Kekhawatiran, menurut ibunda Emin, wajar-wajar saja terjadi pada wanita berumah tangga. Semasa gadis, Emin cuma mengkhawatirkan diktat kuliah, baju-baju pesta, dagu berjerawat, berikut lingkar pinggang size M-nya. Kini, sekian tahun dalam perkawinan dengan Aslan, di tengah perang yang tak kunjung diakhiri, amukan gelombang kecemasan tak urung menerpa. Mulanya dari berita-berita muram di telinganya, tak berujung pangkal, diakhiri oleh mimpi buruk setiap malam, adegannya episodik, bahkan mimpi mengerikan yang sama kadang berulang sekian kali.
Sang suami, Aslan, yang menerjunkan diri sebagai relawan Dewan Kota Aleppo Timur, bahu membahu dengan sukarelawan medis lainnya memastikan korban luka dalam bentrokan bersenjata diberikan perawatan semestinya. Emin tak urung cemas, apalagi suaminya merangkap berpolitik praktis, melancarkan gerakan bawah tanah dengan tulisan-tulisan yang dibuatnya.
Keberadaan adik iparnya, paman anak-anaknya yang disapa amca, tidak mengobati kecemasan bagi Emin, meskipun si laki-laki muda punya keahlian menembak yang tak diragukan lagi, posisinya bahkan tak main-main, sniper rahasia di kubu FSA, digolongkan pemberontak nomor satu paling diburu oleh rezim presiden yang berkuasa. Obat yang dibutuhkan Emin tak tersedia semasa perang saudara, ketenangan dan kesederhanaan, resep jitu manusia untuk hidup dengan bahagia. Untung ia punya keluarga yang dimilikinya sekarang.
Dibanding sang suami yang mengundang cemas, anak-anak bagi Emin merupakan sumber perlindungan utama. Satu-satunya alasan ia mau terus waras, menerima kenyataan tak enak, asalkan ada anak-anak, mimpi suram menjelma nyata pun ia tak peduli. Hanya di hadapan anak-anak tercintanya, sesaat ia seorang ibu normal, ibu yang memberikan yang terbaik bagi buah cintanya, bahkan bila perlu ia akan menyerahkan semua yang ia punya agar putri-putrinya tidak menderita dampak dari peperangan.
Namun, keadaan sang putri tertua meruntuhkan benteng terkukuh yang dipunyai Emin. Keadaan darurat perang menyebabkan demam si sulung tidak terobati dengan selayaknya, akibatnya sesuatu yang salah terjadi. Si putri sulung yang cerdas dan kritis kini diam membisu, menyerupai sindroma autisme dengan gangguan perilaku serius, bahkan menjurus membahayakan diri ada kalanya. Syukurlah, sebuah jeriken air membuktikan, kegelisahannya barangkali terlampau berlebihan.
Akal cerdik sang putri tertua, yang menyeret jeriken besar penuh air dengan troli membuktikan, sesuatu yang salah itu tidak serius, ada harapan putrinya akan perlahan sembuh, lebih-lebih tulisan putrinya yang indah membantah bahwa kecerdasannya sirna seutuhnya. Bila diamati pun, putri sulungnya jauh lebih kalem bila tengah menulis, seingat Emin lagi, kebiasaan rutin sebelum putrinya jatuh sakit tiba-tiba yakni menuliskan keseharian di sebuah buku jurnal. Namun, kalimatnya singkat-singkat.
"Hey, Emin, kamu sedang apa?" Aslan menegur istrinya yang mengacak laci kecil lemari pajangan kayu di ruang tengah.
"Aku mencari kertas buram. Seharusnya ada di sini kan, ya?"
"Sini, biar aku carikan saja. Kamu istirahat saja di ruang tamu."
Alhasil, mereka menemukan sebundel kertas buram, banyak dan tebal-tebal, sedikit menyerupai kertas surat hanya saja garis-garisnya tidak kelihatan. Aslan heran, kertas-kertas ini hendak diapakan, tanyanya pada Emin. Apakah ia berniat menulis surat pada seseorang? Sang istri tidak sempat menanggapi, karena si bungsu menghampiri mereka dengan berlari, bicaranya agak terengah-engah.
"Mama! Papa! Ada surat! Ada surat!"
Emin dan suaminya berpandangan, karena setahu mereka jaringan pos di Suriah semi lumpuh, dan hanya DHL Express yang masih commit beroperasi penuh di tengah kekalutan. Surat dari siapa gerangan? Tak sabar keduanya nyaris berbarengan merenggut surat dari tangan si putri kecil.
"Lho, surat ini dikirim dari mana? Tidak ada prangkonya." Ujar Emin pada putrinya.
Surat tanpa prangko itu tidak dikirimkan secara resmi, bahkan sebetulnya disembunyikan di belakang sebuah buku, tepatnya direkatkan dari dua lembar terakhir kertas buku menjadi satu. Putri terkecil mereka mengaku, tak sengaja menemukan surat, karena halaman belakang buku tersobek oleh kakaknya tanpa sadar. Kertas buku memang sudah rapuh karena keadaannya yang tua. Ternyata tersisip sehelai surat beramplop di tempat rahasia tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunflower Moon: Aleppo is Leaving
Historical FictionKisah fiksi sejarah yang berlatar perang saudara di Suriah sejak 2011 hingga 2017. Tokoh utamanya bernama samaran Sunflower Moon, keturunan Turki-Mesir, usianya tujuh tahun dan bermukim di Aleppo Timur yang paling parah diguncang pertikaian. Sunflo...