1001:6

683 70 14
                                    

Jangan lupa vote dan komen, Vren


Jangan lupa vote dan komen, Vren

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Siap terluka, meski rasanya masih sama

***

Jam menunjukkan pukul delapan lewat empat puluh satu malam. Seorang gadis terlihat duduk di kursi kayu di ruang tengah yang kecil dan sederhana. Dengan beberapa buku yang berserakan di atas meja bundar.

Bruk!

Shana terkejut bukan main saat suara keras menyapa gendang telinganya. Ia segera menoleh ke arah pintu yang dibuka kasar oleh Soni—ayahnya.

Pria tua itu berjalan gontai dengan mata yang terpejam khas orang mabuk berat. Mulutnya tak henti berkomat-kamit dengan sebotol bir di tangan kirinya.

Shana mulai was-was, ayahnya jika sudah mabuk akan menggila.

Terbukti dari botol yang semula dipegang sudah terlempar ke bawah Shana hingga hancur lebur.

Gadis itu meringis pelan saat pecahan kaca itu mengenai kakinya yang tadi sempat ia naikkan, hingga mengeluarkan darah cukup banyak.

"Anak kurang ajar! Karena kamu, aku ditinggal istriku. Istriku pergi selama-lamanya. Dasar pembawa sial!" Soni berujar tak jelas, menghampiri Shana yang masih duduk di kursi dengan air mata yang meluruh akibat perih di kaki.

Pria itu duduk di depan Shana, menatap Shana dengan tatapan belonya. "Anak sialan," umpatnya pelan kemudian menghamburkan buku-buku Shana.

Sedetik kemudian, gelak tawa terdengar memenuhi ruangan kecil itu. Soni tertawa seperti orang gila, membuat Shana ketakutan.

Soni beranjak pergi ke kamarnya tak lupa membanting pintunya dengan keras.

Shana bernafas susah payah, seolah alam enggan berbagi oksigen dengannya. Gadis itu memukul dadanya yang terasa sesak.

Sakit pada kakinya tergantikan dengan sakit di hatinya. Tak sekali ia mendengar kalimat seperti itu dari ayahnya, justru sudah berulang kali. Hal itu tentu seperti belati tajam yang selalu menembus hatinya. Hatinya bahkan kini sudah hancur tak berbentuk.

Ia tak sanggup melihat sang ayah yang selalu seperti ini. Ia tertekan batin. Ia tak cukup kuat menghadapi masalah yang datang silih berganti, seolah memaksa ia untuk mundur.

Lelehan air mata terus membasahi pipinya, kepalanya menunduk menatap bukunya yang berserakan di meja dan lantai.

Gadis itu menjambak rambutnya kuat, menumpahkan segala kesesakan yang memenuhi dirinya.

Benar-benar hancur. Tak ada pundak tempat ia bersandar dan menceritakan keluh kesahnya. Semuanya sepakat memusuhinya.

Ia sendiri di dunia yang besar ini.

1001 Luka [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang