Post Nubila, Phoebus (26)

22 5 0
                                    

Dear Sunflower Moon,

Adikku tersayang,

Kabar dari tanah air kita cukup mengguncang, kabarnya gempa berkekuatan 7,8 skala Richter memorakmorandakan Turki dan Suriah, terutama wilayah selatan dan tengah negara Turki, hingga utara dan barat dari Suriah terdampak paling parah. Enam Februari 2023 ini, kita sudah lebih dari lima tahun bermukim di kota Toowoomba di Queensland, di benua kita ini, Australia.

Adikku, kamu menyebut negeri kita sekarang ini The Land of Oz, tanah penyihir Oz yang tak habisnya membawa kita tercengang, juga mataharinya yang bersinar sepanjang musim, bukan isapan jempol semata. Tanah ini penuh sihir baik, yang menyulap nasib siapa pun yang mau bekerja keras, termasuk kita yang mujur diberi kesempatan bagus kedua kalinya di negeri penuh harapan ini.

Namun, di balik bencana alam di negeri leluhur kita, kita diberikan pemahaman baru, bencana batin manusia justru lebih celaka dan kelam, bagaimana kegelapan di Aleppo Timur di Suriah yang kita alami dalam waktu panjang, bukanlah masa kecil yang ideal atau kita kehendaki terjadi, tapi itulah yang membentuk kita menjadi kita sekarang ini. Kita menemukan kekuatan untuk bergerak maju.

Pada hari yang celaka itu, di awal Desember tahun 2017 - disayangkan kita melupakan tanggalnya, barangkali karena kita tidak berani mengingatnya - suara helikopter menderu mendekat dari kisi-kisi kamar kita. Kamu tahu, selama perang yang tak ada habisnya itu, pendengaranku begitu peka, sementara orang-orang lain yang tidak paham mengira aku tuli atau kehilangan sebagian pendengaranku hingga tak mau berbicara. Sebetulnya gejalaku dinamakan hiperakusis. Yakni penurunan toleransi suara terhadap suara lingkungan biasa. Pengalaman suara sehari-hari yang awalnya normal dirasakan sebagai suara yang keras, tidak menyenangkan, menakutkan, atau menyakitkan.

Jadilah aku terserang panik luar biasa, maka aku berlari dari kamar, menerjang pintu depan kita untuk mencari perlindungan di tempat yang keliru. Entahlah, adikku, saat itu pikiranku terbungkus kabut pekat, segala logika yang jernih sudah menghilang dari pikiranku. Aku tahu, saat itu kondisiku begitu menyusahkan, apalagi aku tak mau bicara sepatah pun, karena merasa takut pada suaraku sendiri yang melukai pendengaranku.

Bahkan aku tidak berteriak, sewaktu baba (kamu memanggil ayah kita papa) tersambar barmeela dan pecahannya mengoyak lengan kirinya hingga luka parah. Situasi kami begitu berbahaya karena kami berada di udara terbuka, dan hantaman maut bertebaran di sekeliling kami. Saat itu juga, kami berpikir pasti akan mati, walaupun kemauan untuk hidup tak putus bersama napas berembus, dan bahkan kita tidak sadar selalu memilih untuk hidup, seperti jantung kita yang berdegup tanpa kita memutuskannya. Ketika akan lebih mudah menyerah dan pasrah saja, kita justru bertahan dan menemukan kita lebih kuat dari yang kita tahu.

Penolong seakan diutus Tuhan di saat-saat penentuan hidup mati kita. Ibrahim Murad, aku takkan lupa nama itu, memapah baba dan merangkulku dengan lengan kokohnya bak seorang tim penyelamat yang terlatih. Usianya baru 16 tahun ketika itu, namun ia begitu dewasa dan bisa diandalkan menyelamatkan kami, dan kami dipapahnya memasuki ruang bawah tanah di rumah Dokter Dawoud, dan sulit dipercaya, kita semua selamat dalam pertolongan-Nya, meskipun baba cedera berat dan kehilangan banyak darah lalu nyaris diamputasi di Turki.

Akhirnya, bus-bus itu dikirim untuk membawa kita pergi. Kita menumpang di gelombang kedua, karena bus-bus gelombang pertama diprioritaskan untuk yang manula atau menderita sakit parah. Baba kita dibawa di bus rombongan pertama, didampingi amca, karena keadaannya yang serius, meskipun pendarahannya sementara bisa diamankan Dokter Dawoud yang cekatan.

Anne, ibu kita - kamu menyapanya mama seperti orang Belanda - memimpin kita, dua putrinya, di hari kedua keberangkatan bus. Lingkungan rumah kita hancur lebur, ya dikarenakan rezim memang khusus menyasar rumah kita, setelah keluarga kita dianggap cerewet menyerukan apa yang menimpa Suriah, khususnya Aleppo Timur, kota kita, merupakan kotak jebakan paling mematikan yang menelan kita hidup-hidup setiap saat. Surat-surat yang kukarang karena rasa geram pada perang menarik perhatian luas, karena kemarahan seorang anak kecil begitu murni, begitu terus terang dan tanpa basa-basi. Waktu itu, aku menuliskan kata-kata yang kupikirkan, dan begitu saja itu terjadi.

Sunflower Moon: Aleppo is LeavingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang