1001:4

667 78 14
                                    

Tetap bernafas, Vren, meski hidup gitu-gitu aja.

Jangan lupa vote, coment di part ini.

Jangan lupa vote, coment di part ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


***

"Cewek kayak dia memang harus dikasarin dulu."

Alfian berdiri kala mendengar penuturan Shana. Pemuda itu menatap Shana tak kalah tajam. "Minta maaf sama Elen," katanya.

Shana terkejut. Matanya membola dengan raut wajah seolah menolak keras.

"Elennya aja gak kenapa-kenapa, lebay deh." Elen mendongak menatap Shana yang terus memandangnya. Gadis itu kemudian meraih tangan Alfian, menatapnya dalam. "Aku gak apa-apa," kata gadis itu.

Elen ingin menyudahi. Ia juga merasa tidak enak dengan Shana. Tapi, dia sendiri juga butuh Alfian di sisinya.

Elen berdiri dari kursi setelah Alfian kembali duduk kemudian berpamitan. "Aku ke kelas dulu, ya." Tanpa menunggu jawaban, gadis itu segera berlalu pergi dari sana.

Alfian masih menatap tajam Shana yang kini duduk anteng di kursinya. Gadis itu memang merasa bersalah, tapi dia tidak mau terus-terusan tersakiti dengan kedekatan mereka.

Shana seorang wanita. Ia memiliki hati. Ia bisa cemburu, ia juga bisa sakit hati.

***

Shana menghela nafas saat Alfian mendiaminya sejak tadi. Kini jam istirahat sudah berbunyi. Gadis itu memilih duduk di kelas, sementara Alfian pergi begitu saja dengan teman-temannya.

Shana ingin mengeluh, namun Alfian adalah orang yang sangat Shana sayang.

"Shan, dipanggil bu Winda ke ruang TU." Salah seorang siswi berkuncir kuda menghampiri Shana yang sedang membaca buku.

Shana mengangguk, dan tersenyum simpul. "Makasih infonya," kata gadis itu sebelum beranjak pergi dari sana.

"Jadi gimana sama uang sekolah kamu? Kamu udah nunggak 3 bulan lho," kata Bu Winda—pegawai sekolah yang bekerja di bidang administrasi sekolah. Kini mereka tengah berada di ruang TU khusus tempat para pegawai sekolah. Di sana terdapat Shana, Bu Winda, dan Bu Dina.

Wanita berumur tiga puluh satu tahun itu duduk di kursinya, menatap Shana yang berdiri di depannya.

"Maaf, Bu. Kalau Shana ada rezeki, secepatnya Shana bayar," seloroh gadis itu sendu.

Jika sudah menyangkut seperti ini, Shana lemah. Ia ingin menangis, meneriakkan keluh kesahnya kepada Tuhan. Ia iri dengan teman-temannya yang bisa hidup nyaman, tak perlu khawatir dengan uang sekolah. Berbeda dengan dirinya, yang mengeluarkan uang seribu saja harus berpikir seribu kali.

1001 Luka [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang