The Crow and The Pitcher (12)

17 3 0
                                    

Kamu bertanya-tanya, apa sih yang dipikirkan seseorang yang sibuk di dunianya sendiri? Seperti dunia kakakmu yang tak kamu ketahui letak pintunya, karena bukan saja tidak bisa masuk, kamu pun tak memahami apa isi dunia itu. Kakakmu bukan cuma tidak bicara, emosinya juga terkunci kerap kali, terlalu rapi dan terlalu tertutup, sulit menebak kemauannya apa, melalui matanya yang tak tersenyum padamu.

Saat mata kakakmu tersenyum, kamu sedikit lega, karena artinya perasaannya sedang lumayan baik. Selama di sekolah bersama-sama, kamu lupa segalanya karena pelajaranmu terlalu menarik dan kamu tak memperhatikan apakah kakakmu gembira dengan suasana sekolah kalian? Apakah ia tidak merasa pelajaran kalian terlalu dangkal untuknya, karena sebagian besar siswa teman kalian murid kelas kecil yang usianya jauh di bawah kakakmu?

Perang di negerimu mengubah cara belajar kalian, atas nama penghematan kertas. Kebanyakan kalian memiliki buku tulis yang setengah penuh dengan tulisan. Ini buku tulis lama, dari tahun-tahun lalu, yang tak kunjung penuh karena sekolah seringkali absen disebabkan perang berlarut-larut. Buku-buku pelajaran kalian juga bekas semua, sumbernya bermacam-macam, dari teman, saudara, kerabat, tetangga, atau buku-buku yang disumbangkan ke sekolah oleh orangtua murid karena bermacam alasan. Namun, alasan paling sedih yang enggan kamu bahas adalah, karena pemilik buku itu sudah berpulang ke tempat yang lebih baik. Tuhan mengasihinya dengan cara berbeda dari kalian, yang dikasihi pula dan masih diberikan umur panjang oleh-Nya.

Miss Lilibeth kini dipercaya sebagai kepala sekolah darurat. Semangat mengajarnya menyala-nyala di tengah kobaran perang, dan kata ibumu, Miss yang sudah pensiun ini lega sebetulnya diminta mengajar kembali. Cara mendidiknya yang kreatif tidak ada duanya, pikirannya yang peka dan cerdas merasakan, di tengah gejolak situasi serba tak menentu, perlu penyegaran dalam cara belajar agar tidak membosankan bagi murid-murid.

Muncullah ide menyenangkan yang dinamainya Doodling Class. Ya, tak salah lagi, ini jam kreatif di mana murid-murid boleh menumpahkan unek-unek semaunya, bukan di atas kertas kosong, bukan pula di lembar halaman buku tulis, melainkan di atas drawing pad yang disumbangkan UNICEF untuk sarana belajar anak-anak Suriah korban perang.

Wow! Keren sekali kegiatan ini, kamu bersorak riang gembira.

Dulu kamu dan kakakmu punya drawing pad yang mirip pemberian UNICEF. Warna bingkainya biru muda, permukaan LCD-nya mengilap dan hitam. Ibumu yang membelikan dan tulisan kalian berwarna-warni, biru, hijau, dan kuning tua, lalu kakakmu berlomba denganmu, siapa yang menulis paling bagus boleh mendapatkan putih telur rebus. Pasalnya selera kalian mirip sekali. Kalian sama-sama membenci kuning telur rebus matang, karena menempel di geligi gusi dan kesat rasanya. Ibu kalian bersikukuh tidak mau merebus setengah matang, karena khawatir kalian jatuh sakit gara-gara bakteri Salmonella.

Mata kakakmu, pada kedua sudutnya, tersenyum pada drawing pad barunya. Punya kalian sudah rusak, bukan kehabisan baterai, tapi permukaan LCD-nya yang aus. Tidak ada yang menjual drawing pad di Aleppo Timur, karena toko alat tulis kebanyakan sudah bangkrut sejak sekolah dihancurkan rezim. Begitu pula telur rebus yang menghilang dari menu kalian, karena blokade pemerintah semakin ketat, dan kelompok pemberontak susah payah mencari lubang untuk mematahkan penyekatan ini.

Selama kalian bersekolah, kalian sedikit tidak kelaparan. UNICEF punya cara untuk mencapai kalian, walaupun blokade menghalangi jalur keluar masuk ke Aleppo Timur. Kalian mendapatkan susu bubuk dan biskuit. Makanan yang biasa saja di masa damai, kata ibumu, tapi bagi kalian di masa perang, setiap remah biskuit amat bernilai tinggi, karena kalian tidak tahu, bantuan ini akan bertahan berapa lama, kabarnya bantuan kemanusiaan bagi Aleppo Timur pun bakalan diseleksi ketat oleh tentara pemerintah.

Ah, kamu tidak mempersoalkan kelaparan, karena pikiranmu tertuju pada halaman terakhir bukumu. Buku milik pasien yang dinamai The English Patient oleh pamanmu. Ada benda tersembunyi di situ, tapi kamu tidak berani merobek halaman buku, karena takut merusak pemberian dari orang asing. Maka kamu sangat mencintai drawing pad punyamu, karena menghargai kebaikan UNICEF yang mau memedulikan nasib kalian.

Sunflower Moon: Aleppo is LeavingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang