1001:14

986 78 29
                                    

Jangan lupa vote dan komen.


***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Soni menghela nafas panjang saat putrinya terus menolak pulang. Lagipula, siapa anak yang akan terima-terima saja jika dirinya di jual ke orang asing? Tentu tidak ada.

Beruntung Cafe sedang tidak ada pengunjung. Hanya ada Shana, Rani, Danu, dan Soni.

Shana tak bisa berkata-kata lagi, sesak memenuhi dirinya, belum lagi kepalanya menjadi pusing karena kebanyakan menangis.

Semua kaget saat Shana menjatuhkan dirinya ke lantai, seolah bersujud kepada Soni.

"Shana bakal kasih papa uang, Shana bakal giat belajar biar jadi sukses, biar papa bisa make uang Shana sepuasnya. Tapi, Shana mohon ... Shana mohon, jangan jual Shana. Shana bakal jadi anak baik, Pa." Shana menangis sejadi-jadinya, memohon dengan sangat kepada sang ayah agar tak menjualnya dengan kedua tangan ia satukan.

Rani membungkam mulutnya tak percaya. Dirinya tak habis pikir jika Shana sampai mengalami masalah seperti ini.

Rani mendorong tubuh Soni ke belakang, matanya menatap tajam dan berkaca-kaca pria tua yang Shana sebut sebagai ayahnya.

"Bapak sadar! Dia ini anak bapak, bagaimana bisa bapak tega menjual anak sendiri?" bentak Rani kepalang kesal. Ia marah, ia kecewa. Ia wanita, ia tahu bagaimana perasaan Shana.

Gadis itu menarik Shana untuk kembali berdiri. Ditatapnya wajah Soni seolah mengibarkan bendera perang.

"Kalian gak usah belagu. Dia itu anak saya, terserah saya mau apakan dia." Soni kembali bersuara, lagi-lagi tak mau kalah.

Rani tertawa hambar. Entah mengapa, mendengar suara Soni membuat ia ikut muak.

"Mending bapak keluar, daripada buat kegaduhan di sini." Danu memutus kontak mata antara Rani dan Soni. Pemuda itu kemudian menarik Soni untuk ke luar dan langsung ditepis oleh pria tua itu.

"Saya tidak akan pulang sebelum membawa Shana," imbuh Soni penuh penekanan.

"Mending bapak pergi sebelum saya telepon polisi." Mereka sontak menoleh ke arah pintu saat mendapati Elang sudah berdiri di sana.

Pemuda itu berjalan menghampiri, menatap Soni datar dan tenang.

Soni terdiam. Memandang kesal ke arah Elang yang datang-datang langsung mengancam.

Soni membuang nafas kasar. Ditatapnya Shana tajam, sebelum akhirnya ia memilih meninggalkan tempat itu.

Shana menangis menatap kepergian sang ayah membuat Rani langsung memeluk gadis itu dan mengelus lembut rambut Shana mencoba menenangkan.

"Semua akan baik-baik aja, Shan." Rani berbisik lembut.

***

Shana terdiam kala kakinya menginjak kediaman keluarga Narendran.

Elang memaksanya untuk tinggal di rumahnya agar gadis itu lebih aman. Setelah berdebat lumayan lama, akhirnya Shana memutuskan untuk ikut. Ia juga takut jika tidur di cafe, ayahnya akan kembali mendatanginya.

Di tangannya sudah ada koper biru yang tak terlalu besar tak juga kecil, berisi pakaian dan buku sekolah Shana. Bayangkan saja, Shana menunggu ayahnya pergi sebelum melancarkan aksinya pulang ke rumah untuk mengambil barangnya. Bayangkan senekat apa dirinya. Ah, ia juga berani karena ditemani Elang. Kalau pemuda itu tidak ada, mana berani Shana pulang sendiri sekadar mengambil barang.

"Eh, kalian udah datang?" Seorang wanita berdaster dengan kisaran umur 39 terlihat menghampiri Shana dan Elang yang berdiri tak jauh dari pintu masuk.

Dia adalah Nisha-ibu Elang. Elang sudah terlebih dahulu mengabari Nisha tentang Shana yang akan tinggal di rumah mereka. Tentu saja Nisha welcome. Mengingat Nisha menjadi satu-satunya wanita di rumah besar ini, ia juga butuh teman.

"Kamu namanya Shana, kan?" Nisha mendekati Shana yang terlihat canggung, meraih tangan Shana, wanita itu mengulas senyum lembut.

"Gak apa-apa. Terkadang kita perlu kecewa untuk kembali bangkit." Shana mematung mendengar penuturan Nisha barusan. Matanya mulai berkaca-kaca, namun ia enggan menitikkan air mata.

Shana terlihat berdiri di depan jendela kamar yang sekarang menjadi kamarnya. Ia memandang langit malam dengan pikiran berkelana entah ke mana. Pikirannya kalut, perasaannya sukar. Satu sisi ia merasa tidak enak tinggal di rumah ini. Namun, di sisi lain ia tidak tahu harus ke mana.

Shana menyeka air mata yang sejak kapan turun. Ia merindukan ibunya, terlebih lagi saat melihat Nisha yang secantik dan sebaik ibunya.

Jam terus berputar, hingga kini menunjukkan pukul setengah tujuh. Shana yang sudah melakukan ritual bersih-bersih memilih turun ke dapur untuk membantu Nisha menyiapkan makan malam. Jika sudah menumpang, setidaknya dia harus tahu diri, bukan?

"Tante, Shana mau ikut bantu. Boleh?"

Nisha yang kebetulan sedang membersihkan sayur menoleh ke arah Shana. Gadis itu terlihat memegang bawah merah yang terletak di meja.

Wanita setengah baya itu tersenyum menanggapi, bersamaan dengan Shana yang mulai mengupas bawang.

Memakan waktu cukup lama, akhirnya hidangan makan malam telah selesai. Shana kini sedang menata makanan di meja, tak lupa tersenyum saat melihat kedatangan Elang yang juga melempar senyum ke arahnya.

"Malam, Bunda." Elang mengecup pipi kiri Nisha yang baru saja mencuci tangan. Pria itu langsung memilih duduk.

Ketiganya sudah duduk di kursi masing-masing. Satu hal yang membuat Shana bertanya-tanya, kemana ayah Elang?

Seolah paham dengan tatapan Shana, Nisha tersenyum sebelum membuka suara. "Kita makan duluan aja, ayah Elang hari ini pulangnya telat."

Shana mengangguk pelan.

Rangkaian kegiatan telah selesai dilaksanakan. Mulai dari beres-beres, masak, makan malam, dan kini waktunya merebahkan tubuh sejenak.

Shana menatap langit-langit kamar yang ia tempati dengan tatapan hampa. Sendiri membuat ia selalu merasa kosong dan tak berarti.

Bagaimana dengan ayahnya? Apakah ayahnya peduli dengannya? Apakah ayahnya berubah pikiran? Banyak pertanyaan terus berputar bak kaset rusak di otak Shana. Sulit untuk menerima, namun hatinya akan semakin terluka jika berusaha baik-baik saja.

Sudahlah. Hari ini biarlah berlalu. Shana mulai meringkuk, memeluk lututnya erat. Akhir-akhir ini ia sering merindukan ibunya.

***


***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Tetap semangat, meski sedang dibalut luka.

1001 Luka [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang