"Yok buruan siap-siap, kita mau meeting sama klien sekalian makan siang, nanti kamu ikut presentasi lokasi ya," suara lembut Bu Lisa membangunkanku dari lamunan yang hampir mengantarkanku menuju tidur.
"Meeting dimana akhirnya?"
"Di Ancol sekalian makan seafood, dah ayo buruan," jawabnya lagi sambil berlalu meninggalkan meja kerjaku. Aku bergegas membawa notebook dan tas ranselku lalu segera menyusul bu Lisa yang sudah lebih dulu turun. Di bawa sudah standby mobil pajero hitam dengan bu Lisa yang sudah duduk di dalam. Tiba-tiba Maya menghampiri sambil menyodorkan kunci.
"Lu yang nyetir ya," ucap Maya.
"Loh, ga pake driver aja? Gue masih ngantuk banget ini"
"Enggak, nanti kita ga balik kantor lagi soalnya. Yaudah gue aja yang nyetir daripada setor nyawa kalo lu yg nyetir," Maya langsung masuk ke kabin kemudi dan aku duduk di belakang bersama bu Lisa.
"Emang balik dari Ancol mau kemana kok ga balik ke kantor lagi?" tanyaku ke bu Lisa.
"Kan mau ke apartemenmu ambil oleh-oleh, Ndom mau ikut ke rumah sekalian ga? Siapa tau mau istirahat dulu di rumah bareng kita daripada bengong sendirian di apartemen," jawab Bu Lisa sambil tersenyum.
"Liat entaran aja lah, gue mau merem bentaran yak, ntar kalo dah nyampe tolong dibangunin," kucoba melandaikan kursiku agar nyaman untuk tidur sejenak. Kulihat Bu Lusi hanya tersenyum lalu sibuk dengan notebooknya.
Sambil memejamkan mata, entah kenapa senyumnya membawaku dalam sebuah lamunan tentangnya. Sampai detik ini pun aku kadang masih tidak percaya bisa bertemu dengannya bahkan sampai menjadi partnernya.
Semua berawal dari niat nekatku untuk "pulang" ke Jakarta dan bekerja di sini. Yah, memang nekat karena aku tau tak ada satupun dari orang tuaku yang mau menerimaku. Itu sebabnya kan kenapa aku 'dibuang' dan dibesarkan oleh keluarga lain dan yang terakhir oleh almarhum kakekku. Orangtua yang lebih mementingkan kebahagiaan mereka sendiri hingga akhirnya berpisah dan menikmati hidupnya masing-masing dan menganggapku sebagai memori masalalu yang seharusnya tak ada.
Niat itu semakin bulat setelah kakek harus berpulang dan aku harus tinggal sendirian. Walaupun semua biaya hidup ditanggung oleh ayah, tapi tekadku untuk mandiri sudah sangat menggebu. Entah kenapa bak gayung bersambut, tiba-tiba bang Raja menawariku pekerjaan ini ketika aku mencoba menceritakan keinginanku untuk kerja di Jakarta. Tak butuh banyak berpikir dan menimbang-nimbang langsung saja ku iyakan tawaran itu. Dan ternyata aku baru tau kalau perusahaan tempatku bekerja ini adalah milik bu Lisa. Itupun setelah hampir dua tahun aku bekerja di sini.
"Ayo bangun, dah sampe kita," suara lembut itu membangunkanku. "Nanti kamu yang presentasi lokasi ya Ndom, kamu siapin dulu biar aku sama Maya basa-basi dulu sebentar," sambung Bu Lisa lagi sambil turun dari mobil. Aku yang belum sadar sepenuhnya segera merapikan baju dan bergegas menyusul mereka yang sudah lebih dulu berjalan masuk ke restoran.
Siang ini kami habiskan dengan makan siang serta presentasi dengan klien yang berjalan sangat mulus dan sukses. Klien cukup suka dengan tawaran lokasi wisata yang aku tawarkan untuk event mereka besok. Dua jempol dan senyuman dari bu Lisa sudah menunjukkan suksesku menaklukkan klien yang kami hadapi di makan siang ini.
"Goodjob Ndom, tumbenan pilihan lokasinya lebih beragam yang kali ini? Kayanya ada beberapa area baru yang ditawarin tadi ke klien," tanya bu Lisa.
"Iya gue ampe bingung lho mom, ini orang kesambet apa di Jogja kok presentasinya mulus bett kek betis model wkwkwk," Maya tiba-tiba ikut nyerocos sambil melajukan mobil menuju ke apartemenku setelah kami selesai makan siang.
KAMU SEDANG MEMBACA
He(ll)aven
Nonfiksiini yang namanya surga dunia? atau malah neraka? harus berusaha bertahan atau malah harus segera pergi?