Chapter 5

1K 185 70
                                    

Ikan teri, ikan tuna
Aku cinta kalian semua

Oke.

Ini chapter baru. I don't really wanna hold the new ones, I just let those who wanna read, read it. That's all. Selamat hari Minggu!

“Everyone thinks of changing the world, but no one thinks of changing himself

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Everyone thinks of changing the world, but no one thinks of changing himself.”
—Leo Tolstoy—

Enggak terasa kalau sebulan lagi kuliah udah mau selesai. Rasanya baru kemarin gue datang ke Edinburgh, kebingungan dengan segala hal yang ada di sini, baca ratusan jurnal buat menyusun disertasi, dan jatuh cinta sama manusia bernama Juan. Sekarang gue lagi berada di tahap revisi—kemungkinan submit bulan depan pas deket deadline. Segala hal, kecuali kehidupan percintaan, berjalan dengan lancar termasuk rencana trip di minggu kedua Juli ini. Kiara jadi yang paling rempong karena merasa perlu membeli banyak barang baru; sementara Bagas dan Airlangga sibuk menyusun itinerary karena mereka selalu jadi yang paling teliti. Terlepas dari fakta gue bakal papasan sama Juan dan Clara yang hubungannya baik-baik aja, trip ini cukup membangkitkan antusiasme yang lama terkubur. Tapi sebelum itu, gue harus menyelesaikan dulu shift yang bertepatan sama hari ulang tahun ke-25.

Tadi malam anak-anak pada datang ke flat, bikin kejutan yang nggak bisa dikategorikan sebagai sederhana. Gue tahu kalau kue yang Airlangga kasih itu mahal; Bagas dan Lillian ngabisin banyak waktu buat menghias ruang tengah jadi sedemikian rupa; terus sepaket make up dari brand kesukaan Kiara juga ngebuat gue nahan napas selama beberapa detik. Gue kira kalau suka-cita ini datang karena mereka menghabiskan banyak uang buat ulang tahun yang nyaris terlupakan, tapi ketika Windu ngasih sekotak shortbread, gue sadar
kalau hal yang bikin hati terenyuh itu adalah niat serta kekompakan mereka buat menyusun kejutan di tengah kesibukan masing-masing. Keluarga di rumah juga ngucapin dan kami sempet telponan selama sejam. Satu-satunya hal yang bikin sedih mungkin cuma ketidak hadiran Juan tadi malam. Padahal ini ulang tahun pertama yang bisa kami rayakan bersama, tapi pemuda itu bahkan nggak menghubungi atau ngirim pesan barang sebarispun. Menurut Windu selaku temen main basketnya, kemungkinan Juan masih belum balik dari acara di London, entah karena masih ada urusan atau emang mau main dulu aja. Gue nggak nanya juga.

“You can finish after clean the bathroom,” kata Madame Grace dengan logat Chinese dan Bahasa Inggris patah-patah.

Sontak gue ngelihat jam, udah pukul 10, kayaknya shift hari ini bakal overtime lagi. Gue langsung bergegas buat menyelesaikan tugas terakhir hari ini, cukup terburu-buru karena mau pulang cepat. Rasanya lelah banget. Apa ini emang karena pertambahan usia atau cuma sugesti aja? Kemungkinan kedua lebih masuk akal—lagipula kita nggak akan bisa berubah secepat itu.

Ketika keluar dari restoran, mungkin sekitar pukul 10.35, gue sedikit dikejutkan sama sapaan dari seseorang yang mukanya nggak mungkin dilupakan. Rambut gelap-pendek dan kulit putih pucat mungkin jadi hal yang paling mudah dikenali dari sosok Clara yang menurut penilaian objektif sekalipun memang cantik. Dia memakai celana jeans ekstra pendek yang dipadukan dengan tank top dan baseball jacket merah muda bertuliskan ‘Daddy’s Girl’ di belakangnya. Senyumnya merekah begitu tatapan kami bertemu—ngebuat dia menegakkan punggung seketika.

Before The Sun Sets ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang