1001:10

751 77 32
                                    

Jangan lupa vote, coment dan rekomendasikan cerita ini.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


***

Shana memasukkan buku-bukunya ke dalam tas kemudian bangkit dan meninggalkan Alfian begitu saja. 

Dia bersenandung pelan berjalan di koridor sekolah. Tangannya sesekali melambai ke arah siswa-siswi yang dia lewati.

Sepersekian detik kemudian ia tersentak kaget saat tangan kekar menarik kasar pergelangan tangannya.

"Gak usah tebar-tebar pesona, bisa?" Shana mengerutkan keningnya tak paham. Ia menatap Alfian dengan raut yang sulit diartikan, apalagi saat melihat pemuda itu berdampingan dengan Elen.

"Aku? Tebar-tebar pesona?" Shana tertawa terbahak-bahak. Suaranya terdengar di seluruh pasang telinga siswa yang berada di sana, hingga tak abai mereka menatap Shana kebingungan.

Gadis itu menyeka air mata yang keluar dari sudut matanya akibat tertawa. Ia menarik nafas panjang mencoba menetralkan pernafasannya.

"Kenapa? Kamu cemburu?" tanya Shana kemudian.

Alfian hanya terdiam, memandang Shana dalam nan tajam.

"Kamu lucu. Masa gitu aja cemburu, terus apa kabar aku yang tiap hari lihat kalian berdua?" Shana kembali bergumam. Kalimat Shana setiap hari semakin seperti pisau yang selalu ditodongkan kepada Alfian.

"Shan—"

Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Shana sudah terlebih dahulu menyela. "Maaf, ya. Aku sibuk. Byeee!" Gadis itu memasang wajah seolah merasa bersalah. Kemudian melambaikan tangan dan secepatnya melengos pergi dari sana.

Alfian menelan ludah susah payah. Hatinya serasa dicabik-cabik dengan perubahan tingkah dan cara bicara Shana kepadanya.

"Al, kamu gak papa?" Elen membuka suara saat melihat Alfian hanya bergeming di tempat.

Pemuda itu sontak menoleh ke samping, menggeleng dan tersenyum manis setelahnya.

Rasanya salah jika dia yang merasa kecewa sebab yang terluka adalah Shana. Ia yang menjadikan gadisnya seperti ini, ia yang membiarkan Shana kembali menoleh ke lembah yang sempat mereka tutup. 

Ia bersalah.

***

Seorang gadis terlihat menikmati sapuan angin malam di depan rumah yang menerpa kulitnya yang hanya berbalutkan kaos putih dan celana selutut.

Sesekali bibir tipisnya mengeluarkan suara ringisan karena luka goresan di wajah yang terkena sapuan angin malam.

Wajah dan tubuhnya dipenuhi bekas memar dan luka goresan yang ditorehkan oleh sang ayah kepadanya. Shana tak menangis, ia hanya termenung membayangkan jika dirinya merenggang nyawa di tangan ayah kandungnya sendiri.

1001 Luka [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang