskipun dia nggak bisa mengekspresikan perasaannya dengan baik.

Tiap kali ngunjungi Timothee, dia biasanya bakal ngobrol beberapa kata sama Rose dan ngasih lihat video penampilannya beberapa belas tahun lalu. Interaksi mereka berdua ngebuat hati teduh sekaligus terenyuh. Entah apa yang membuat Timothee merasa tergugah untuk mengobrol dengan Rose—seolah kehadirannya sangat dia tunggu dan pria itu juga tampak sangat nyaman ketika berada di samping Rose. Padahal cewek gue itu bukan manusia yang peka; tapi dia sangat tulus. Rose memang nggak biasanya bicara terlalu banyak kalau bukan sama orang yang benar-benar dia kenal, tapi dia selalu nunjukin sikap yang tulus, dia nggak pernah pura-pura baik cuma buat menyenangkan hati orang lain. Makanya dia nggak cocok kalau kerja di Indonesia, nggak bisa pura-pura baik sama atasan nyebelin soalnya.

By the way, kamu Jumat malam nanti free nggak?” tanya gue sambil ngebuka pintu mobil buat Rose. Tapi, sebelum dia ngejawab, gue buru-buru meralat, “Maksudnya nggak ada plan apapun, kan?”

Rose ketawa lucu banget, “Kenapa? Mau ngajak dinner ya?”

“Hehehe… ketahuan deh,” sahut gue sebelum nutup pintu mobil dan bergegas buat masuk ke kursi seberang. Setelah merapatkan sabuk pengaman, gue baru lanjut ngomong, “Aku emang mau ngajakin kamu dinner. Kayaknya sejak kamu datang ke sini, kita nggak pernah dinner secara proper gitu. Maksudnya, either kamu makan di tempatku atau aku makan di tempatmu; kayak nggak pernah yang pergi ke restoran gitu. Pernah sih, ke restoran sushi, tapi kita cuma makan gitu aja.”

“Emang mau makan yang kayak gimana?” Rose pinter banget kalau perkara menggiring opini orang. Pantes dia jadi sejarawan.

“Makan malam yang romantis tentu saja. Nanti kamu pakai gaun yang kelihatan punggungnya kayaknya oke banget tuh. Meskipun kalau pakai baju tidur juga tetep oke sih. Pakai baju apapun—karena kalau nggak pakai baju itu bolehnya pas lagi sama aku aja.” Kalimat terakhir ngebuat dia tersedak—entah karena dia minum saat mobil udah jalan atau karena konteks kalimat yang gue lontarkan, tapi reaksinya lucu banget. Rose ngelirik dengan tatapan tajam—tapi sambil melukiskan seringai tipis.

Before The Sun Sets ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang